Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
gambar peta Sudan (unsplash.com/Lara Jameson)
gambar peta Sudan (unsplash.com/Lara Jameson)

Intinya sih...

  • PM Sudan sampaikan rencana perdamaian di hadapan DK PBB awal pekan ini.

  • RSF dituding lakukan banyak pelanggaran HAM

  • Pertempuran antara RSF dan SAF kian memanas dalam beberapa pekan terakhir, setelah pasukan paramiliter tersebut meningkatkan serangannya di sekitar el-Fasher, ibu kota Darfur Utara.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Seorang pejabat senior di Dewan Kedaulatan Transisi (TSC) Sudan menegaskan bahwa tidak akan ada negosiasi apa pun dengan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), yang telah berperang dengan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) selama lebih dari 2 tahun terakhir.

“Tidak ada gencatan senjata maupun perundingan dengan pihak pendudukan, dan perdamaian adil yang diinginkan Sudan akan dicapai melalui peta jalan dan visi rakyat dan pemerintahnya,” kata Malik Agar Ayyir, wakil ketua TSC, dalam sebuah pernyataan pada Kamis (25/12/2025), dikutip dari Al Jazeera.

Saat berbicara dengan para menteri dan pejabat negara di Port Sudan, kota di wilayah timur yang menjadi pusat pemerintahan, Ayyir juga menampik narasi bahwa perang tersebut bertujuan mewujudkan demokrasi. Sebaliknya, ia menggambarkan konflik itu sebagai perebutan sumber daya dan upaya mengubah demografi Sudan.

1. PM Sudan sampaikan rencana perdamaian di hadapan DK PBB awal pekan ini

Sebelumnya pada Senin (22/12/2025), Perdana Menteri Sudan, Kamil Idris, memaparkan rencana untuk mengakhiri perang tersebut di hadapan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Berdasarkan rencana itu, RSF harus mundur dari wilayah-wilayah yang telah mereka kuasai secara paksa di bagian barat dan tengah Sudan.

Selanjutnya, anggota RSF akan ditempatkan di kamp-kamp dan dilucuti senjatanya, sebelum mereka yang tidak terlibat dalam kejahatan perang dapat diintegrasikan kembali ke masyarakat.

Namun, kelompok paramiliter itu sendiri berulang kali menolak gagasan untuk melepaskan wilayah yang dikuasainya. Al-Basha Tibiq, penasihat utama komandan RSF Mohamed Hamdan “Hemedti” Dagalo, bahkan menyebut rencana itu sebagai hal yang lebih mirip fantasi daripada politik.

2. RSF dituding akukan banyak pelanggaran HAM

Pertempuran antara RSF dan SAF kian memanas dalam beberapa pekan terakhir, setelah pasukan paramiliter tersebut meningkatkan serangannya di sekitar el-Fasher, ibu kota Darfur Utara.

Eskalasi di sekitar el-Fasher terjadi setelah RSF berhasil menguasai kota tersebut setelah pengepungan selama 18 bulan lamanya. Kelompok ini dituduh melakukan pembunuhan massal, penculikan, dan kekerasan seksual secara meluas selama pengambilalihan kota tersebut.

Meskipun terdapat banyak bukti kekejaman di Sudan barat, RSF mengklaim bahwa tugas utama pasukannya adalah melindungi warga sipil dan mengakhiri kehadiran sisa-sisa kelompok bersenjata dan gerakan tentara bayaran.

3. Puluhan ribu orang tewas dan 14 juta warga mengungsi akibat perang

Pada 2021, RSF dan SAF bersama-sama menggulingkan pemerintahan sipil Sudan. Namun, ketegangan terkait integrasi RSF dan kendali masa transisi meletus menjadi perebutan kekuasaan antara Hemedti dan kepala SAF, Abdel Fattah al-Burhan, pada 2023.

Sejak itu, konflik ini telah menewaskan puluhan ribu orang dan memaksa sekitar 14 juta warga mengungsi. Selain itu, sekitar 21 juta orang di seluruh negeri menghadapi kelaparan akut, yang oleh PBB disebut sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia.

Dilansir dari Anadolu, RSF menguasai kelima negara bagian Darfur dari total 18 negara bagian di Sudan, sementara SAF mengendalikan sebagian besar dari 13 negara bagian yang tersisa, termasuk Khartoum. Darfur mencakup seperlima wilayah Sudan, tapi sebagian besar dari 50 juta penduduk negara itu tinggal di wilayah yang dikuasai SAF.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team