RSF Umumkan Gencatan Senjata Sepihak Selama 3 Bulan di Sudan

- Jenderal RSF, Mohamed Hamdan Dagalo, mengumumkan gencatan senjata kemanusiaan selama tiga bulan.
- Panglima Angkatan Darat Sudan menolak proposal damai yang diajukan oleh Quad.
- Uni Emirat Arab kecam penolakan militer Sudan.
Jakarta, IDN Times - Kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) Sudan mengumumkan gencatan senjata kemanusiaan sepihak selama tiga bulan pada Senin (24/11/2025). Keputusan ini setelah Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mengungkapkan rencananya untuk turun tangan mengakhiri konflik di Sudan.
Pengumuman muncul hanya sehari setelah militer reguler Sudan menolak proposal gencatan senjata internasional. Penolakan tersebut memicu kekhawatiran bahwa konflik akan terus berlanjut di negara yang telah terjerumus ke dalam bencana kelaparan tersebut.
1. RSF sambut upaya perdamaian Trump

Pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau yang dikenal sebagai Hemedti, menyatakan pasukannya akan segera memasuki masa jeda kemanusiaan. Dalam pidatonya, Dagalo secara khusus menyebut nama Presiden Trump sebagai salah satu faktor pendorong keputusan tersebut.
"Sebagai tanggapan atas upaya internasional, terutama dari Yang Mulia Presiden AS Donald Trump, saya mengumumkan gencatan senjata kemanusiaan termasuk penghentian permusuhan selama tiga bulan," ujar Dagalo, dilansir France 24.
Dagalo berharap pihak lawan akan bergabung dalam inisiatif ini. RSF menginginkan negara-negara mediator, yang dikenal sebagai Quad, terus mendorong militer Sudan agar melunak.
Saat ini, RSF sendiri sedang menjadi sorotan karena taktik militernya yang brutal di Sudan. Pasukan paramiliter tersebut telah menuai berbagai kecaman atas serangan terhadap warga sipil setelah mengambil alih kota el-Fasher di Darfur.
2. Militer Sudan tolak proposal gencatan senjata

Sebelum pengumuman RSF, Panglima Angkatan Darat Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, telah lebih dulu menolak proposal damai yang diajukan oleh Quad. Kelompok mediator ini terdiri dari AS, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan Arab Saudi.
Burhan menuduh proposal yang disokong AS itu justru bertujuan melemahkan posisi angkatan bersenjata Sudan. Ia menilai rencana tersebut akan membiarkan RSF tetap menguasai wilayah-wilayah yang telah mereka rebut.
Burhan juga menganggap proposal tersebut bias karena adanya keterlibatan UEA dalam proses mediasi. Militer Sudan selama ini menuding negara Teluk tersebut sebagai pemasok senjata utama bagi pasukan pemberontak RSF.
"Tidak ada seorang pun di Sudan yang akan menerima kehadiran para pemberontak ini (RSF) atau membiarkan mereka menjadi bagian dari solusi apa pun di masa depan," tegas Burhan dalam pidatonya, dilansir Al Jazeera.
3. UEA kecam penolakan militer Sudan

Uni Emirat Arab (UEA) mengecam balik tuduhan dan penolakan militer Sudan. Abu Dhabi menilai Burhan terus-menerus menghambat jalan menuju perdamaian.
Menteri Negara untuk Kerja Sama Internasional UEA, Reem bint Ebrahim Al Hashimy, membantah tuduhan bahwa negaranya memihak salah satu kubu. Ia menegaskan fokus utama UEA adalah mengakhiri penderitaan warga sipil akibat perang berkepanjangan.
"Dalam penolakannya terhadap Rencana Perdamaian AS untuk Sudan, dan penolakannya yang berulang untuk menerima gencatan senjata, dia (Burhan) menunjukkan perilaku yang menghambat," ungkap Al Hashimy, dilansir The New Arab.
Perang saudara di Sudan yang pecah sejak April 2023 telah memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini. Puluhan ribu warga sipil tewas dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi akibat pertempuran yang tak kunjung usai.
Kedua belah pihak yang bertikai sama-sama menghadapi tuduhan pelanggaran berat hak asasi manusia. RSF bahkan dituduh melakukan genosida di wilayah Darfur.



















