Panas! Debat Pilpres Prancis Bahas Rusia-Ukraina
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Empat hari sebelum pemungutan suara putara kedua dalam pemilihan presiden Prancis, petahana Emmanuel Macron dan lawannya, Marine Le Pen bertemu dalam debat.
Kedua kandidat berdebat soal biaya hidup di Prancis, soal Rusia, perubahan iklim dan imigrasi.
Sebelumnya, Macron berhasil memenangkan putaran pertama pilpres Prancis dengan 28,1 persen suara. Sementara, Le Pen hanya mendapat 23,3 persen suara.
Baca Juga: Dugaan Penipuan Dana Publik, Capres Prancis Marine Le Pen Diselidiki
1. Macron ofensif
Sepanjang debat, Macron terlihat ofensif. Ia tampak lebih seperti seorang penantang daripada petahana. Ia juga berulang kali menyela Le Pen.
Dilansir dari BBC, Kamis (21/4/2022), debat kali ini menjadi sorotan karena sekali lagi mempertemukan Macron dan Le Pen. Pilpres 2017 merupakan bencana bagi Le Pen karena ia kalah dari Macron dan hanya mendapatkan sepertiga suara.
Baca Juga: Ingin Buktikan Genosida Rusia, Zelenskyy Undang Presiden Prancis
2. Kedua capres bahas Rusia-Ukraina
Dalam debat semalam, Macron mengatakan ulah Rusia sangat fatal. Peran Prancis dan Eropa adalah menyediakan peralatan milier untuk Ukraina dan menerima pengungsi.
Sementara itu, Le Pen dikenal memiliki hubungan dekat dengan Kremlin karena mengambil pinjaman dari bank Rusia untuk partainya. “Jika Prancis memberikan senjata kepada Ukraina, berarti Prancis juga ikut berperang,” kata Le Pen.
Namun, ia mendukung kebijakan Macron untuk menerima pengungsi dari Ukraina.
Baca Juga: Emmanuel Macron Menang Putaran Pertama Pilpres Prancis
3. Le Pen meminjam uang ke Rusia
Le Pen diketahui meminjam uang ke bank Rusia karena tidak ada bank di Prancis yang mau meminjamkan ke partainya. Namun, Le Pen berdalih, dia harus meminjam uang ke negara lain dan menyebut Prancis tidak melihat ke arah Rusia soal keuangan.
Pada titik ini, Macron melakukan serangan. Ia mengatakan bahwa Le Pen adalah salah satu pemimpin politik pertama yang mengakui pencaplokan Krimea oleh Rusia.