"Masa Depan Rusak": Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin Bekerja

"Kita juga ingin hidup normal," kata salah satu pengungsi.

Surabaya, IDN Times - Muhammad Shuaibe tampak memainkan handphone pribadinya ketika aku datang pada suatu Jumat siang di bulan September 2018. Aku khawatir, kami tak punya cukup banyak waktu untuk mengobrol karena ia harus segera beribadah di masjid dekat rumah susun khusus pengungsi asal luar negeri di Sidoarjo.

Tapi ia berbaik hati menjawab sejumlah pertanyaanku tentang situasi yang dihadapinya selama enam tahun terakhir. Shuaibe, 31 tahun, adalah pengungsi Rohingya asal Myanmar yang meninggalkan negaranya karena krisis di Rakhine pada 2012. Seperti para pengungsi lainnya, ia tak banyak melakukan aktivitas selama masa penantian di Indonesia.

1. Awalnya pengungsi Rohingya lain yang bersamanya ingin menuju Australia

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaAFP/Adib Chowdhury

Sebagian pengungsi Rohingya sebenarnya tidak bertujuan tinggal di sini. "Kami mau ke Australia. Katanya kalau bisa sampai sana, bisa dapat kewarganegaraan," kata Shuaibe, mengingat kembali pertama kali ia melarikan diri dari Myanmar sebagai pengungsi.

Ia menuturkan situasi di kampungnya kala itu. "Rumah kami dibakar. Satu kampung sudah gak ada sama sekali. Masjid, madrasah dibakar. Sudah gak ada semua." Keluarganya pun sekarang menjadi pengungsi di Bangladesh usai krisis terjadi lagi pada 2017 lalu yang diperkirakan menewaskan 10.000 orang Rohingya.

Akan tetapi, kapal yang ditumpangi bersama 92 pengungsi Rohingya lainnya justru mendarat di Timor Leste. Mereka ditahan selama lima hari dan diancam oleh otoritas setempat. "Kalau ini Timor Leste itu kita tidak tahu. Tolonglah kami agar sampai ke Australia. Kapal kami rusak. Apa mau kami mati semua?" kata dia menirukan apa yang disampaikannya kepada polisi di sana.

2. Mereka justru dibawa ke Indonesia tanpa diberi tahu terlebih dulu

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaAFP/Adib Chowdhury

Lima hari berselang, pada suatu subuh, mereka dibawa oleh sebuah kapal. Otoritas Timor Leste mengatakan kapal itu akan mengantar mereka ke Australia. Sebelumnya, kata Shuaibe, handphone mereka disita. Tapi mereka terpaksa menurut saja.

Belakangan baru ia sadar apa yang terjadi. "Ternyata itu kapal Indonesia. Kapal mengantar minyak-minyak. Kita tanya sama orangnya, 'Sekarang bawa kita ke mana?' Dia bilang Indonesia. Katanya polisi menyuruh turunin kita di mana saja di Indonesia."

Begitu tahu takkan ke Australia, pecahlah tangis mereka. "Tapi kita juga kasihan sama yang punya kapal. Kalau kita memaksa, nanti dia gimana? Kita juga gak mau memaksa. Akhirnya ya sudah kita sabar saja kita diturunin di pulau kecil, ada rumah sedikit, hutan-hutan." 

Rupanya, Indonesia tak tahu mereka kedatangan pengungsi yang dikirim Timor Leste.

3. Mereka mendapatkan status pengungsi di Rumah Detensi Imigrasi

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaIDN Times/Rosa Folia

Setelah menjelaskan duduk masalahnya kepada polisi Indonesia yang menemui mereka, para pengungsi Rohingya pun dibawa ke Rumah Detensi Imigrasi di Makassar. Badan pengungsi dunia (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) pun melakukan wawancara dan memberikan Shuaibe status pengungsi beberapa bulan kemudian.

"Lalu Oktober 2013 keluar dari detention center, terus dipindah ke sini." Dengan kata lain, ia sudah resmi menjadi pengungsi selama lima tahun. Selama itu pula Shuaibe, dan para pengungsi lainnya yang berada di Sidoarjo, menunggu kapan mereka akan diberangkatkan menuju negara ketiga—entah di manapun itu.

4. Para pengungsi tidak mendapatkan izin bekerja di negara transit

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaANTARA FOTO/REUTERS/Damir Sagolj

Sepanjang wawancara, beberapa pengungsi laki-laki dari negara-negara lain seperti Somalia, Sudan, dan Irak berlalu-lalang di sekitar tempat kami berada. "Ya, begini ini sehari-hari. Kadang juga cuma di kamar saja, gak ngapa-ngapain," kata Shuaibe.

"Gak ada proses. Masa depan gimana? Kalau tiap hari mikir kayak orang gila gitu. Gak kegiatan di sini. Gak ada pekerjaan," tambahnya. Ya, memang selama berada di negara transit, pengungsi dilarang untuk bekerja. Mereka pun hanya mendapatkan uang saku sebanyak Rp1.250.000 setiap bulan.

Ro Shofiqul Islam, pengungsi Rohingya lain yang kini tinggal di tempat penampungan sementara di Makassar, bahkan pernah ditahan hampir satu bulan oleh imigrasi. Laki-laki berusia 24 tahun yang berada di Indonesia sejak 2013 itu dituduh bekerja sehingga harus dihukum.

"[Itu] gak bisa dipercaya. Meski pengungsi di sini ingin bekerja, tak ada yang akan memberikan pekerjaan karena status kami sebagai pengungsi. Itu adalah tuduhan palsu untuk mendiskriminasi kami para pengungsi," tegas Shofiqul dalam ceritanya yang disampaikan padaku.

5. Tanpa pekerjaan dan kejelasan mengenai nasib, pengungsi Rohingya khawatir soal masa depan mereka

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaANTARA FOTO/REUTERS/Cathal McNaughton

Peraturan yang melarang terlibat dalam kegiatan ekonomi itu berdampak kepada kondisi mental pengungsi. Walau kini tak lagi harus takut nyawa akan melayang sewaktu-waktu, tapi mereka tetap khawatir mengenai masa depan. Apalagi para pengungsi ini berada dalam usia produktif antara 20 hingga 35 tahun.

"Kalau mau kasih izin [kerja], alhamdulillah. Kita mau kerja. Sudah umur segini. Gak ada masa depan. Sampai kapan? Di sini juga gak jelas prosesnya. Setiap hari mikir," ujar Shuaibe. Belum lagi pengungsi juga dilarang untuk menikah di negara transit. Mereka sendiri tak tahu kapan bisa memiliki kehidupan normal.

Aku pun bertanya apa yang akan ia sampaikan kepada orang-orang yang khawatir bila pengungsi akan merebut mata pencaharian penduduk lokal bila diberikan hak bekerja. "Saya ingin kasih tahu: Ya kita manusia. Kita juga ingin hidup normal. Kalian lihat lah sebagai manusia. Jangan lihat orang luar, jangan lihat orang mana. Lihatlah dari hati sebagai manusia. Kami gak bisa memaksa apa-apa, cuma minta tolong."

6. Pemerintah sendiri menegaskan posisinya bahwa pengungsi memang tidak boleh bekerja

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaAFP/Ye Aung Thu

Aku menyampaikan keluhan tersebut kepada Acshanul Habib, Direktur HAM dan Kemanusiaan di Kementerian Luar Negeri. Dalam sebuah wawancara melalui telepon, Habib menjelaskan alasan di balik pelarangan tersebut yang didukung oleh pemerintah.

"Yang namanya status pengungsi itu adalah pengungsi gitu ya. Jadi kita belum bicara tentang hak bekerja, hak ekonomi untuk mencari nafkah, segala macam, karena statusnya adalah status darurat pengungsi. Nah bahwa kemudian mereka mengeluh banyak menganggur, ya memang itulah faktanya. Fakta situasi pengungsian," kata Habib.

Mengizinkan pengungsi bekerja, menurut Habib, bisa menjadi "buah simalakama". Ia menambahkan,"Sekalinya kita, misalnya, mulai membangun sistem yang lengkap, memberi pekerjaan, memberi perumahan, itu akan mengubah status mereka yang semula pengungsi sementara akhirnya jadi tetap, kan?"

"Begitu tetap, itu jadi tanggung jawab kita yang notabene bukan negara yang diberi mandat, bukan anggota Konvensi Pengungsi." Jika ini terjadi, Habib menilai ada "shifting burden" atau perpindahan beban. "Kalau kita turuti ya berarti kita mengambil beban yang seharusnya diambil negara pihak menjadi beban kita. Ini kan gak pantas juga, gak fair juga buat pemerintah Indonesia."

Baca Juga: "Kami Juga Manusia": Perjalanan Pengungsi Rohingya Sampai ke Indonesia

7. Indonesia ingin para pengungsi segera diterima oleh negara ketiga

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaAFP Photo/Munir Uz Zaman

Habib menekankan bahwa Indonesia merupakan negara transit yang memiliki kewajiban sendiri. "Jadi tugasnya Indonesia adalah, pertama, mengelola pengungsi yang masih ada di tempat penampungan sementara."

Kedua, imbuhnya, terus melobi lembaga internasional, seperti International Organization for Migration atau Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) serta negara-negara tujuan resettlement. "Ayolah kalian kan punya komitmen, kalian penuhi mandat itu. Jadi jangan sampai negara transit yang dibiarkan menanggung beban."

Ia mengaku sebenarnya Indonesia ingin para pengungsi cepat bisa berangkat ke negara ketiga. Namun, Habib menyadari realita dunia terkait migrasi manusia saat ini berubah. "Pemerintah Indonesia juga gak mau mereka stranded lama di tempat penampungan, gak tahu kapan akan ke negara ketiga."

"Nah ini yang menjadi kendala dan fenomena global saat ini. Karena negara ketiga yang menjadi tujuan resettlement itu sudah mulai berubah. Mereka tidak menerima pengungsi lagi. Mereka mengurangi bantuan kepada badan pengungsi." Apalagi, Habib menyebut pemerintah daerah tak memiliki anggaran untuk mengurus pengungsi.

Sementara itu, bagi Shuaibe, ia hanya ingin mendapatkan haknya. Masalah global tersebut terasa jauh dan rumit dari tempatnya sekarang. "Kita pergi bukan untuk cari uang, tapi kewarganegaraan. Masa depan kita sudah rusak, gak bisa dapat pendidikan dan pekerjaan. Kalau menikah, punya anak, nanti gimana mereka? Saya gak mau anak-anak saya nanti kayak saya."

Masa Depan Rusak: Pengungsi Rohingya di Indonesia Ingin BekerjaIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Pejabat Kemlu RI Soal Rohingya: "Myanmar Harus Akui Hak Mereka"

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya