Global Risk Report 2019: Polarisasi Politik di Masyarakat Kian Tajam

Mayoritas dan minoritas dibuat bermusuhan dengan cara apapun

Jakarta, IDN Times - Polarisasi politik domestik diprediksi menjadi salah satu risiko yang akan dihadapi banyak negara pada 2019. Begitulah bunyi The Global Risk Report 2019 (Laporan Risiko Global 2019) yang dirilis oleh World Economic Forum baru-baru ini. Laporan tersebut merupakan hasil dari Survei Persepsi Risiko Global yang dilakukan pada September hingga Oktober 2018 lalu.

Dalam lanskap risiko global, masyarakat yang semakin terpolarisasi berada di peringkat kedua sebagai faktor pendorong utama, setelah perubahan iklim. Perbedaan nilai antarpihak kian tajam. Politik identitas pun turut dimainkan. Apabila—dan ketika—risiko ini jadi nyata,  akan muncul dampak negatif yang signifikan bagi negara-negara dalam 10 tahun ke depan.

1. Sudah ada tanda-tanda sebelumnya bahwa masyarakat bisa semakin terpolarisasi

Global Risk Report 2019: Polarisasi Politik di Masyarakat Kian TajamANTARA FOTO/Budi Candra Setya

Ada lebih dari 30 risiko yang diperkirakan mewarnai tahun ini. Sebanyak 67 persen responden survei percaya bahwa polarisasi politik domestik akan meningkat dan menjadi risiko jangka pendek yang mengemuka di banyak negara. 

Global Risk Perception Survey (GRPS) mendefinisikan polarisasi sebagai "ketidakmampuan untuk mencapai kesepakatan tentang sejumlah masalah penting di dalam negara karena adanya perbedaan nilai, pandangan politik atau agama yang ekstrem". Ini bukan fenomena yang muncul sendirian atau tanpa tanda-tanda sama sekali.

Baik negara maju maupun berkembang sudah melihat gejalanya. Di Indonesia, misalnya, Pilkada DKI Jakarta pada 2017 merupakan ajang yang membuat masyarakat terbelah antara pendukung kandidat Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Sedangkan di Amerika Serikat, Pilpres 2016 yang mempertemukan kandidat Partai Demokrat Hillary Clinton dan calon dari Partai Republik Donald Trump memperlihatkan bagaimana "biru" dan "merah" bukan sekadar warna, tapi representasi ideologi yang saling bertolak belakang.

Baca Juga: Aksi Bela Uighur Dibayangi Jualan Politik Identitas

2. Politik identitas dan agenda populis semakin tajam di tahun politik

Global Risk Report 2019: Polarisasi Politik di Masyarakat Kian TajamANTARA FOTO/ Kahfie Kamaru

Polarisasi politik tak hanya terjadi di level antarelit tapi juga di tengah masyarakat, apalagi menjelang Pemilu. Dari kandidat, fungsionaris partai, hingga rakyat sipil semakin tidak malu menggunakan cara negatif. Tren untuk memainkan politik identitas pun meningkat, di mana mayoritas dibuat bermusuhan dengan minoritas dalam cara apapun.

Ini merupakan salah satu ketegangan utama yang diprediksi terjadi di dalam negeri. GRPS menggambarkan, "secara politik, menanjaknya mayoritarianisme berarti pemilu semakin menjurus kepada kontes, di mana seorang pemenang bisa mendapatkan semuanya di antara kelompok-kelompok yang terpolarisasi."

Sementara itu, "politik identitas bertambah menjadi sesuatu yang menyebabkan permusuhan, dengan kelompok mayoritas di banyak negara menginginkan adanya asimilasi (atau eksklusi) golongan minoritas". Di Indonesia, ini dipertontonkan oleh wacana politik soal siapa yang paling punya kredensial mewakili Muslim sebagai mayoritas.

3. Negara merespons dengan mencoba "mengambil alih kontrol"

Global Risk Report 2019: Polarisasi Politik di Masyarakat Kian TajamANTARA FOTO/Cem Oksuz/Presidential Press Office/Handout via REUTERS

Masyarakat yang terpolarisasi membuat pemerintah nasional bisa terkesan lemah. Berdasarkan laporan GRPS, yang terjadi di sejumlah negara adalah "keseimbangan bergeser dari individu ke negara". Artinya, negara yang merasa punya otoritas tertinggi merespons situasi di masyarakat dengan mengencangkan cengkeraman agar terlihat kuat.

Pada Laporan Risiko Global 2018, politik yang berpusat pada negara sebagai titik kekuasaan dan legitimasi sudah dipandang sebagai tren. Agenda nasionalis dan populis menjadi jalan bagi negara untuk menunjukkan kekuasaan. Misalnya, langkah Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan yang memenjarakan lawan-lawannya dengan alasan stabilitas politik, tapi mengorbankan pluralisme.

4. Negara cenderung mempraktikkan demokrasi setengah hati

Global Risk Report 2019: Polarisasi Politik di Masyarakat Kian TajamANTARA FOTO/REUTERS/Erik De Castro

Politik yang berpusat pada negara dan tajamnya polarisasi membuat "pemerintah semakin mudah untuk mengorbankan perlindungan individu demi stabilitas kolektif". Dalam laporan tersebut ditemukan bahwa negara-negara mulai condong mempraktikkan iliberalisme atau demokrasi setengah hati.

Di situasi ini, ketika negara menguatkan cengkeraman, "pemegang kekuasaan menentukan hak siapa yang dilindungi dan individu mana yang kalah lalu berisiko disensor, ditangkap atau menerima kekerasan sebagai musuh rakyat".

Inilah yang terjadi di Filipina. Keluarnya Rodrigo Duterte sebagai pemenang Pilpres 2016 membawa negara tersebut ke arah otoritarianisme. Menurut catatan Human Rights Watch, perang melawan narkoba yang diluncurkannya telah merenggut ribuan nyawa.

Ini membuat Filipina jatuh ke krisis HAM terburuk setelah kepemimpinan Ferdinand Marcos. Duterte juga dinilai mengancam kebebasan pers setelah mencabut izin perusahaan media Rappler yang selama ia menjabat selalu mengkritik dirinya.

5. Masyarakat yang terpolarisasi dan negara yang mengorbankan HAM ialah "resep" kemunduran demokrasi

Global Risk Report 2019: Polarisasi Politik di Masyarakat Kian TajamANTARA FOTO/Didik Suhartono

Ada dampak buruk dari polarisasi politik dan ketidakacuhan terhadap HAM. Demokrasi akan mengalami kemunduran yang kemudian mengakibatkan konflik sipil. Ini yang dikhawatirkan terjadi di Indonesia. Indeks Demokrasi 2018 yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit menempatkan Indonesia sebagai negara "demokrasi cacat".

Dari 167 negara, Indonesia berada di peringkat 65. Bahkan ini lebih buruk dari Filipina yang menempati ranking 53. Indonesia mendapatkan skor terendah untuk faktor kultur politik dan kebebasan sipil. Dalam faktor kultur politik, Indonesia dianggap negatif karena tren politik identitas meningkat seperti yang tampak pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019.

Sedangkan untuk kebebasan sipil, Indonesia dinilai masih lemah dalam menegakkan kebebasan berekspresi dan perlindungan HAM. Masyarakat Indonesia juga dianggap belum mampu menjalankan toleransi beragama.

Baca Juga: Ini Syarat agar Indeks Demokrasi Indonesia Bisa Meningkat

Topik:

  • Anata Siregar
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya