Mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. (lu.usembassy.gov)
Pada 2018, mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri dari perjanjian nuklir. Langkah itu disusul oleh pemberian sanksi ekonomi terhadap Iran.
Sebagai reaksi terhadap penarikan Washington dan penerapan kembali sanksi keras, Teheran mulai melanggar pembatasan nuklir pakta itu.
Tahun lalu, menteri intelijen Iran mengatakan tekanan Barat dapat mendorong Teheran untuk membuat senjata nuklir. Pengembangan nuklir sendiri telah dilarang oleh Khamenei melalui fatwa pada awal 2000-an.
Iran mengatakan, pihaknya memurnikan uranium hanya untuk penggunaan energi sipil. Negara itu juga mengatakan akan kooperatif jika AS mencabut sanksi dan kembali bergabung dalam perjanjian.
Garis besar kesepakatan yang dihidupkan kembali disepakati pada Maret setelah 11 bulan pembicaraan tidak langsung antara Teheran dan pemerintahan Biden di Wina. Namun, lagi-lagi perjanjian gagal karena permintaan Iran atas jaminan bahwa AS tidak akan keluar dari perjanjian itu lagi di masa mendatang.
Biden tidak bisa menjanjikan hal itu karena kesepakatan nuklir adalah pemahaman politik yang tidak mengikat, bukan perjanjian yang mengikat secara hukum.
"AS belum memberikan jaminan untuk melestarikan kesepakatan nuklir dan ini merusak kemungkinan kesepakatan apapun," kata Kharrazi.