Prancis Buru Eks Presiden Suriah soal Pembunuhan Jurnalis

- Tuduhan kejahatan perang dan serangan sengaja terhadap jurnalis.
- Para pejabat Suriah dihadapkan pada tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
- Serangan roket diyakini merupakan bagian dari strategi rezim Suriah untuk membungkam liputan media asing.
Jakarta, IDN Times - Pengadilan Prancis telah menerbitkan surat perintah penangkapan untuk mantan Presiden Suriah, Bashar al-Assad. Langkah hukum ini diambil terkait dugaan perannya dalam serangan bom di kota Homs lebih dari satu dekade lalu.
Serangan pada 22 Februari 2012 tersebut menewaskan dua jurnalis asing, Marie Colvin dari Amerika Serikat dan fotografer Prancis, Remi Ochlik. Selain Assad, surat ini juga menargetkan enam pejabat tinggi lain dari rezimnya, termasuk saudaranya, Maher al-Assad, dilansir NYT pada Rabu (3/9/2025)
1. Tuduhan kejahatan perang dan serangan sengaja terhadap jurnalis
Para pejabat Suriah tersebut dihadapkan pada tuduhan serius, yaitu kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Serangan roket itu diketahui menghantam sebuah bangunan yang dijadikan pusat media darurat oleh para wartawan.
Hasil investigasi Prancis menyimpulkan bahwa pengeboman itu bukanlah sebuah kebetulan. Serangan tersebut diyakini merupakan bagian dari strategi rezim Suriah yang berniat membungkam liputan media asing. Selain dua korban tewas, serangan tersebut juga melukai fotografer Inggris Paul Conroy, reporter Prancis Edith Bouvier, dan seorang penerjemah Suriah bernama Wael Omar.
"Penyelidikan secara jelas menetapkan bahwa serangan terhadap pusat pers informal di Bab Amr adalah bagian dari niat eksplisit rezim Suriah untuk menargetkan jurnalis asing guna membatasi liputan media atas kejahatannya dan memaksa mereka meninggalkan kota serta negara itu," tutur Mazen Darwish, pengacara dan direktur Syrian Center for Media and Freedom of Expression (SCM), dilansir dari Al Jazeera.
2. Jurnalis ikonik yang menjadi korban
Marie Colvin merupakan seorang jurnalis perang veteran yang ikonik dengan penutup mata hitamnya. Ia kehilangan sebagian penglihatannya saat meliput perang saudara di Sri Lanka. Pengalamannya yang luar biasa bahkan telah diabadikan dalam sebuah film berjudul "A Private War".
Bersama Remi Ochlik, mereka secara diam-diam memasuki kota Homs yang saat itu terkepung oleh pasukan pemerintah. Keduanya mengambil risiko besar untuk mendokumentasikan secara langsung kekejaman yang terjadi di salah satu benteng utama pemberontak tersebut.
Proses hukum ini dapat berjalan karena undang-undang Prancis mengizinkan pengadilan untuk mengadili kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di luar negeri. Ini merupakan surat perintah ketiga yang dikeluarkan otoritas Prancis untuk Assad terkait kasus-kasus yang berbeda.
"Penerbitan tujuh surat perintah penangkapan ini adalah langkah tegas yang membuka jalan bagi persidangan di Prancis untuk kejahatan perang dan kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim Bashar al-Assad," ujar Clémence Bectarte, pengacara Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) dan orang tua Ochlik, dikutip dari France 24.
3. Surat penangkapan akan batasi ruang gerak Assad

Secara praktis, surat perintah penangkapan ini akan membatasi ruang gerak Assad dan para pejabatnya. Perjalanan mereka akan terhambat, terutama di wilayah Uni Eropa yang terikat perjanjian kerja sama yudisial.
Surat ini juga diperkirakan akan disebarluaskan ke seluruh dunia melalui Interpol, meskipun tidak semua negara akan menghormatinya. Assad sendiri diketahui telah melarikan diri bersama keluarganya ke Rusia pada akhir Desember 2024 setelah rezimnya digulingkan.
Beberapa pejabat Suriah lain yang menjadi target surat perintah adalah Maher al-Assad, yang merupakan komandan de facto Divisi Lapis Baja ke-4. Selain itu, ada juga nama kepala intelijen Ali Mamlouk dan kepala staf angkatan darat saat itu, Ali Ayoub.
Perang sipil Suriah yang berkecamuk selama bertahun-tahun telah meninggalkan luka mendalam dan korban jiwa yang masif. Menurut laporan Syrian Observatory for Human Rights, lebih dari 600 ribu orang tewas, dengan hampir 200 ribu di antaranya merupakan warga sipil.