Ribuan Akademi Israel Desak Akhiri Perang di Gaza

Jakarta, IDN Times- Sekitar 1.200 akademisi dari berbagai universitas dan perguruan tinggi di Israel secara terbuka menyerukan penghentian segera perang di Jalur Gaza. Melalui surat yang dikirimkan pada Selasa lalu (27/5/2025), mereka menyuarakan keprihatinan mendalam akan adanya keruntuhan moral di Israel sebagai dampak konflik.
Surat tersebut juga ditujukan kepada para pimpinan sistem akademik di Israel. Mereka mendesak institusi pendidikan tinggi untuk mengerahkan seluruh pengaruh guna menghentikan perang.
Kelompok yang menginisiasi seruan ini menyebut diri mereka "Black Flag Action Group". Mereka juga menuduh Israel melakukan serangkaian kejahatan perang dan kemanusiaan di Gaza.
1. Surat fokus pada penderitaan warga Palestina
Surat ini menempatkan penderitaan warga Palestina sebagai inti keberatan mereka terhadap perang. Pendekatan ini agak berbeda dari protes-protes domestik lainnya yang biasa berfokus pada sandera Israel.
Mereka merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan pandangan ini secara terbuka.
"Sebagai akademisi, kami sadar punya andil dalam kejahatan ini. Kejahatan terhadap kemanusiaan juga dilakukan oleh masyarakat, tak hanya pemerintah. Ada yang terlibat langsung, ada yang mendukung dengan pembenaran, atau memilih diam, bahkan membungkam kritik di kampus" bunyi surat tersebut, dikutip dari Al Jazeera.
Melansir Middle East Eye, nama "Black Flag" yang dipilih kelompok ini punya arti penting dalam hukum Israel. Profesor On Barak dari Universitas Tel Aviv menjelaskan bahwa istilah ini berkaitan dengan peristiwa pembantaian Kafr Qasim tahun 1956. Saat itu, "bendera hitam" menjadi simbol bagi perintah yang begitu tidak bermoral sehingga ilegal untuk dipatuhi.
2. Tekanan terhadap pemerintah Israel meningkat
Seruan ini muncul bersamaan dengan kritik lain di Israel terhadap perang Gaza. Salah satunya dari Mantan PM Israel Ehud Olmert yang mengutuk tindakan Israel dan menyebutnya mendekati kejahatan perang karena telah membunuh warga Palestina yang tidak bersalah.
"Perang ini secara sadar dan sengaja membahayakan para sandera. Siapa pun yang membunuh ibu dan membuat bayi kelaparan di Gaza juga merugikan ibu para sandera. Kita berada di tengah keruntuhan moral," ujar Profesor Yael Hashiloni-Dolev dari Universitas Ben-Gurion, dilansir Middle East Monitor.
Sebagai bentuk protes, kelompok ini mengorganisir aksi damai "Selasa Hitam" di berbagai kampus. Dalam aksi tersebut, para dosen dan mahasiswa mengenakan pakaian hitam dan berdiri hening, meskipun di beberapa lokasi dilaporkan menghadapi intimidasi.
3. Simpati terhadap warga Palestina masih kurang lazim di Israel

Selain dari dalam negeri, Israel juga mendapat tekanan dari komunitas internasional. Sebelumnya, seruan serupa datang dari kalangan selebritas global, ratusan pengacara, hakim, dan penulis ternama dari berbagai negara yang menuntut diakhirinya kekerasan.
Meskipun demikian, pandangan semacam ini masih dianggap sebagai suara minoritas di dalam masyarakat Israel.
Analis politik Nimrod Flaschenberg menyatakan bahwa menunjukkan simpati secara terbuka terhadap penderitaan warga Palestina masih menjadi hal yang kurang lazim bagi publik Israel.
Jajak pendapat dari Universitas Pennsylvania baru-baru ini menunjukkan bahwa 82 persen warga Israel mendukung pengusiran paksa warga Palestina. Sementara itu, hampir separuh responden juga mendukung pembunuhan massal warga sipil di kota-kota musuh yang direbut tentara Israel.
Menghadapi kondisi sosial tersebut, kelompok Black Flag juga menyerukan perlunya upaya perubahan cara pandang di masyarakat Israel. Menurut Profesor On Barak ketidakpedulian terhadap warga Gaza meluas akibat kampanye dehumanisasi intensif yang harus dilawan secara aktif.