CDC Tiongkok: Kasus Corona Wuhan 10 Kali Lebih Tinggi dari Data Resmi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Sebuah studi oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Tiongkok, mengklaim kasus infeksi virus corona (COVID-19) yang terjadi di kota Wuhan, jauh lebih banyak dari yang dilaporkan pemerintah.
Menurut CNN pada Selasa, 29 Desember 2020, studi tersebu melaporkan ada hampir setengah juta penduduk yang terinfeksi COVID-19, di tempat virus tersebut pertama kali ditemukan. Menurut CDC Tiongkok, angka itu setara hampir 10 kali lipat jumlah resmi dari kasus yang dikonfirmasi.
1. Studi untuk mengetahui tingkat prevalensi antibodi virus corona di dalam dan di luar Wuhan
Studi tersebut bertujuan untuk memperkirakan skala infeksi masa lalu dalam suatu populasi dengan menguji sampel serum darah dari sekelompok orang, untuk mengetahui antibodi virus corona. Temuannya tak dianggap sebagai statistik akhir tentang berapa banyak orang di daerah tertentu yang telah terpapar virus.
Studi tersebut hanya menyoroti perbedaan besar antara tingkat prevalensi antibodi virus corona di dalam dan di luar Wuhan.
CDC Tiongkok mengatakan penelitian itu dilakukan sebulan setelah negara itu berhasil menangani gelombang pertama epidemi COVID-19.
2. Sebanyak 34 ribu orang jadi sampel penelitian
Studi ini sendiri menggunakan 34 ribu orang sampel dalam populasi umum untuk memperkirakan tingkat infeksi COVID-19. Orang-orang itu berasal dari Wuhan dan kota-kota lain di provinsi Hubei, serta Beijing, Shanghai, provinsi Guangdong, Jiangsu, Sichuan dan Liaoning.
Para peneliti menemukan tingkat prevalensi antibodi penduduk di Wuhan, yang notabene kota metropolitan berpenduduk 11 juta orang itu, hanya mencapai 4,43 persen. Menurut Komisi Kesehatan Kota Wuhan, hingga Minggu, kota tersebut telah melaporkan total 50.354 kasus COVID-19 yang terkonfirmasi.
Studi itu juga menunjukkan tingkat prevalensi yang ada di luar Wuhan ternyata hasilnya lebih rendah. Di kota lain seperti Hubei misalnya, hanya 0,44 persen penduduk yang disurvei memiliki antibodi virus corona.
Di luar provinsi tersebut, hanya ditemukan dua antibodi terdeteksi dari 12 ribu penduduk yang disurvei.
CDC Tiongkok sendiri telah memublikasikan studinya melalui media sosial pada Senin lalu. Namun, tidak disebutkan apakah penelitian tersebut telah dipublikasikan di jurnal akademik.
3. Ada ketidaksesuaian pelaporan data
Editor’s picks
Yanzhong Huang, seorang rekan senior untuk kesehatan global di Council on Foreign Relations mengatakan, studi tersebut menunjukkan kelemahan karena kurangnya data pelaporan infeksi selama puncak wabah di Wuhan.
Ia menyebut, alasan ini bisa terjadi karena adanya kekacauan pada saat itu, atau adanya kegagalan untuk memasukkan data kasus yang asimtomatik (tanpa gejala) dalam hitungan resmi dari kasus yang terkonfirmasi.
Sepanjang Januari-Februari 2020 lalu, pasien yang mengalami demam membanjiri rumah sakit Wuhan, tapi mereka tak tertangani karena kurangnya tenaga, alat tes, dan sumber daya medis untuk mendiagnosis serta merawat mereka. Alhasil, banyak pasien yang dipulangkan dan melakukan isolasi mandiri.
Sayangnya, beberapa di antara mereka akhirnya menginfeksi anggota keluarga lainnya.
Baca Juga: WHO akan Kirim Tim Ilmuwan ke Wuhan, Cari Asal Muasal COVID-19
4. Kasus tak terhitung terjadi di banyak negara
Kasus tak tercatat atau underreporting semacam itu ternyata bukan hanya terjadi di Wuhan ataupun wilayah lain di Tiongkok. Beberapa negara lain juga mengalami masalah serupa akibat kurangnya kapasitas dan sumber daya yang dibutuhkan, sebagaimana ditunjukkan hasil studi antibodi yang dilakukan oleh para peneliti di belahan dunia lainnya.
Salah satu contohnya adalah penelitian yang disponsori oleh Departemen Kesehatan Negara Bagian New York. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa pada akhir Maret, satu dari tujuh orang dewasa di New York terinfeksi COVID-19. Angka itu sekitar 10 kali lebih tinggi daripada yang ditunjukkan data resmi.
5. Dugaan manipulasi data
Meski kasus underreporting terjadi di negara lain, namun Tiongkok telah lama dituduh memanipulasi data warganya yang terinfeksi COVID-19. Negara itu disebut kurang transparan dalam melaporkan angka kasus yang sebenarnya.
Pada 12 Februari 2020, otoritas kesehatan Hubei mulai memasukkan “kasus yang didiagnosis secara klinis” dalam hitungan infeksi yang dikonfirmasi. Hal itu mengakibatkan adanya peningkatan sembilan kali lipat dalam kasus harian dari hari sebelumnya.
Menurut dokumen CDC Provinsi Hubei yang dilihat CNN, sebelum peningkatan besar tersebut, pihak berwenang telah melaporkan “kasus yang didiagnosis secara klinis” secara internal, tetapi tidak mengungkapkannya kepada publik. Laporan dari pihak berwenang Hubei juga menunjukkan jumlah kasus dan kematian yang dikonfirmasi pada 10 Februari dan 7 Maret lebih rendah daripada yang mereka catat secara internal.
Baca Juga: Liput Wuhan, Tiongkok Penjarakan Jurnalis