Apa itu 'One China Policy' dan Mengapa AS Bela Taiwan?

AS dalam kemelut ketegangan China-Taiwan

Jakarta, IDN Times - Salah satu titik nyala konflik dunia saat ini adalah di Asia Pasifik, tepatnya di Taiwan. Di wilayah ini, ketegangan antara China dengan Taiwan dikhawatirkan dapat memicu konflik luas yang menyeret konfrontasi militer skala besar.

Dalam pandangan China, Taiwan adalah provinsi yang memisahkan diri. Itu adalah bagian dari Prinsip Satu China. Namun pulau yang memiliki sekitar 23 juta penduduk dan telah memerintah sendiri secara demokratis itu, menolak klaim China.

Inilah sebenarnya akar konflik ketegangan di Asia Pasifik tersebut, yang ditakutkan akan menjadi ancaman perang besar. Hal ini karena Amerika Serikat mendukung dan akan membela Taiwan jika China melangkah melakukan agresi militer.

1. Kebijakan Satu China dan Prinsip Satu China

Apa itu 'One China Policy' dan Mengapa AS Bela Taiwan?Chiang Kai-Shek, pemimpin Kuomintang dan Mao Zedong, pemimpin PKC. (Wikipedia.org/傑克 威克爾斯)

Ada dua istilah yang mirip tapi sebenarnya berbeda. Dua istilah tersebut adalah 'Kebijakan Satu China' dan 'Prinsip Satu China.' Kebijakan Satu China adalah kebijakan yang diakui oleh AS pada tahun 1979 bahwa hanya ada satu negara bernama China.

Sedangkan 'Prinsip Satu China' adalah antara Taipei dan Beijing sama-sama mengakui satu 'China' akan tetapi tidak sependapat tentang siapa pemerintah yang sah. Prinsip tersebut merujuk pada Konsensus tahun 1922.

Dalam pandangan Beijing, 'Prinsip Satu China' tersebut adalah Taipei termasuk bagian dari China sedangkan gagasan itu mendapatkan tantangan keras dari kelompok politik di Taiwan yang terus berusaha membangun pemerintahan sendiri dan berpisah dari China Daratan.

China secara resmi dalam kancah internasional bernama People's Republic of China (PRoC) sedangkan Taiwan memilih nama Republic of China (RoC) atau juga yang dikenal China Taipei.

Dua pihak yang sampai saat ini bersengketa tersebut, masih sama-sama tetap menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa resmi. Banyak hal terkait sisi kultural antara keduanya juga sama.

Tapi secara politik, mereka berdua terus bertarung dan berkonflik. Ketegangan tersebut sampai saat ini terus terjadi dan bahkan menimbulkan ancaman akan terjadinya konfrontasi militer.

2. Bertarung, bersatu, lalu bertarung kembali

Apa itu 'One China Policy' dan Mengapa AS Bela Taiwan?Bendera Taiwan. (Pixabay.com/Chickenonline)

Ada sejarah yang rumit tentang ketegangan China-Taiwan saat ini. Pada tahun 1927 sampai tahun 1949, Kuomintang (KMT) yang membawa RoC bertarung dengan Partai Komunis China (PKC). Peperangan itu sempat berhenti sejenak ketika Jepang melakukan invasi atas China daratan.

Pada era penjajahan Jepang, KMT dengan PKC bersatu untuk melawan kekuatan kolonial, dengan bantuan pasukan Sekutu.

Kedua belah pihak yang bertikai itu kemudian kembali terlibat pertarungan setelah Jepang kalah. Pertempuran itu sangat berdarah dan mematikan dan PKC berhasil mengalahkan KMT.

Akhirnya, KMT yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek melarikan diri dan membawa serta pasukannya ke Taiwan. Taiwan sendiri, saat era penjajahan pernah dikuasai oleh Jepang. Tapi ketika Jepang kalah, pulau tersebut secara otomatis diserahkan kembali ke China.

Menurut BBC, ketika perang saudara berakhir pada 1949 tersebut, Kuomintang mulai membentuk pemerintahan sendiri di Taiwan dan PKC yang berkuasa memerintah daratan China dengan nama PRoC.

Kedua pihak itu sama-sama mengklaim mewakili seluruh China.

Namun kebangkitan PKC yang berkuasa di China daratan, mengancam akan menggunakan kekuatan jika Taiwan secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan. Upaya diplomatik yang lebih halus untuk merangkul Taiwan kembali ke pankuan China juga telah dilakukan tapi gagal.

3. AS di antara Taiwan dan China

Apa itu 'One China Policy' dan Mengapa AS Bela Taiwan?Ilustrasi (Pixabay.com/Tumisu)

Sejak PKC semakin mengukuhkan kekuasaannya di China daratan dan mendeklarasikan diri sebagai PRoC pada 1949, Amerika Serikat tidak mengakuinya. AS saat itu adalah bagian dari pasukan Sekutu yang membantu mengalahkan Jepang di China.

AS masih tetap mengakui bahwa pemerintahan resmi adalah yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek, yang membawa pasukannya mundur ke Taiwan. Bahkan Washington tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Beijing. Sebaliknya, Washington memiliki kantor resmi di Taipei, Taiwan.

Namun ketika AS melihat China semakin menjauh dari komunisme dan atas dasar kepentingan bersama, pada tahun 1979, Presiden AS Jimmy Carter secara resmi menjalin hubungan formal dengan Beijing dan menutup kedutaan di Taiwan.

Sebelumnya, pada tahun 1971, posisi Chiang Kai-Shek yang ada di PBB mewakili negaranya, juga terusir setelah Majelis Umum mengakui kedaulatan China. 

Menurut Center for Strategic & International Studies, meskipun AS menjalin hubungan hangat dengan China, "kakinya" belum sepenuhnya meninggalkan Taiwan. Kongres AS mengesahkan Undang-Undang Hubungan Taiwan pada tahun yang sama, untuk melindungi kepentingan komersial dan keamanan AS yang signifikan di pulau tersebut.

Tanpa ada hubungan diplomatik resmi, undang-undang tersebut memberi kerangka kerja melanjutkan hubungan AS dengan Taiwan, termasuk mengenai kepentingan komersial, budaya, keamanan dan lainnya antara masyarakat AS dan masyarakat Taiwan.

AS memiliki American Institute in Taiwan (AIT) yang bermitra dengan Taipei Economic and Cultural Representative Office (TECRO). Melalui dua lembaga tersebut, ada interaksi yang terus berlanjut meski tidak ada hubungan diplomatik resmi.

Baca Juga: Ini Ajakan China ke Indonesia dan Negara Kawasan Laut China Selatan

4. Upaya reunifikasi Taiwan ke China

Apa itu 'One China Policy' dan Mengapa AS Bela Taiwan?Pemandangan gedung pencakar langit di Taipei, Taiwan. (Unsplash.com/Frolda)

Gejolak politik tetap terjadi, baik itu di China maupun di Taiwan. Di Taiwan, ketika kediktatoran Chiang Kai-Shek digantikan oleh putranya bernama Chiang Ching-Kuo pada tahun 1987, darurat militer dicabut dan mulai melakukan transisi ke pertumbuhan ekonomi signifikan. 

Menurut CNN, bahkan Taiwan dan China kemudian menjalin hubungan diplomatik dan saling berinvestasi besar. Taiwan dengan produk elektroniknya, melakukan investasi besar di China. Sebaliknya, jutaan orang China berwisata ke Taiwan, menikmati keindahan alam.

Jalinan kehangatan hubungan China-Taiwan ini terjadi pada tahun 1990-an. Dalam proses ini, bahkan China juga mengharapkan akan ada proses reunifikasi Taiwan ke pangkuan China.

Tapi, Taiwan yang kemudian berubah menjadi pemerintahan demokratis, pihak oposisinya menolak reunifikasi tersebut dan tetap memilih untuk memerintah secara mandiri. Tujuan utama tetap meraih kedaulatan menjadi negara merdeka.

Dua kekuatan politik utama di Taiwan, yakni KMT dan DPP (Democratic Progressive Party). Kini Taiwan dipimpin oleh Presiden Tsai Ing-Wen dari DPP. Tsai adalah perempuan yang tegas yang mendukung gagasan Taiwan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.

Di sisi lain, Xi Jinping yang memimpin China, adalah salah satu pemimpin yang kuat dan berhasil membawa China meraih banyak kesuksesan di berbagai bidang, termasuk pertumbuhan ekonomi dan kekuatan militer.

Dan Xi Jinping, pada bulan Oktober 2021 mengatakan "tugas historis penyatuan kembali tanah air harus dipenuhi," ujarnya dikutip Deutsche Welle. Dia berharap bahwa Taiwan dapat kembali ke pangkuan China secara damai, tanpa harus ada aksi militer.

5. Apa pentingnya Taiwan bagi China dan AS?

Apa itu 'One China Policy' dan Mengapa AS Bela Taiwan?Ilustrasi (Twitter.com/Ambassador Deng Xijun)

Taiwan secara historis memiliki catatan panjang sebagai bagian dari Dinasti China. Kembalinya Hong Kong ke kendali China dari Inggris pada 1997, dipandang sebagai langkah kesuksesan.

Namun dengan bersikerasnya Taiwan, oleh orang China secara luas dinilai sebagai sisa akhir abad penghinaan remah-remah kolonialisme. CSIS menyebut, bahwa upaya pemisahan Taiwan menurut Xi Jinping dianggap sebagai penghalang bagi kebangkitan China sebagai kekuatan besar.

Ada janji yang harus ditepati oleh Partai Komunis China, yakni unifikasi Taiwan ke tanah air mereka.

AS telah terlibat dalam kemelut China-Taiwan sejak awal. Namun AS memang secara resmi tidak (atau belum) mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara. Hanya saja seringkali ada opini dari para pejabat tinggi yang menyebut Taiwan sebagai negara. Sebutan itu sering memicu kemarahan Beijing.

Taiwan sendiri sangat penting bagi AS. Taiwan adalah mitra dagang terbesar ke-12 AS pada tahun 2012 lalu, dan pada tahun 2017 menjadi mitra dagang terbesar ke-9. AS juga menjual miliaran dolar senjata pertahanan untuk Taiwan.

Tidak cuma soal mitra dagang, tapi ini lebih kepada langkah melindungi "teman lama" serta gagasan demokrasi yang telah diterapkan oleh Taiwan. AS ingin membela kebebasan orang-orang Taiwan yang lebih menghargai demokrasi dari pada otoriterianisme khas komunis.

6. Bersatu atau berperang? Sesederhana itukah?

Apa itu 'One China Policy' dan Mengapa AS Bela Taiwan?Ilustrasi pesawat militer (Unsplash.com/bryan robinson)

Jika saat ini kita melihat perkembangan ketegangan yang terjadi di Asia Timur, yang juga dapat memicu ketidak-stabilan Asia Pasifik dan dunia secara umum, ada semacam bingkai yang menunjukkan dua pilihan.

Dua pilihan tersebut adalah, Beijing dapat memaksa Taipei kembali bersatu, atau kalau tidak bisa maka jalan militer akan dilakukan. China saat ini telah menjadi raksasa, tidak hanya di bidang ekonomi tapi juga di bidang militer.

Namun dari dua pilihan itu, menurut John Culver dari The Interpreter, dua pilihan tersebut adalah opsi penyederhanaan yang sangat berbahaya.

Menurutnya, selama beberapa dekade terakhir sejak tahun 1970-an, China memiliki strategi politik unifikasi Taiwan, termasuk didalamnya ada komponen militer. China telah membangun pondasi hubungan internasional, termasuk dengan AS, untuk persoalan Taiwan.

Bagi Culver, PKC mungkin akan mampu untuk terus bersabar dan menjalankan serangkaian kampanye strategis dalam tujuannya membawa Taiwan ke pangkuan Beijing. Ini bisa berlangsung berbulan-bulan, bertahun-tahun dan bahkan satu dekade ke depan.

Ketegangan China dan Taiwan adalah perang saudara yang belum sepenuhnya berakhir sejak masa lalu.

Jikalau konflik militer benar-benar meletus, kawasan Asia Timur yang selama beberapa dekade telah menjadi salah satu kiblat pertumbuhan ekonomi dunia dan sumber utama pasokan berbagai barang produksi, akan terputus seketika dan menimbulkan kekacauan besar.

Ini karena akan menampilkan AS-China, dua kekuatan ekonomi dan militer terbesar di dunia.

Baca Juga: Australia Siap Dampingi AS Lindungi Taiwan Jika Diserang China

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya