Pemerintah Lebanon juga tidak banyak membantu terkait masalah ini. Dalam beberapa kasus, Dinas Keamanan Umum Lebanon, yang bertanggung jawab atas pengawasan perbatasan, bahkan mengenakan denda ratusan hingga ribuan dolar kepada para pekerja yang dokumennya sudah kadaluarsa. Padahal, sebagian besar dari mereka hanya menghasilkan beberapa ratus dolar per bulan.
"Di tengah serangan tanpa henti yang dihadapi Lebanon, sangat penting untuk tetap memperhatikan mereka yang paling rentan. Amnesti umum diperlukan bagi semua pekerja tanpa dokumen yang ingin pergi," ujar Dara Foi’Elle dari Migrant Workers Action (MWA), sebuah organisasi yang bekerja untuk melawan eksploitasi sistemik terhadap pekerja migran di Lebanon.
Sementara itu, salah satu masalah terbesar yang dikeluhkan perempuan di taman Saifi adalah kurangnya tempat pribadi untuk mandi atau menggunakan toilet.
“Ini lebih sulit bagi perempuan dibandingkan laki-laki,” kata Mortada, seorang pria Sudan yang melarikan diri dari wilayah selatan.
Lakmani, yang mengungsi bersama ibunya, mengatakan bahwa ia berusaha tetap bertahan meskipun kondisi tempat tinggalnya sekarang tidak nyaman. Meskipun bukan warga negara Lebanon, perempuan itu lahir dan dibesarkan di negara tersebut. Baginya, pergi bukanlah suatu pilihan.
“Kami tidak bisa kembali ke Sri Lanka, kami tidak punya apa-apa di sana. Kami ingin menunggu dan melihat. Jika kami tidak menemukan solusi di sini, kami akan kembali ke desa kami," ujarnya.