Serangan Drone RSF di Sudan Selatan Tewaskan 47 Warga Sipil

- Serangan RSF termasuk pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional
- PBB khawatir Kordogan akan bernasib sama seperti el-Fasher
- Kordofan jadi incaran karena posisinya yang strategis
Jakarta, IDN Times - Sekitar 47 orang dilaporkan tewas akibat serangan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) di wilayah selatan Sudan. Sebagian besar korban merupakan anak-anak.
Dilansir dari Al Jazeera, dua sumber dari Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) menjelaskan bahwa RSF menyerang sebuah taman kanak-kanak (TK) di kota Kalogi, negara bagian Kordofan Selatan, pada Kamis (4/12/2025). Tak lama kemudian, mereka kembali menyerang warga sipil yang datang untuk memberikan bantuan di lokasi kejadian. Rumah sakit kota dan gedung pemerintah juga turut dibombardir.
Sumber tersebut menambahkan bahwa jumlah korban tewas kemungkinan masih akan bertambah, mengingat ada sejumlah orang yang mengalami luka parah.
1. Serangan RSF termasuk pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional
Awalnya, Jaringan Dokter Sudan melaporkan bahwa sedikitnya sembilan orang tewas, termasuk empat anak dan dua perempuan, akibat serangan drone bunuh diri terhadap sebuah TK dan sejumlah fasilitas sipil di Kalogi. RSF dan sekutunya, Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan–Utara (al-Hilou), dituding sebagai biang keroknya.
“Serangan ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional dan merupakan kelanjutan dari penargetan warga sipil dan infrastruktur penting,” tambah kelompok medis tersebut, dikutip dari Anadolu.
Mereka juga menuntut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi-organisasi HAM untuk mengambil langkah nyata guna menghentikan serangan kelompok pemberontak tersebut terhadap warga sipil.
Sejauh ini, RSF belum memberikan komentar mengenai laporan tersebut.
2. PBB khawatir Kordogan akan bernasib sama seperti el-Fasher
Pada Kamis, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa wilayah Kordofan di Sudan berisiko menghadapi gelombang kekejaman massal baru akibat pertempuran sengit antara RSF dan SAF yang telah berlangsung hampir 3 tahun.
“Sungguh mengejutkan melihat sejarah terulang kembali di Kordofan, begitu cepat setelah peristiwa mengerikan di el-Fasher,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Turk, merujuk pada ibu kota negara bagian Darfur Utara yang jatuh ke tangan RSF bulan lalu. Ia mendesak komunitas internasional untuk mencegah Kordogan mengalami nasib serupa.
El-Fasher menyaksikan pembantaian besar-besaran usai RSF merebut kendali kota tersebut dari SAF. Tumpukan mayat terlihat dari citra satelit, hingga mendorong Sekjen PBB Antonio Guterres menggambarkan kota tersebut sebagai “tempat kejadian perkara”.
3. Kordofan jadi incaran karena posisinya yang strategis
Sejak akhir Oktober, setelah RSF merebut kota Bara di negara bagian Kordofan Utara, PBB mencatat sedikitnya 269 kematian warga sipil akibat pengeboman, tembakan artileri, dan pembunuhan di luar proses hukum. Jumlah korban sebenarnya diperkirakan jauh lebih tinggi karena hilangnya jaringan komunikasi di seluruh wilayah tersebut.
Lokasi Kordofan yang strategis menjadikannya wilayah penting bagi kedua pihak yang bertikai. Wilayah ini terletak di antara Darfur yang dikuasai RSF di barat dan wilayah yang dikuasai pemerintah di timur serta utara, menjadikannya koridor utama yang menghubungkan basis kekuatan kedua kelompok. Adapun penguasaan kota-kota besar seperti el-Obeid akan memberi RSF jalur langsung menuju ibu kota Khartoum, yang berhasil direbut kembali oleh SAF pada awal 2025.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), konflik antara RSF dan SAF telah menewaskan sedikitnya 40 ribu orang dan memaksa 12 juta penduduk mengungsi sejak April 2023.

















