Macron Kunjungi Rwanda untuk Memperbaiki Hubungan

Prancis dituduh terlibat dalam genosida di Rwanda

Kigali, IDN Times - Hubungan antara Prancis dan Rwanda telah tegang selama beberapa dekade terakhir. Ini karena persoalan dugaan keterlibatan Prancis dalam genosida yang terjadi di Rwanda pada pertengahan tahun 1990an. Dalam peristiwa tersebut, lebih dari 800 ribu suku Tutsi di Rwanda dikabarkan tewas.

Pada hari Kamis, 27 Mei 2021, Presiden Prancis Emmanuel Macron berkunjung ke Kigali untuk ikut memperingati peristiwa pembantaian di Rwanda, yang mana peristiwa itu terjadi tepatnya pada tahun 1994. Selain itu, Macron juga berharap ingin membuka lembaran baru hubungan dengan Rwanda.

Dalam kunjungan ke Rwanda, Macron akan menunjuk Duta Besar Prancis untuk negara tersebut yang telah kosong sejak tahun 2015. Macron juga akan menjadi pemimpin Prancis pertama yang berkunjung ke Rwanda sejak tahun 2010.

1. Normalisasi hubungan Prancis-Rwanda

Sebelum Macron berkunjung ke Rwanda, Prancis telah membentuk komite penyelidikan atas dugaan keterlibatan dalam peristiwa genosida. Pada bulan Maret, komisi itu melaporkan sikap kolonial telah membutakan para pejabat Prancis dan pemerintah memikul tanggung jawab "serius dan luar biasa" karena tidak meramalkan genosida itu.

Meski begitu, tidak ada bukti kuat atas dugaan keterlibatan Prancis dalam peristiwa yang telah dituduhkan oleh pemerintah Rwanda selama hampir seperempat abad.

Hasil dari komisi penyelidikan itu membuat hubungan yang tegang selama puluhan tahun mencapai titik balik. Melansir dari laman France24, Presiden Rwanda Paul Kagame, yang memimpin pemberontakan Tutsi untuk mengakhiri genosida, menyatakan temuan itu bakal membuka jalan baru.

Pekan lalu, Kagame berkunjung ke Prancis. Ia adalah pemimpin Rwanda yang pernah memutuskan hubungan dengan Prancis karena tuduhan keterlibatan genosida. Namun berdasar laporan komisi penyelidik, itu telah membuka jalan bagi Prancis dan Rwanda untuk memiliki "hubungan yang baik."

Gabriel Attal, juru bicara pemerintah Rwanda pada hari Rabu (26/5) menyebut kunjungan Macron adalah "tindakan yang sangat berarti." "Itu bukti bahwa kesediaan presiden untuk menghadapi sejarah kita, masa lalu kita, dalam transparansi penuh adalah jalan terbaik ke depan,” ujarnya.

2. Rakyat Rwanda mungkin tidak lupa tapi memaafkan

Baca Juga: Sebelum positif COVID-19, Presiden Emmanuel Macron Bertemu PM Portugal

Emmanuel Macron menyatakan ketegasannya untuk menjauhkan Prancis dari masa lalu kolonialnya. Pada bulan April lalu, ia bahkan siap membuka arsip Rwanda ketika Prancis dipimpin Francois Mitterrand. Peristiwa pembantaian di Rwanda itu terjadi ketika Mitterrand berkuasa.

Kemudian penyelidikan dilakukan dan menemukan tidak ada bukti kuat atas tuduhan keterlibatan Prancis secara langsung terhadap pembunuhan yang terjadi kepada tokoh-tokoh moderat Hutu dan suku Tutsi.

Dalam kunjungannya ke Kigali untuk membuka lembaran baru hubungan antara dua negara, Macron akan berpidato di Gisozi, tempat di mana lebih dari 250.000 orang Tutsi dimakamakan. Melansir dari kantor berita Reuters, Presiden Kagame mengatakan bahwa rakyat Rwanda "mungkin tidak melupakan (peristiwa) tapi memaafkan" Prancis atas perannya.

Meski begitu, banyak rakyat Rwanda yang sebenarnya menuntut Prancis untuk meminta maaf secara penuh. Henriette Uwase yang berusia dua tahun ketika ayah dan dua saudara laki-lakinya terbunuh dalam peristiwa genosida tersebut mengatakan "saya berharap dia bisa meminta maaf atas apa yang dilakukan Prancis selama tahun 1994."

3. Apa yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994?

Macron Kunjungi Rwanda untuk Memperbaiki HubunganPaul Kagame, Presiden Rwanda saat ini (Twitter.com/ Paul Kagame)

Di Rwanda, ada tiga kelompok suku utama yakni Hutu, Tutsi dan Twa. Ketika pembantaian 1994 terjadi, kira-kira 85 persen penduduk adalah Hutu, sementara 14 persen adalah Tutsi dan satu persen adalah Twa. Pemerintahan saat itu dipegang oleh mayoritas Hutu sejak Rwanda merdeka pada tahun 1962.

Mulai tahun 1990an, ada suku Tutsi yang membentuk kelompok pejuang untuk memberontak. Mereka berperang dengan pemerintah yang didominasi Hutu. Perang mengalami jalan buntu dan akhirnya Presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana dari suku Hutu, menandatangani kesepakatan damai dengan suku Tutsi. Kesepakatan itu membuat dua suku bersepakat untuk berbagi kekuasaan.

Melansir dari laman United States Holocaust Memorial Museum (USHMM), pada 6 April 1994, Presiden Habyarimana terbunuh setelah pesawatnya terkena serangan roket darat-ke-udara ketika mendarat di Kigali. Sampai saat ini tidak ada kejelasan kelompok mana yang telah menyerang.

Tapi akibat kejadian tersebut, pemimpin garis keras Hutu menuduh bahwa Tutsi yang melakukannya. Setelah itu, mereka melancarkan kampanye untuk menghabisi Tutsi. Gerakan awal dari kelompok tersebut adalah membunuh tokoh Hutu yang moderat terlebih dahulu, yang mungkin nanti akan jadi penghalang atas rencana serangan besar-besaran untuk menghabisi Tutsi.

Selama 100 hari kemudian, ribuan anggota masyarakat suku Hutu dan militer Rwanda bergerak untuk membunuhi Hutu moderat dan kelompok suku Tutsi. Banyak dari Tutsi yang berlindung di gereja, sekolah atau gedung-gedung pemerintah. Namun justru ditempat itu, pembantaian mengerikan terjadi.

Dalam peristiwa inilah, pemerintah Rwanda saat ini melaporkan bahwa Prancis mempersenjatai, menasihati, melatih, melengkapi, dan melindungi pemerintah Rwanda yang saat itu mendapatkan dukungan penuh dari Prancis.

Serangan itu meluas tidak hanya di ibukota Kigali, tapi juga ke desa-desa terpencil, di mana para tokoh desa memberikan informasi tentang keberadaan tetangga mereka yang Tutsi. Lebih dari 800.000 orang Hutu moderat dan Tutsi tewas. Jutaan orang Tutsi lainnya mengungsi.

Pembantaian itu berakhir ketika pejuang Rwandan Patriotic Front (RPF) merebut ibukota Kigali dan menggulingkan kekuasaan. Pemerintahan yang baru membuat kebijakan persatuan dan rekonsiliasi, tidak membedakan rakyat Rwanda berdasarkan kelompok suku. Pemimpin RPF adalah Paul Kagame, yang saat ini menjadi Presiden Rwanda.

Baca Juga: Macron Hadiri Upacara Pemakaman Mantan Presiden Chad

Pri Saja Photo Verified Writer Pri Saja

Petani Kata

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Novaya

Berita Terkini Lainnya