Moderna Akan Jual Vaksin COVID-19 dengan Banderol Rp353-Rp523 Ribu

Indonesia baru gunakan vaksin Novavax, Sinovac & Merah Putih

Jakarta, IDN Times - Perusahaan farmasi asal Amerika Serikat, Moderna, mengatakan akan menjual vaksin COVID-19 ke pemerintah berkisar 25 dolar AS (setara Rp353 ribu) hingga 37 dolar AS (Rp523 ribu). Direktur Utama Moderna, Stephane Bancel, mengatakan kepada media cetak mingguan Jerman, Welt am Sonntag,  harga jual vaksin itu sudah dinilai cukup bersaing. 

"Dengan demikian, vaksin kami memiliki harga yang sama (dengan) suntikan vaksin flu yakni senilai 10 dolar AS (Rp141 ribu) dan 50 dolar AS (Rp708 ribu)," ungkap Bancel seperti dikutip dari kantor berita Reuters, Minggu, 22 November 2020.  

Vaksin COVID-19 buatan Moderna sebelumnya turut diklaim memiliki perlindungan hingga 94,5 persen bagi relawannya. Melihat hasil awal uji klinis yang menggembirakan, maka Moderna berencana untuk mengajukan izin penggunaan darurat dalam beberapa pekan mendatang. 

Namun, menurut pejabat berwenang di Uni Eropa yang terlibat dalam proses negosiasi antara UE dengan Moderna, mengatakan Komisi Eropa ingin mencapai kesepakatan pembelian vaksin pada hari ini. Rencananya UE ingin mengamankan jutaan vaksin COVID-19 dengan harga di bawah 25 dolar AS atau setara Rp353 ribu per dosisnya. 

"Hingga saat ini belum ada kesepakatan apapun yang ditanda tangani. Tetapi, kami hampir mencapai kesepakatan dengan Komisi UE. Kami ingin mendistribusikan ke Eropa dan tengah melakukan pembicaraan yang kondstruktif," kata Bancel. 

Ia menambahkan kontrak pemesanan vaksin COVID-19 akan siap dalam beberapa hari ke depan. Vaksin buatan Moderna diklaim lebih memungkinkan dikirim ke negara berkembang karena dapat disimpan di lemari pendingin dengan suhu minus 20 derajat celcius. Lemari pendingin ini tersedia di apotek. Apakah Indonesia ikut tertarik membeli vaksin COVID-19 buatan Moderna ini?

1. BPOM mengaku didekati beberapa perusahaan farmasi besar untuk diajak kerja sama

Moderna Akan Jual Vaksin COVID-19 dengan Banderol Rp353-Rp523 RibuIDN Times/Helmi Shemi

Sejauh ini, Indonesia memastikan akan menggunakan vaksin COVID-19 buatan Sinovac Biotech , Novavax dan Merah Putih buatan Lembaga Eijkman. Menurut Menteri BUMN, Erick Thohir, penentu jenis vaksin itu adalah Kementerian Kesehatan. 

“Kalau ditanya bagaimana dengan jenis vaksin lainnya (selain ketiga vaksin tadi)? Saya jawab, selama vaksin itu masuk dalam kategori WHO, itu vaksin yang baik. Saat ini Kemkes memilih dua yang pertama, bukan tidak mungkin bertambah jenisnya,” ungkap Erick ketika berbicara di Jakarta pada 18 November 2020 lalu. 

Sementara, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), mengaku didekati oleh tiga perusahaan farmasi besar yaitu Pfizer (AS), AstaraZeneca (Inggris) dan Sputnik V (Rusia). Ketiga perusahaan farmasi itu, kata Kepala BPOM, Penny Lukito, sudah menawarkan proposal untuk meluncurkan uji klinis vaksin COVID-19 di Indonesia. 

Perusahaan-perusahaan ini, kata Penny, juga sedang mencari mitra perusahaan farmasi di Indonesia. Baik untuk menjadi sponsor uji klinis atau memproduksi vaksin COVID-19 di dalam negeri. 

Namun, Penny belum memberi keputusan apakah akan menerima tawaran proposal tiga perusahaan farmasi itu atau tidak. Di sisi lain, Penny menilai pandemik COVID-19 menjadi peluang bagi perusahaan farmasi Tanah Air untuk berkembang. 

"Jadi, yang berkembang tidak hanya perusahaan farmasi milik negara tetapi juga swasta," kata Penny pada 19 November 2020 lalu. 

Baca Juga: Vaksin Moderna Lebih Cocok untuk Negara Berkembang

2. Masih banyak pertanyaan mengenai vaksin Moderna yang belum terjawab

Moderna Akan Jual Vaksin COVID-19 dengan Banderol Rp353-Rp523 RibuIlustrasi vaksin Moderna (www.news.sky.com)

Meski hasil uji klinis awal vaksin COVID-19 buatan Moderna disambut baik oleh banyak pihak, masih ada pertanyaan yang belum terjawab. Salah satunya, apakah vaksin Moderna hanya menghentikan individu yang terkena COVID-19 menjadi lebih parah, atau vaksin tersebut juga dapat mencegah seorang individu menularkan virus corona ke individu lainnya. 

Ahli imunologi di Universitas Edinburgh, Eleanor Riley pun memiliki penilaian serupa. Ia melihat vaksin COVID-19 buatan Moderna mencegah individu yang terpapar COVID-19 kondisinya menjadi lebih buruk. 

"Persyaratan yang harus dipenuhi bagi vaksin COVID-19 yaitu menghentikan pasien menjadi lebih parah kondisinya hingga harus dibawa ke rumah sakit dan menghentikan pasien sekarat. Data awal dari vaksin itu, begitu juga yang ditunjukkan oleh vaksin Pfizer dan BioNTech, berpeluang besar mencapai tujuan tersebut," ungkap Riley. 

Di sisi lain, pengajar di London School of Hygiene and Tropical Medicine, Stephen Evans, tak ingin terburu-buru menyimpulkan vaksin COVID-19 buatan Moderna ampuh memberi perlindungan bagi individu dari vaksin corona. "Kami membutuhkan lebih banyak data dan laporan menyeluruh atau publikasi yang menunjukkan manfaat (vaksin) dirasakan secara konsisten di semua kelompok," tutur Evans. 

3. Epidemiolog ingatkan tetap mempraktikan 3M sampai menunggu vaksin yang direstui oleh WHO diedarkan

Moderna Akan Jual Vaksin COVID-19 dengan Banderol Rp353-Rp523 RibuIlustrasi Vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Kabar soal temuan vaksin Moderna sempat disambut positif oleh ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Brisbane, Dicky Budiman. Melalui akun Twitter pribadinya, Dicky mencuit sebuah pernyataan agar publik tetap sabar, menunggu hasil akhir dari uji klinis tahap ketiga vaksin Moderna. 

"Sambil menunggu, tetap praktikan 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan) dan 3T (test, trace, dan treament)," cuit Dicky hari ini. 

Ia juga menyarankan sambil menunggu ada benar-benar vaksin COVID-19 yang direstui oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), publik untuk menahan diri dan membatasi perjalanan.

"Sehingga kurva bisa melandai dan mencegah tertular virus dengan risiko tinggi efek jangka panjang," ujar dia lagi. 

Saat ini, menurut WHO, sudah ada hampir 50 vaksin yang memasuki tahap uji klinis dengan melibatkan manusia dan 160 vaksin masih diuji di dalam laboratorium. 

Baca Juga: Pakistan: Vaksin COVID-19 Pfizer Tidak Cocok untuk Negara Berkembang

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya