Serangan Militan di Kenya Tewaskan Ratusan Mahasiswa Jurusan Hukum

"Salah satu tersangka terindentifikasi sebagai anak pejabat tinggi Kenya."
Kenya berkabung. Hari Kamis (2/4), ledakan dan rentetan tembakan di gedung kampus Garissa University College menewaskan ratusan mahasiswa jurusan hukum universitas tersebut.

Kronologi
Peristiwa itu terjadi saat sekelompok orang bersenjata masuk ke kampus saat mahasiswa sedang doa pagi. Para penyerang itu diketahui menyamar sebagai mahasiswa yang mengikuti doa pagi. Sebelum menyerang, para penyerang menyandera siapapun yang berada di dalam gedung, dan dua penjaga gerbang universitas juga tewas. Situasi sempat mencekam karena pihak keamanan lalu mengepung kampus tersebut. Media lokal setempat memuat situasi kelas yang berlumuran darah.

Korban
Dilansir dari CNN, setidaknya ada 147 orang di kampus Garissa University, terdiri dari 142 mahasiswa, tiga petugas keamanan pemerintah dan dua petugas keamanan kampus. Sementara, 104 lainnya terluka dengan 19 orang di antaranya kritis.
Beberapa korban yang selamat dengan bersembunyi, meringkuk hingga 50 jam di tempat persembunyian mereka dan memakan body lotion saat mereka lapar. Mereka baru bersedia keluar setelah polisi mengamankan lokasi dan menjamin bahwa mereka akan selamat.
Pasca serangan tersebut ratusan orang warga setempat mendonorkan darahnya untuk korban penyerangan yang dirawat di Rumah Sakit Garissa.

Umat Muslim di Kenya juga berdemonstrasi mengutuk serangan tersebut dan menyatakan keberpihakan mereka kepada para korban.

Klaim
Pasca serangan itu, kelompok militan Somalia, al-Shabaab mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Dalam serangan itu, kelompok al-Shabaab membebaskan sejumlah umat Muslim, tetapi mahasiswa Kristen disandera dan dibunuh.
Serangan terhadap kota Garissa, Kenya ini bukan pertama kalinya terjadi. Kelompok militan itu telah bersumpah akan membanjiri Kenya dengan darah, karena telah mengirim pasukan ke Somalia untuk memerangi al-Shabaab.
Kepada Reuters, kelompok militan itu menyampaikan pesan untuk rakyat dan pemerintah Kenya. Kelompok al-Shabaab mengatakan bahwa tidak ada langkah-langkah pencegahan atau keamanan yang bisa menjamin keselamatan warga, atau menggagalkan serangan, atau mencegah pertumpahan darah lain yang terjadi di kota-kota lain. Dalam pernyataan resminya mereka juga menyatakan bahwa ini akan menjadi perang yang panjang dan Kenya merupakan korban pertamanya.
Buronan
Kepolisian Kenya telah menahan lima orang tersangka, yang diduga berkaitan dengan serangan tersebut. Kepolisian juga menyebarkan poster untuk mencari beberapa pentolan al-Shabaab, terutama Mohamed Mohamud alias Dulyadin, dan Gamadhere. Untuk keduanya, ditawarkan imbalan senilai 20 juta Shilling atau setara 2,7 miliar.
Sementara itu, salah seorang pembantai dalam insiden itu teridentifikasi sebagai Abdirahim Abdullahi, yang merupakan anak salah seorang pejabat kepala pemerintahan di Mandera, Kenya Utara. Ayah Abdirahim bernama Abdulahi Daqare, mengatakan bahwa anaknya itu adalah lulusan sekolah hukum Universitas Nairobi. Abdirahim diketahui bekerja di bank, hingga dua bulan sebelum ia kehilangan kontak dengan keluarganya tahun lalu. Sang Ayah baru mengetahui jika anaknya merupakan salah satu pelaku pembantaian dari berita yang beredar di internet.

Respon dunia
Sebagai negara yang terdampak langsung, Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta bersumpah akan mengambil tindakan keras untuk melawan teror al-Shabaab. Ia mengatakan bahwa warga Kenya harus bekerja sama menangkal semua serangan dan ancaman dari kelompok militan tersebut. Kejadian ini menyebabkan Kenya menetapkan tiga hari berkabung nasional.
Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon juga mengatakan perlunya ada tindakan keras dan pengadilan internasional pada mereka yang mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Paus Fransiskus juga mengecam serangan itu dengan menyebutnya sebagai kebrutalan yang tidak masuk akal. Menurut Paus Fransiskus, serangan yang ditujukan pada umat Kristen itu menjadi tanda sahnya penggunaan kekuatan militer sebagai upaya terakhir menghentikan serangan teror kelompok militan, di manapun. Topik ini juga menjadi pembahasan dalam Khotbah Jumat Agung di Vatikan, oleh Pastor Raniero Cantalamessa. Pastor Cantalamessa mengecam ketidakpedulian dan opini publik dalam menghadapi aksi terorisme tersebut.