Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Logo dari organisasi OCCRP yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda. (Dokumentasi OCCRP)
Logo dari organisasi OCCRP yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda. (Dokumentasi OCCRP)

Jakarta, IDN Times - Menutup tahun 2024, Indonesia dihebohkan dengan pengumuman dari sebuah organisasi bernama Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Penyebabnya, Presiden ke-7, Joko "Jokowi" Widodo masuk ke dalam daftar nominasi pemimpin paling korup pada 2024. 

Nama Jokowi bersanding dengan Presiden Kenya, William Ruto, mantan Presiden Nigeria Bola Ahmed Tinubu, mantan Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina dan pengusaha asal India, Gautama Adani. Meski masuk ke dalam nominasi, tetapi bukan Jokowi yang dinobatkan sebagai pemenang dalam kategori pemimpin terkorup versi OCCRP.

Mereka menobatkan Presiden Suriah yang melarikan diri ke Rusia, Bashar Al Assad sebagai pemimpin terkorup 2024. Sedangkan, Presiden William Ruto dinobatkan jadi pemimpin yang paling banyak mendapatkan voting untuk kategori 'Person of the Year' untuk tindak kejahatan yang terorganisir dan korupsi. 

Masuknya nama Jokowi ke dalam daftar nominasi ditanggapi oleh beragam respons. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), parpol yang dipimpin oleh putra Jokowi menyebut publikasi OCCRP sebagai media penyaluran bagi kelompok barisan sakit hati dan belum bisa menerima hasil pilpres Februari 2024 lalu. 

Apa itu lembaga OCCRP dan bagaimana cara penentuan individu untuk dinominasikan sebagai salah satu pemimpin paling korup?

1. OCCRP organisasi jurnalis investigasi terbesar dan bermarkas di Belanda

Paul Radu, salah satu pendiri organisasi OCCRP. (Dokumentasi OCCRP)

OCCRP merupakan salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda.

Dilansir dari situs OCCRP, lembaga ini memiliki visi menjadikan dunia lebih terinformasi di mana kehidupan, mata pencaharian, dan demokrasi tidak terancam oleh kejahatan dan korupsi. Misi OCCRP adalah menyebarkan dan memperkuat jurnalisme investigasi di seluruh dunia dan mengungkap kejahatan serta korupsi sehingga masyarakat dapat meminta pertanggungjawaban kepada pihak berwenang.

OCCRP didirikan oleh jurnalis investigasi veteran Drew Sullivan dan Paul Radu pada 2007 lalu. Organisasi itu bermula di Eropa Timur dengan sedikit mitra. Tetapi, pelan-pelan tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar dalam kolaborasi jurnalis investigasi. OCCRP bekerja dengan memegang standar tertinggi demi kepentingan publik. 

Sementara, terkait publikasi OCCRP soal pemimpin terkorup pada 2024, Sullivan mengatakan tindak korupsi merupakan bagian penting untuk membuat pemerintahan otokratik berkuasa. "Pemerintahan yang korup ini melanggar hak asasi manusia (HAM), memanipulasi pemilu, menjarah sumber daya alam dan pada akhirnya menciptakan konflik ketidakstabilan yang sudah diwariskan dari periode sebelumnya," kata Sullivan seperti dikutip dari situs resmi OCCRP. 

"Satu-satunya masa depan bagi negara semacam itu adalah akan runtuh atau memicu terjadinya revolusi berdarah," imbuhnya. 

Organisasi ini pernah terlibat dalam peliputan spyware Pegasus serta kebocoran data Panama Papers. Kini organisasi ini tersebar di seluruh Eropa, Afrika, Asia dan Amerika Latin. 

Selama beroperasi, OCCRP telah membuat lebih dari 702 pejabat dunia mengundurkan diri atau diskors dari jabatan. Laporan-laporan lembaga ini telah menghasilkan lebih dari 620 dakwaan, berbagai vonis hukuman, hingga lebih dari 100 aksi korporasi.

Selain Bashar Al-Assad, OCCRP juga pernah menobatkan mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte sebagai pemimpin paling korup pada 2017 lalu. Ia terpilih lantaran selama memimpin Filipina bertanggung jawab terhadap lebih dari 1.000 pembunuhan di luar proses peradilan. Selain itu, Duterte juga dianggap melakukan pelanggaran HAM secara sistematis. 

2. Sumber pendanaan OCCRP

Ilustrasi profesi jurnalis. (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara, OCCRP mendapatkan sumbangan dana dari organisasi-organisasi seperti The Bay and Paul Foundations, Dutch Postcode Lottery, European Instrument for Democracy and Human Rights, Ford Foundation, Fritt Ord Foundation, German Marshall Fund.

Kemudian, ada pula sumbangan dari Kementerian Eropa dan Luar Negeri Prancis, Kementerian Luar Negeri Denmark, National Endowment for Democracy, Oak Foundation, Open Society Foundations, Puech Foundation, Rockefeller Brothers Fund, Skoll Foundation, US Agency for International Development, hingga Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat.

Selain itu, OCCRP juga menggalang sumbangan dari para pembacanya di seluruh dunia. Kontribusi paling rendah dari publik bermula dari angka US$10 atau setara Rp163 ribu. 

3. Nama di dalam daftar nominasi bukan ditentukan dengan voting

Daftar finalis calon pemimpin terkorup versi OCCRP. (Tangkapan layar OCCRP)

OCCRP juga mengklarifikasi mengenai dasar nama-nama tertentu masuk ke dalam daftar nominasi pemimpin paling korup. Mereka menegaskan nama-nama tersebut bisa masuk ke dalam daftar nominasi bukan karena proses voting. 

"Para juri kami meninjau semua nominasi yang ada. Tetapi, keputusan akhir ada di tangan para juri. Ini bukan sebuah kontes untuk menguji popularitas," demikian cuit OCCRP di platform X resminya dan dikutip pada hari ini. 

Mereka mengakui Presiden Kenya, William Ruto menerima lebih dari 40 ribu nominasi dari seluruh dunia. Ini merupakan nominasi terbanyak yang pernah mereka terima untuk satu individu. Tetapi, para juri menetapkan pemimpin paling korup adalah eks Presiden Suriah, Bashar Al Assad. 

"Ini karena kerusakan dan kekacauan lintas negara yang disebabkan oleh rezim pemerintahannya. Hal itu juga berpengaruh di kawasan Timur Tengah. Keputusan ini bukan berarti mengecilkan peran Ruto atau menganggap sebelah mata perbuatan korupsinya," tutur mereka. 

Para juri menetapkan pemimpin paling korup berdasarkan skala dan dampak atas perbuatan mereka di tingkat global. Pernyataan ini sekaligus menepis narasi yang dibangun di Tanah Air, bahwa ada pihak yang sengaja mengorkestrasi agar nama Jokowi masuk ke dalam daftar nominasi. 

Narasi itu dibentuk dengan alasan dorongan dari sejumlah pihak di media sosial pada awal Desember 2024 lalu untuk ramai-ramai menominasikan nama Jokowi. 

Editorial Team