PPI Taiwan Harus Jadi Rumah bagi Pelajar Indonesia

- Febriyanti Rukmana dilantik sebagai Ketua PPI Taiwan 2024-2025, berharap PPI bisa memfasilitasi aspirasi pelajar Indonesia di Taiwan dan mempererat hubungan kedua negara.
- PPI Taiwan memiliki fokus program kerja yang berbeda dengan Perpita, menawarkan program kerja seperti international conference, Edu Fair, dan kolaborasi dengan organisasi pelajar lainnya.
- PPI Taiwan ingin mengadvokasi kehadiran perwakilan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Indonesia di Taiwan untuk membantu puluhan ribu mahasiswa Indonesia di sana.
Taipei, IDN Times – Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan masa bakti 2024-2025 telah dilantik pada Minggu (4/11/2024). Febriyanti Rukmana, mahasiswa S3 di Southern Taiwan University of Science and Technology, dipercaya untuk menahkodai PPI Taiwan untuk periode satu tahun ke depan.
Febri, sapaan karibnya, berharap PPI Taiwan bisa menjadi wadah yang memfasilitasi aspirasi pelajar Indonesia di Taiwan. Lebih dari itu, dia ingin PPI Taiwan bisa berperan aktif dalam mempererat hubungan kedua negara.
“Saya mungkin tidak banyak program kerja, tapi saya ingin PPI Taiwan jadi lebih impactful. Saya juga ingin PPI Taiwan bisa berkolaborasi, apakah dengan PPI kampus dan kota, organisasi pelajar Indonesia lainnya, bahkan dengan perwakilan pemerintah Indonesia dan Taiwan,” kata Febri kepada IDN Times di Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taiwan, Taipei, Minggu.
Di antara salah satu isu yang menjadi perhatian Febri adalah kehadiran perwakilan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Indonesia di Taiwan. Pasalnya, negara berjuluk Formosa ini menjadi “rumah” bagi puluhan ribu mahasiswa Indonesia.
Lantas, apa saja aspirasi PPI Taiwan lainnya? Yuk, simak selengkapnya wawancara IDN Times dengan Ketua PPI Taiwan 2024-2025 Febriyanti Rukmana.
PPI bukan satu-satunya organisasi pelajar Indonesia di Taiwan. Apa yang membedakannya dengan organisasi lainnya?

Apa yang membedakan antara PPI dengan Perpita (Persatuan Pelajar Indonesia di Taiwan) misalnya? Sebenernya gak ada bedanya, karena kita sama-sama punya visi dan misi untuk membantu pelajar Indonesia yang ada di Taiwan. Yang sedikit membedakannya mungkin di audiens kalau sekarang.
Perpita itu mayoritas anggota dan pengurusnya teman-teman S1. Sementara PPI itu mayoritas S2 dan S3. Tapi bukan berarti teman-teman S2 dan S3 tidak boleh ikut Perpita.
Karena audiens beda, fokus program kerjanya juga ada perbedaan. Karena PPI mayoritas S2 dan S3, banyak dari mereka yang sudah nulis jurnal dan esai, makanya kami menjadikan itu sebagai program kerja. Seperti tahun lalu, PPI pernah buat international conference. Ada juga Edu Fair kalau di pendidikan. Ada juga yang fun kayak PPI Taiwan Cup dan itu bisa diikuti oleh semua kalangan.
Sayangnya memang selama 2 tahun ini tidak ada kolaborasi antara organisasi pelajar Indonesia di Taiwan. Itu pula yang diharapkan oleh KDEI kepada PPI Taiwan. Dan kami juga sudah membuka komunikasi dengan Perpita untuk melihat peluang-peluang apa yang bisa dikolaborasikan di tahun mendatang.
Cuma masalahnya adalah PPI dan Perpita ini tidak start di waktu kepengurusan yang sama. Biasanya juga sudah ada program tahunan dan itu yang perlu kita sama-sama diskusi lebih lanjut.
Kalau untuk mahasiswa baru in general PPI dan Perpita sama ya. Kita welcoming anak baru dan membantu persiapan keberangkatan.
Kemudian, Perpita ini juga mereka diakui oleh pemerintah Taiwan di bawah Overseas Community Affairs Council (OCAC). Ini juga yang menjadi salah satu target PPI di tahun ini, karena kami mau mendapat legalisasi. Tapi, kalau pengakuan dari perwakilan Indonesia di sini, PPI dan Perpita keduanya diakui. Jadi kegiatan kami juga dibantu oleh Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei.
Pengakuan itu bukan berarti ketika kami punya acara, tentu mereka akan diundang atau mereka akan support acara kita. Ada juga PPI di negara lain yang belum diakui oleh pemerintah setempat. Tapi poin yang saya mau tekankan adalah ketika mendapat pengakuan, suara dan aspirasi kami akan semakin didengar.
Apa aspirasi PPI yang ingin disuarakan di bawah kepemimpinan Anda?
Kita tahu ada 20 ribu pelajar Indonesia di Taiwan. Taiwan ini salah satu negara dengan jumlah pelajar Indonesia terbanyak di dunia. Karena banyak, tentunya isu dan dinamika yang terjadi disini juga beragam. Dan salah satu yang kami suarakan adalah pentingnya ada perwakilan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains,d an Teknologi Indonesia di sini.
Saat ini urusan pendidikan masih di-handle oleh Pensosbud (Perlindungan WNI dan Penerangan Sosial-Budaya). Persoalan akademik itu sangat beragam dan isunya banyak sekali, jadi kalau ada perwakilan kementerian terkait akan sangat membantu. Di tahun ini saya punya Departemen Pendidikan dan Advokasi, maka advokasi-advokasi ini harus kami perkuat.
Saya tidak akan seperti kepengurusan sebelumnya yang banyak program kerja, karena harapan saya bisa melibatkan banyak orang dan memberikan dampak. Karena mungkin saja banyak program kerja tapi tidak semua pelajar terafilitasi. Makanya tujuan saya adalah impactful.
Saya juga mau menanamkan kolaborasi. PPI ini membawahi PPI kampus dan kota. Kalau setiap PPI buat kegiatan, itu pasti overlapping. Sementara di sini kami harus mendukung mereka. Nah, kenapa kegiatan itu gak dijadikan satu rangkaian dan supaya gak bentrok satu sama lain. Seperti saat welcoming, persiapan keberangkatan, atau misalnya ada PPI kampus dan kota yang mengadakan Indonesian Day.
PPI Taiwan ini juga bagian dari PPI Dunia dan PPI Dunia Kawasan Asia-Oseania. Kami juga ingin mengkolaborasikan seluruh kegiatan agar lebih impactful.
Ketika Anda mengatakan impactful, apakah itu untuk pelajar atau seluruh WNI yang ada di Taiwan?

Karena PPI ini organisasi pelajar, jadi fokus utamanya tentu pelajar. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk menjangkau WNI lainnya yang mau terlibat. Kami sangat terbuka. Saya ingat tahun lalu ada program pengabdian masyarakat di Departemen Pendidikan. Jadi kami mengundang PMI yang yang masih menempuh pendidikan di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) di Taiwan.
PMI ini kan tidak masuk di 20 ribu pelajar yang pure study itu. Tapi mereka juga punya hak lho untuk belajar. Makanya kami membuka kesempatan itu. Karena menurut saya justru itulah yang membedakan PPI Taiwan dengan lainnya.
PPI Taiwan itu adalah PPI negara kedua dengan anggota terbanyak di dunia. Jadi kebayangkan suara kita se-powerful itu. Dan saya bisa mengatakan, hampir di setiap departemen PPI Dunia itu ada representatif dari Taiwan. Bahkan Sekjen PPI Dunia itu dari Taiwan.
Kami juga aktif di isu-isu sosial. Seperti kemarin ada kabar teman kita yang sakit saat dia jadi student exchange. Nah di situ PPI bantu untuk komunikasi dengan KDEI, pemerintah Indonesia yang terkait. Karena dia baru tiba, jadi dia belum punya asuransi nasional, itu juga kami ikut membantu.
Ada stigma bahwa alumni Taiwan itu tidak lebih baik daripada alumni Eropa atau Amerika. Apakah isu ini juga menjadi concern PPI Taiwan?
Kami melihatnya lebih kepada opini pribadi dan mindset ya. Pasti ada juga orang yang berpikir, belajar di luar negeri pasti akan lebih baik gitu. Kenyataannya tidak juga. Ketika saya S2 kemarin di sini dan saya S1 di Indonesia, sistem pendidikan kita sudah mewajibkan skripsi, justru orang-orang di sini apalagi mereka yang ambil fast track S1 langsung S2, mereka kelabakan dengan tugas akhir penelitian mereka. Itu hanya sebagian kecil contoh dengan mereka yang belajar di dalam negeri.
Contoh lainnya adalah kalau kita membandingkan dengan sekolah keperawatan di Taiwan, faktanya memang nursing atau kesehatan di Taiwan itu salah satu yang terbaik di dunia. Walaupun memang secara overall, mungkin kalau lihat peringkat kampus dunia, yang di Amerika dan Eropa itu sudah tentu leading, tapi balik lagi kalau kita harus melihatnya subyek per subyek.
Bagaimana PPI Taiwan berperan dalam diplomasi publik untuk mempererat hubungan Indonesia-Taiwan?
Kami punya Edu Fair yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Kami mempromosikan dengan cara berbagi cerita studi tanpa ingin menjerumuskan. Makanya tahun lalu itu kami undang orang Indonesia dari 21 kampus Taiwan untuk menjelaskan baik buruknya, Mereka sharing, jadi tidak hanya sekadar mempromosikan yang bagus-bagus saja. Itu yang kami lakukan ya, karena memang fokus PPI di pendidikan.
Untuk kegiatan budaya kami juga ada Cultural Day. Ini juga jadi cara kami untuk mempromosikan Indonesia di Taiwan. Dan kegiatan ini selalu didukung oleh KDEI, ataupun TETO (Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan di Indonesia) dan beberapa perusahaan. Tahun lalu bahkan ada pertukaran budaya melalui orang Taiwan yang mempresentasikan wayang.
Terakhir, apa harapan Anda terhadap PPI Taiwan?

Jadi PPI Taiwan ini punya kewajiban untuk membuat program-program yang bisa membantu teman-teman pelajar di sini, sehingga teman-teman yang datang merasa disambut, terfasilitasi, dan ketika sudah lulus mereka sudah tahu harus melakukan apa.
Karena di sini ada 20 ribu pelajar Indonesia dan tentu sangat mungkin kami tidak bisa menjangkau semuanya, tapi kami harap kami bisa membantu mereka untuk paling tidak paham hak dan kewajibannya sebagai pelajar.
PPI juga harus bisa berkolaborasi dengan semuanya, bukan hanya untuk pengurus saja, tapi juga untuk pelajar semuanya. Karena berdasarkan AD/ART organisasi, setiap pelajar Indonesia yang datang ke Taiwan adalah anggota PPI tanpa harus mendaftar.
Laporan koresponden IDN Times di Taiwan: Vanny El Rahman