Bendera Israel (pexels.com/cottonbro studio)
Israel langsung meluncurkan serangan terhadap pasukan pemerintah Suriah, dengan alasan melindungi komunitas Druze yang dianggap sebagai minoritas penting di kedua negara. Di saat bersamaan, Israel mengungkap kekhawatiran atas pemerintahan baru Suriah yang dipimpin kelompok Islamis, meskipun sempat melakukan kontak terbatas untuk membahas isu keamanan. Serangan ini memicu reaksi berantai yang menambah panasnya konflik di Suwayda.
Pada Rabu (16/7/2025), Israel menyerang markas Kementerian Pertahanan Suriah di Damaskus dan menghantam pasukan Suriah di Suwayda. Israel menyebut komunitas Druze sebagai “saudara” dan meminta agar wilayah itu ditetapkan sebagai zona bebas militer. Namun setelah kekerasan meluas, pada Jumat (18/7/2025), Israel akhirnya menyetujui keberadaan terbatas pasukan keamanan domestik di Suwayda untuk menjaga ketertiban.
Reuters melaporkan bahwa Suriah keliru menafsirkan sikap Israel terkait pengerahan pasukan ke selatan. Pemerintah Damaskus meyakini bahwa mereka mendapat restu dari Amerika Serikat (AS) dan Israel, meskipun Tel Aviv telah berulang kali memperingatkan agar tidak mengirim pasukan ke Suwayda. Keyakinan itu didasarkan pada pernyataan AS yang menyebut Suriah harus menjadi negara yang terpusat.
Analis politik Nour Odeh dari Al Jazeera menilai langkah Israel tidak sepenuhnya demi perlindungan Druze. “Ini adalah bagian dari upaya Israel untuk menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan hegemoni di Timur Tengah,” ujarnya.
Menurutnya, pendekatan itu mencerminkan ekspansi teritorial yang agresif dan strategi perang yang dilakukan secara bersamaan tanpa kompromi.