Turki Tarik Diri dari Perjanjian yang Lindungi Wanita dari Kekerasan

Keputusan Turki ini diprotes banyak pihak

Jakarta, IDN Times - Turki menarik diri dari perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi wanita dari kekerasan. Keputusan ini keluar seiring dengan kemenangan partai konservatif yang digawangi oleh Presiden Turki saat ini, Recep Tayyip Erdogan.

Dilansir Al-Jazeera, Perjanjian Istanbul yang ditandatangani pada 2011 oleh 45 negara termasuk Turki, berisikan larangan melakukan kekerasan terhadap wanita, pada akhirnya justru malah melahirkan banyak kasus baru yang berkaitan dengan wanita.

Selain meningkatkan angka perceraian, perjanjian ini kerap digunakan oleh para kaum LGBT sebagai alat agar mereka diterima oleh masyarakat secara luas. Tidak cuma itu, kasus femisida (kekerasan kepada wanita di Turki) juga tidak berkurang pada 2020, meski Turki turut menandatangani Perjanjian Istanbul ini.

Baca Juga: Satu Pesawat dengan Indonesia, Jagoan Turki Bisa Main di All England

1. Pemerintah Turki tidak memberikan alasan jelas

Turki Tarik Diri dari Perjanjian yang Lindungi Wanita dari KekerasanPresiden Turki Recep Tayyip Erdogan ikut salat Jumat perdana di Hagia Sophia (Dokumentasi Kantor Presiden Turki)

Pemerintah Turki sendiri tidak memberikan alasan jelas kenapa mereka menarik diri dari Perjanjian Istanbul ini. Namun, salah satu staf di partai konservatif yang digawangi oleh Erdogan mengungkapkan, perjanjian ini nyatanya tidak mengurangi kasus kekerasan terhadap wanita yang terjadi di Turki.

"Jaminan terhadap hak-hak wanita sudah ada di dalam aturan negara kami, di dalam konstitusi negara kami. Sistem hukum negara kami juga cukup kuat dan dinamis untuk mengimplementasikan aturan-aturan baru, termasuk yang terkait dengan hak-hak wanita," ujar Menteri Kebijakan Keluarga, Buruh, dan Kesejahteraan Sosial Turki, Zehra Zumrut.

2. Langkah Pemerintah Turki dikritik partai oposisi

Turki Tarik Diri dari Perjanjian yang Lindungi Wanita dari KekerasanPresiden Turki Recep Tayyip Erdogan ikut salat Jumat perdana di Hagia Sophia (Dokumentasi kantor Presiden Turki)

Langkah yang diambil oleh Pemerintah Turki ini dikritik oleh partai oposisi Turki, CHP. Deputi Chairman CHP, Gokce Gokcen mengungkapkan, langkah pemerintah ini sebagai bentuk pembiaran terhadap wanita, sekaligus wujud dari Pemerintah Turki yang menjadikan wanita sebagai kaum kelas dua.

"Terlepas dari dirimu (Pemerintah Turki) dan kejahatan yang telah kamu lakukan, kami akan tetap mendukung perjanjian ini (Perjanjian Istanbul) diterapkan di negara Turki," ujar Gokcen dalam akun media sosial pribadinya.

3. Isu mengenai hak wanita jadi pembicaraan di Turki

Turki Tarik Diri dari Perjanjian yang Lindungi Wanita dari KekerasanMasyarakat Turki yang menghalangi Prajurit Turki untuk melancarkan aksi kudetanya, pada 15 Juli 2016. twitter.com/ShamaJunejo

Wacana mengenai pemenuhan hak-hak wanita memang sudah jadi pembicaraan di Turki. Kekerasan dan kasus femisida di Turki sudah jadi masalah yang serius. Tahun lalu saja, ada 300 wanita yang dibunuh akibat mengampanyekan gerakan 'Kami Akan Menghentikan Femisida Terhadap Wanita'.

Karem Altiparmak, pengacara dan akademisi yang fokus kepada hak asasi manusia, mengungkapkan bahwa langkah yang diambil Pemerintah Turki dengan menarik diri dari Perjanjian Istanbul ini, seperti halnya kudeta militer yang terjadi pada 1980 silam.

"Apa yang sudah hilang dari negara ini tidak cuma Perjanjian Istanbul, tetapi juga keinginan serta kekuatan legislatif dari parlemen Turki," ujar Karem.

Sekretaris Jenderal gerakan 'Kami Akan Menghentikan Femisida Terhadap Wanita', Fidan Ataselim, juga mengungkapkan bahwa Perjanjian Istanbul harus tetap diterapkan di Turki. Perjanjian itu diterapkan untuk menolong Turki.

"Perjanjian Istanbul ditandatangani tidak berdasarkan komando pemerintah, dan perjanjian itu akan membuat hidup kami tidak tergantung kepada pemerintah," ujar Fidan.

Baca Juga: Erdogan Kembali Pecat Gubernur Bank Sentral Turki, Apa Sebab Kali Ini?

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya