Raja Salman kepada Trump: Saudi Mau Solusi Permanen untuk Palestina
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Raja Salman mengatakan kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa Arab Saudi menginginkan ada solusi permanen yang adil, untuk persoalan Palestina. Pernyataan tersebut disampaikan Raja Salman lewat sambungan telepon pada Minggu (6/9/2020).
Melansir Reuters, ia menilai penyelesaian masalah Palestina adalah titik permulaan dari Inisiatif Damai Arab yang diusulkan kerajaan Islam tersebut. Amerika Serikat berperan dalam usaha menormalisasi hubungan antara Mesir dan Yordania dengan Israel. Baru-baru ini, Uni Emirat Arab juga menyatakan siap melakukan normalisasi.
1. Arab Saudi mengusulkan inisiatif damai pada 2002
Dalam usulan yang diumumkan pada 2002, bangsa-bangsa Arab menawarkan normalisasi hubungan dengan Israel, tapi dengan syarat Palestina mendapatkan status penuh sebagai sebuah negara. Artinya, Israel juga harus hengkang dari teritori yang dicaploknya pada Perang 1967.
Raja Salman mengaku mengapresiasi upaya Amerika Serikat di Timur Tengah, namun menyodorkan inisiatif itu sebagai basis perdamaian di kawasan. Sebelumnya, Arab Saudi tidak mengakui Israel sebagai negara, tetapi posisi ini perlahan berubah dalam beberapa tahun terakhir.
Pangeran Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman berkomunikasi dengan Jared Kushner, menantu sekaligus utusan Amerika Serikat untuk Timur Tengah, guna membahas perlunya Palestina dan Israel kembali bernegosiasi. Terakhir, Arab Saudi mengatakan akan mengizinkan maskapai penerbangan Israel masuk ke wilayahnya.
Baca Juga: Tanggapi UEA-Israel, Arab Saudi: Berdamailah Dulu dengan Palestina
2. Palestina menentang keras normalisasi hubungan dengan Israel
Editor’s picks
Pada Agustus lalu, saat pemerintah Uni Emirat Arab mulai sepakat menormalisasi hubungan dengan Israel, otoritas Palestina menentang keras. Dalam sebuah pernyataan resmi, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas menegaskan pihaknya tidak sepakat.
"Kepemimpinan Palestina menolak dan menentang pengumuman trilateral mengejutkan antara Uni Emirat Arab, Israel dan Amerika Serikat," kata Nabil Abu Rudeineh, penasihat senior Abbas, seperti dilansir Al Jazeera. Menurut pemerintah Palestina, kesepakatan itu adalah bentuk "pengkhianatan terhadap Yerusalem, Al-Aqsa dan masalah Palestina".
3. Israel tidak menarik rencana aneksasi
Pengkhianatan yang dirasakan Palestina salah satunya dilandasi dari posisi Israel yang tidak menarik rencana aneksasi. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan, di tengah negosiasi normalisasi dengan Uni Emirat Arab bahwa pihaknya masih berniat mewujudkan keinginan itu.
Dalam sebuah wawancara dengan media Israel Hayom, Netanyahu mengklaim ia tak sedang menipu siapa pun, sebab pemerintahnya memang tak berniat membatalkan rencana aneksasi. Ia mengatakan saat ini yang terjadi hanyalah penundaan. Israel berniat mencaplok sebesar 30 persen kawasan Tepi Barat dan mendirikan permukiman Yahudi di atasnya.
"Saya bekerja selama tiga tahun dan tak melepaskan kedaulatan," kata Netanyahu.
"Saya memasukkannya ke dalam rencana perdamaian Presiden Trump yang menyebut Israel akan mendapatkan 30 persen teritori di Yudea dan Samaria (Tepi Barat) tanpa mencabut akar permukiman mana pun dan tanpa hengkang dari area yang dibutuhkan untuk keamanan Israel."
"Ini adalah rencana Amerika Serikat. Tidak ada yang berubah," tegasnya.
Baca Juga: Meski Puji Normalisasi, Bahrain Masih Ragu Susul Jejak UEA-Israel