Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dokter Anestesi Prancis Didakwa Racuni 30 Pasien, 12 Orang Tewas

ilustrasi dokter melakukan operasi (pexels.com/Vidal Balielo Jr.)
ilustrasi dokter melakukan operasi (pexels.com/Vidal Balielo Jr.)
Intinya sih...
  • Penyelidikan dimulai dari kasus 2017, dengan tes medis menunjukkan adanya dosis kalium yang 100 kali lebih tinggi dari normal di kantong anestesinya.
  • Korban dan dampak tragis bagi keluarga, termasuk Teddy, bocah empat tahun yang selamat dari dua kali henti jantung saat operasi amandel pada 2016.
  • Pembelaan terdakwa dan strategi tim hukum, Péchier membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya dan dilarang praktik medis sejak 2017.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN TimesDokter anestesi asal Prancis, Frédéric Péchier, diadili di Besançon, Prancis timur, atas dugaan meracuni 30 pasien yang berujung pada 12 kematian antara 2008-2017. Kasus ini terjadi di dua rumah sakit swasta tempatnya bekerja, yaitu Franche-Comté Polyclinic dan Saint-Vincent Clinic. Para pasien berusia antara 4-89 tahun mengalami serangan jantung mendadak saat menjalani prosedur medis rutin.

Péchier yang sebelumnya dikenal sebagai dokter berprestasi, diduga sengaja merusak obat intravena seperti paracetamol atau kantong anestesi. Jaksa menilai ia menciptakan kondisi darurat jantung untuk menunjukkan keahliannya sekaligus menjatuhkan kolega yang berselisih dengannya. Mereka menyebut Péchier selalu menjadi sosok utama dalam setiap insiden, sering kali bertindak pertama dan menawarkan solusi dalam situasi genting.

1. Penyelidikan dimulai dari kasus 2017

Dilansir dari BBC, penyelidikan dimulai pada Januari 2017 setelah Sandra Simard, pasien berusia 36 tahun, mengalami henti jantung saat operasi tulang belakang rutin. Tes medis menunjukkan adanya dosis kalium yang 100 kali lebih tinggi dari normal di kantong anestesinya, yang memicu kecurigaan adanya sabotase. Simard selamat setelah koma berkat intervensi Péchier, dan kasus ini menjadi titik awal penyelidikan mendalam terhadap dirinya.

Tidak lama kemudian, muncul kasus baru melibatkan pria 70 tahun. Péchier melaporkan telah menemukan tiga kantong paracetamol yang rusak setelah memberikan anestesi umum kepada pasien itu. Ia mengeklaim dijebak, namun otoritas Prancis kemudian menempatkannya dalam status investigasi resmi. Penyelidikan pun meluas hingga meninjau lebih dari 70 serious adverse events (SAEs), yakni komplikasi medis atau kematian mendadak sejak 2008 di dua klinik tempatnya berpraktik.

2. Korban dan dampak tragis bagi keluarga

ilustrasi operasi pada pasien (pexels.com/Zakir Rushanly)
ilustrasi operasi pada pasien (pexels.com/Zakir Rushanly)

Pada Oktober 2008, seorang pasien bernama Damien Iehlen meninggal dunia akibat serangan jantung saat operasi ginjal rutin di Saint-Vincent Clinic. Autopsi menunjukkan overdosis lidokain, obat anestesi lokal, sebagai penyebab kematiannya. Putrinya, Amandine Iehlen, membagikan rasa duka keluarganya.

“Ini mengerikan. Anda tidak bisa membayangkan efeknya pada keluarga saya,” katanya. Ucapan itu menyoroti betapa beratnya dampak emosional yang ditanggung oleh keluarga korban.

Ia kemudian menambahkan pernyataannya tentang skala kasus ini.

“Tidak terpikirkan bahwa ini bisa terjadi dan begitu banyak orang terdampak selama bertahun-tahun, dari 2008 hingga 2017,” ujarnya. Komentar tersebut memperlihatkan kepedihan yang dialami banyak keluarga yang terlibat dalam kasus ini.

Daftar korban mencakup pasien berbagai usia, termasuk Teddy, bocah empat tahun yang selamat dari dua kali henti jantung saat operasi amandel pada 2016. Pasien tertua berusia 89 tahun, dan dari 30 kasus yang masuk persidangan, 12 di antaranya berakhir dengan kematian. Sidang yang dibuka pada Senin (8/9/2025) ini diperkirakan berlangsung hingga Desember dengan melibatkan lebih dari 150 pihak sipil, dan disebut sebagai kasus yang membingungkan karena kompleksitasnya.

3. Pembelaan terdakwa dan strategi tim hukum

ilustrasi hukum (pexels.com/Sora Shimazaki)
ilustrasi hukum (pexels.com/Sora Shimazaki)

Péchier, ayah tiga anak yang berasal dari keluarga medis, membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Dalam wawancara dengan radio RTL, ia menyampaikan pembelaannya.

“Tidak ada bukti adanya keracunan,” ucapnya. Ia menegaskan punya argumen kuat untuk mendukung klaimnya.

Ia menambahkan bahwa perlu untuk membuka semua kartu di atas meja. Pernyataan itu mencerminkan sikapnya yang berusaha meyakinkan publik akan ketidakbersalahannya.

Ia juga menyinggung kejadian setelah dirinya berhenti berpraktik pada Maret 2017.

“Setelah saya pergi, mereka masih mengalami [kejadian buruk serius] dan serangan jantung. Ketika saya pergi pada Maret 2017, mereka memiliki sembilan kasus lain yang dilaporkan setelahnya,” ujarnya, dikutip dari BBC.

Sejak 2017, Péchier dilarang praktik medis dan berada di bawah pengawasan yudisial meski sempat diizinkan bekerja tanpa interaksi pasien pada 2023. Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman penjara seumur hidup. Pihak pembela yang dipimpin Randall Schwerdorffer juga ikut bersuara.

“Sangat mudah untuk menuduh orang, lebih sulit untuk membuktikan sesuatu,” kata Schwerdorffer, dikutip dari The Guardian.

Ia menegaskan bahwa fokus tim hukum adalah menggugat bukti yang dianggap lemah serta menyoroti kontradiksi dalam klaim jaksa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Ibu Akhiri Hidup Dengan Anak, Menteri PPPA Minta Penguatan Keluarga

10 Sep 2025, 10:39 WIBNews