Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Bendera Brasil di São Paulo. (instagram.com/arleyprs)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Agung (MA) Brasil memutuskan untuk mencabut pemblokiran terhadap Telegram pada Minggu (20/3/2022). Hal ini setelah perusahaan teknologi asal Rusia itu bersedia bekerja sama dengan pemerintah Brasil lantaran dituding menyebarkan berita palsu.

Dilansir France24, Jaksa Agung Alexandre de Moraes mengatakan, pencabutan ini atas kesediaan Telegram untuk mengikuti aturan yang berlaku di Brasil. Bahkan, perusahaan itu bersedia memonitor secara manual 100 saluran terpopuler di negara Amerika Selatan.

"Terkait pemenuhan semua perubahan yang sudah diminta oleh pengadilan sebelumnya, kami memutuskan untuk mencabut keputusan dalam pemblokiran akses Telegram secara penuh di Brasil," tutur Moraes. 

1. CEO Telegram meminta maaf kepada pemerintah Brasil

Pemblokiran akses Telegram di Brasil mulai Jumat (18/3/2022) lalu langsung ditanggapi oleh CEO Telegram, Pavel Durov. Ia mengucapkan langsung permintaan maaf kepada pemerintah Brasil dan akan mengimplementasikan permintaan yang dipersyaratkan oleh pengadilan. 

"Ini adalah hasil dari miskomunikasi, mahkamah agung memblokir Telegram lantaran tidak responsif. Saya dengan pasti meyakinkan bahwa saluran komunikasi yang didirikan, kami dapat dengan efisien menghapus saluran yang ilegal di Brasil," ungkap Durov. 

Pencabutan ini diungkapkan langsung oleh Mahkamah Agung Brasil setelah pengacara perusahaan Telegram, Alan Thomaz, menyebut jika kliennya bersedia bekerja sama dengan pemerintah setempat dan akan memenuhi semua syarat yang diminta. 

"Perusahaan akan selalu berkolaborasi dengan otoritas dan apa yang sudah terjadi beberapa hari lalu merupakan sebuah kesalahpahaman terkait komunikasi antara kedua belah pihak," ungkap Thomaz, dilansir RT

2. Telegram mengaku terlambat untuk membuka email permintaan sensor

Dikutip The Verge, melalui saluran Telegram milik Pavel Durov, ia mengungkapkan bahwa pemblokiran ini merupakan kesalahan perusahaan akibat salah mengecek alamat surat elektronik. Pihak perusahaan mengaku sudah menemukan email permintaan sensor tersebut. 

Kendati demikian, pemblokiran Telegram ini dilatarbelakangi konteks politik yang menyebut perusahaan media sosial itu memfasilitasi penyebaran informasi menyimpang di Brasil. Namun, pihak Telegram mengaku sudah memroses semua permintaan dari pemerintah Brasil.

Informasi yang diminta Brasil untuk diblokir adalah beberapa unggahan yang disebarkan oleh Presiden Jair Bolsonaro. Selain itu, seorang aktivis bernama Allan dos Santos yang dikenal sebagai suporter setia Bolsonaro juga dituding menyebarkan informasi menyimpang. 

3. Bolsonaro kritik pemblokiran Telegram akan mengancam kebebasan berpendapat

Menanggapi pemblokiran ini, Bolsonaro dan sejumlah pemimpin sayap kanan yang disebut beralih ke Telegram menyebut ini tidak dapat diterima. Ia juga menyebut pemblokiran Telegram akan mengancam kebebasan berpendapat bagi warga Brasil. 

"Jaksa telah bertindak salah lantaran masalah ini sebenarnya hanya disebabkan oleh dua atau tiga orang saja. Namun, pemblokiran sudah berdampak besar terhadap sekitar 70 juta warga Brasil. Ini berisiko terhadap kebebasan kita," tutur Bolsonaro. 

Menjelang pemilihan umum di Brasil yang diadakan Oktober mendatang, banyak kabar simpang siur lantaran Bolsonaro yang hendak mencalonkan kembali disebut mengalami penurunan popularitas.

Tak hanya itu saja, Bolsonaro juga dituding menyebarkan kabar menyimpang di berbagai platform media sosial lainnya, sehingga akunnya di Facebook, Twitter, dan YouTube sempat diblokir. 

MA Brasil juga masih menyelidiki sejumlah dugaan yang menyebut Bolsonaro dan pendukungnya telah menyebarkan berita bohong. Hal itulah yang mengakibatkan kemarahan sejumlah politisi dan masyarakat dengan pandangan kanan terhadap sistem hukum, dilaporkan Reuters

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team