Kesuksesan Putin di Perang Chechnya Tuai Tenaga untuk Invasi Ukraina

Mengapa Chechnya berbalik hingga akhirnya bantu Rusia kini?

Jakarta, IDN Times - Belasan ribu pasukan muslim Chechnya dikabarkan ikut membantu Rusia dalam invasi ke Ukraina. Ramzan Kadyrov, pemimpin Chechnya, mengaku berada di Ukraina bertemu dengan pasukannya pekan lalu.

Pasukan Chechnya disebut sebagai salah satu pasukan paramiliter yang tangguh. Di masa lalu, mereka pernah bertempur habis-habisan melawan tentara Rusia. Luar biasanya, pasukan Chechnya dapat memukul mundur tentara Rusia.

Tapi ketika Vladimir Putin menjadi Perdana Menteri Rusia, semua berubah. Putin memimpin serangan dan menghancurkan para pejuang muslim Chechnya, yang sejak 1990-an menuntut merdeka dari Rusia.

Vladimir Putin sebelumnya adalah agen rahasia KGB era Uni Soviet. Meski dia baru dalam politik, tapi kemenangan dalam menghancurkan pejuang muslim Chechnya membuat reputasinya naik.

Berikut ini adalah beberapa fakta tentang permusuhan Rusia dengan Chechnya, hingga kini pemimpinnya memilih untuk setia dengan Vladimir Putin.

Baca Juga: Jenderal Pasukan Khusus Chechnya Tewas saat Bantu Rusia Invasi Ukraina

1. Chechnya diperangi dan dicerabut dari tanah airnya

Kesuksesan Putin di Perang Chechnya Tuai Tenaga untuk Invasi Ukrainailustrasi masjid di Chechnya (Pixabay.com/Dondelord)

Muslim Chechnya dan Rusia telah terlibat bentrokan sejak berabad-abad lalu. Bahkan ketika Rusia masih berbentuk kekaisaran, pada abad ke-18, pasukan St. Petersburg mendapatkan perlawanan sengit dari orang-orang Chechnya yang tak bersedia wilayahnya dijajah.

Pada abad ke-19, perluasan kekuasaan Rusia sampai ke Kaukasus. Beberapa perang berdarah terjadi dan Chechnya merupakan tempat pertempuran yang brutal. Pada 1859, Chechnya berhasil dianeksasi oleh Rusia.

Laman arsip UNHCR mendokumentasikan sedikit kisah orang-orang muslim Chechnya yang kemudian diasingkan ke Turki oleh Tsar. Jumlahnya sekitar 39 ribu orang. Ketika Bolshevik menghancurkan kekaisaran Rusia, wilayah itu dikuasai oleh Soviet.

Meski begitu, banyak orang muslim Chechnya yang menolak kebijakan Stalin yang saat itu memimpin Soviet. Di 1930-an, gerakan anti-Rusia di kalangan muslim Chechnya semakin meningkat ketika penindasan kepada mereka semakin keras.

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, dilansir BBC, orang-orang muslim Chechnya pada tahun 1944 dituduh bekerja sama dengan pasukan Nazi pimpinan Adolf Hitler. Stalin kemudian mengasingkan orang-orang itu ke Kazakhstan utara dan Siberia mulai 23 Februari 1944.

Dilansir RFERL, sekitar setengah juta muslim Chechnya dicerabut dari tanah airnya. Banyak dari mereka tewas dalam perjalanan itu, entah karena kelaparan atau kedinginan atau karena peluru Soviet. Tiga tahun setelah Stalin tewas, Nikita Kruschev mengizinkan orang-orang itu kembali ke tanah airnya secara bertahap.

Baca Juga: Salah Disebut Jadi Alat "Propaganda Politik" Pemimpin Chechnya

2. Perang pertama Rusia-Chechnya

Kesuksesan Putin di Perang Chechnya Tuai Tenaga untuk Invasi Ukrainailustrasi perang (Unsplash.com/Hasan Almasi)

Chechnya adalah sebuah wilayah yang dekat dengan negara Georgia. Wilayah ini berada di barat daya Rusia. Ketika orang-orang Cechnya dipindahkan dari tanah airnya, banyak masjid yang dihancurkan. Pada 1978, otoritas Soviet yang komunis baru mengizinkan masjid kembali didirikan.

Menjelang runtuhnya Soviet, para tokoh Chechnya melakukan protes terutama status kedaulatan republik. Pada November 1990, Chechnya bersama Ingush mendeklarasikan kedaulatan sebagai sebuah negara merdeka. Dzhokhar Dudayev memenangkan pemilihan presiden pada 1991 dan menyatakan Chechnya merdeka dari Rusia.

Pada 1994, ketika tentara Rusia dikerahkan ke Chechnya, wilayah itu sudah memilih mengadopsi konsitusi negara sekuler independen, dipimpin presiden dan parlemen. Alfabet Latin juga telah diperkenalkan.

Rusia tidak mau Chechnya merdeka dan Presiden Boris Yeltsin memerintahkan tentaranya untuk menduduki wilayah tersebut. Perang kemudian terjadi selama 20 bulan. Gedung-gedung di Chechnya hancur berantakan akibat serangan bom dan artileri berat.

Menurut Deutsche Welle, selama perang itu, tidak ada angka akurat mengenai jumlah pasti korban tewas. Tapi puluhan warga sipil tewas dan banyak muslim Chechnya yang tinggal di kamp pengungsian sampai puluhan tahun kemudian.

Meski perang itu dimenangkan oleh Rusia, tapi muslim Chechnya melakukan perlawanan yang sengit, yang sesekali memukul mundur tentara Rusia. Banyak juga para jihadis asing yang datang ke Chechnya, membantu perjuangan wilayah itu. Pada tahun 1996, pasukan Rusia mundur dari Chechnya.

Pada 1997, perjanjian damai dibuat tapi masalah kemerdekaan belum menemukan solusi yang pasti. Tahun-tahun berikutnya, gerakan gerilya Chechnya terus mengganggu Rusia, dengan aksi penyanderaan dan sabotase.

Tapi di Chechnya, permusuhan juga terjadi di antara mereka sendiri.

Jihadis asing yang seperti dari Saudi dengan ideologi muslim puritan atau lebih dikenal sebagai Wahabbisme, dilansir Al Jazeera, bertentangan dengan tradisi sufi Chechnya. Akhmad Kadyrov, mufti tertinggi Chechnya, melihat pandangan eksremis sebagai ancaman bagi gerakan perjuangan Chechnya.

Kadyrov yang dulu menyatakan perang melawan tentara Rusia, kini berubah arah. Dia berpihak pada tentara Rusia.

Pada 1999, seorang mantan perwira KGB yang tidak terlalu terkenal, Vladimir Putin, menjadi Perdana Menteri Rusia. Tak berapa lama kemudian, darah tertumpah kembali di Chechnya, sebuah provinsi kecil yang terkunci daratan. Kadyrov ikut bertempur di sisi pasukan Rusia tersebut

Baca Juga: Saat Perang di Ukraina Berkecamuk, Putin Peringati Pencaplokan Krimea

3. Munculnya Vladimir Putin dan Perang Chechnya kedua

https://www.youtube.com/embed/xBXmUXzOQWw

Muslim Chechnya dengan perjuangannya untuk merdeka dari Rusia, dianggap sebagai kelompok separatis pemberontak. Ketika Vladimir Putin mengisi jabatan Perdana Menteri, salah satu retorika utamanya adalah antiseparatisme.

Gasan Gusejnov, seorang ahli konflik etnis di bekas Uni Soviet yang telah mengajar sejarah dan politik Chechnya di Universitas Heinrich Heine di Düsseldorf memberi penjelasan tentang hal ini.

Gusenjov menjelaskan, dilansir Deutsche Welle, bahwa ketika Putin berkuasa, "pesan utamanya kepada penduduk adalah, 'ada tempat yang terluka di wilayah bekas Uni Soviet dan saya akan menyembuhkan tempat yang terluka ini. Saya akan menghentikan separatis sekali dan selamanya.'"

Tentara Rusia segera menuju Chechnya. Ibu kota Grozny berhasil direbut dengan perang berdarah dan kehancuran mematikan setelah taktik pengepungan dilakukan. Pada tahun 2000, Putin menunjuk Akhmad Kadyrov, sebagai kepala administrasi di Chechnya.

Meski pejuang Chechnya berantakan, tapi serangan kekerasan sporadis tetap terjadi di banyak tempat di Rusia, seperti serangan bom bunuh diri. Pemerintah berwenang menyalahkan serangan itu dilakukan oleh orang-orang Chechnya.

Salah satu serangan itu, menurut The Guardian, berhasil menewaskan Kadyrov yang secara luas dinilai sebagai boneka Rusia pada 2004. Setahun kemudian, pemimpin pejuang Chechnya Aslan Maskhadov serukan gencatan senjata dan mendesak persetujuan damai dengan Moskow.

Tapi Maskhadov tewas dalam operasi khusus di Chechnya, dan Abdul-Khalim Saydullayev menggantikannya. Pada 2006, Ramzan Kadyrov, putra Akhmad Kadyrov, ditunjuk Putin sebagai pemimpin Chechnya. Sampai saat ini, Kadyrov tetap berada di jabatan itu, dan bahkan mengirim orang-orang Chechnya membantu Rusia menginvasi Ukraina.

4. Reputasi Vladimir Putin meningkat

Kesuksesan Putin di Perang Chechnya Tuai Tenaga untuk Invasi UkrainaVladimir Putin. (Twitter.com/Kremlin Russia)

Stanislav Belkovsky, seorang analis politik yang berbasis di Moskow, dilansir Al Jazeera, mengatakan bahwa keamanan di Chechnya dinilai sebagai tujuan utama Putin. Publik Rusia juga memuji prestasi Putin yang membawa stabilitas dan ketenangan di Chechnya, meski dengan perang mematikan.

Namun Belkovsky juga melihat sisi lain. Menurutnya, "kedua perang Chechnya menjadi faktor sistemik dalam membentuk Rusia saat ini. Alih-alih pembangunan damai di dalam negeri, kami beralih ke prioritas ekspansi eksternal."

Pendapat Belkovsky bisa dilacak dengan catatan pergerakan pasukan Rusia ke luar negeri. Setelah Chechnya, tentara Rusia bertempur di Georgia. Di Ossetia Selatan, Presiden Georgia Mikheil Saakashvili mengirim pasukan melawan para pemberontak di wilayah tersebut pada tahun 2008. Tapi Rusia datang untuk membela pemberontak.

Georgia dan Rusia sebelumnya telah terlibat beberapa ketegangan dan Saakashvili yang pro-Barat, ingin menarik negaranya bergabung dengan keanggotaan NATO. Rusia tidak suka dengan hal itu.

Dilansir History, perang Georgia melawan Rusia terjadi selama lima hari. Setelah beberapa bulan saling tuduh dan provokasi, Georgia mengirim pasukan merebut ibu kota Ossetia Selatan, Tskhinvali. Tapi Rusia dengan cepat menanggapi dan melakukan serangan udara.

Ada seruan gencatan senjata dan upaya diplomatik serta bantuan kemanusiaan. Tapi komunitas internasional lebih terlihat tidak berbuat banyak untuk menghentikan konflik itu. 850 orang tewas dan sekitar 35 ribu warga Georgia kehilangan tempat tinggal.

Reputasi Vladimir Putin terus naik. Dia dalam jajaran pejabat tinggi, bermain politik dengan cantik. Meski pernah digantikan oleh Medvedev sebagai Presiden Rusia, tapi pada akhirnya dia kembali berkuasa. Sampai saat ini, Putin masih tetap berkuasa di Rusia dan kemungkinan masih lama mendapatkan jabatan itu.

Di 2014, Rusia kembali mengerahkan kekuatan militer. Pada tahun itu, mereka mencaplok Semenanjung Krimea, wilayah Ukraina. Selain itu, Rusia juga dituduh terlibat mendukung kelompok pemberontak Ukraina pro-Moskow yang ada di Donbass, Ukraina timur. Rusia menolak tuduhan tersebut.

5. Paralelisme Rusia dalam konflik Chechnya dan Ukraina

Kesuksesan Putin di Perang Chechnya Tuai Tenaga untuk Invasi UkrainaKendaraan tempur Rusia. (Twitter.com/ Минобороны России)

Sejak pencaplokan Krimea oleh Rusia dan konflik di Donbass, Ukraina timur, hubungan Moskow dengan Kiev terus memburuk. Sampai pada titik terendah pada 2021, ketika Rusia mengirim tentaranya ke dekat perbatasan Ukraina.

Barat menuduh Rusia merencanakan serangan ke Ukraina, tapi Moskow terus menolak tuduhan itu. Pada 24 Februari 2022, Rusia pada akhirnya menyerang Ukraina, yang oleh Putin disebut 'operasi militer khusus.' Ribuan orang tewas dalam perang.

Seorang wartawan yang pernah meliput perang Chechnya pada 1990-an, Thomas de Wall, dilansir NPR, dia menjelaskan ada paralelisme antara Chechnya dan Ukraina. "Penggunaan artileri berat, penyerangan pusat kota tanpa pandang bulu. Mereka membawa kembali beberapa kenangan yang cukup mengerikan bagi kita yang meliput perang Chechnya tahun 1990-an," jelasnya.

De Wall juga menilai ada paralel politik. Menurutnya, "ada proyek mengembalikan Chechnya ke kendali Rusia, dan sekarang pada 2022 untuk mengembalikan Ukraina ke wilayah pengaruh Rusia."

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya