Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Donald Trump. (Shaleah Craighead, Public domain, via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Trump meminta Mahkamah Agung AS menunda implementasi undang-undang yang mengancam larangan TikTok hingga 19 Januari 2025.
  • Pemerintahan Joe Biden dan mantan Wakil Presiden AS Mike Pence mendukung pelarangan TikTok karena dianggap ancaman keamanan nasional dan teknologi China.
  • TikTok dan ByteDance berupaya keras membatalkan UU tersebut dengan alasan data pengguna AS disimpan di server Oracle yang beroperasi di AS.

Jakarta, IDN Times - Donald Trump meminta Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) menunda implementasi undang-undang yang bisa melarang TikTok pada 19 Januari 2025. Presiden terpilih AS ini mengajukan permohonan tersebut melalui dokumen hukum pada Jumat (27/12/2024).

Undang-undang itu mengharuskan ByteDance selaku induk perusahaan TikTok menjual bisnisnya di AS ke perusahaan lokal. Apabila tidak terlaksana, TikTok terancam dilarang beroperasi di negara tersebut.

Trump berharap bisa mencari resolusi politik setelah dia dilantik sebagai presiden pada 20 Januari 2025. Mahkamah Agung AS sendiri telah menjadwalkan sidang terkait kasus ini pada 10 Januari 2025.

1. Trump ingin selesaikan masalah TikTok lewat jalur politik

Pengacara Trump, John Sauer mengatakan Trump tidak mengambil posisi dalam kasus ini. "Trump hanya meminta agar Mahkamah Agung mempertimbangkan penundaan batas waktu divestasi 19 Januari 2025 sambil mempertimbangkan substansi kasus," tutur Sauer, dilansir The Guardian.

Trump memiliki pandangan berbeda soal TikTok dibanding tahun 2020. Kala itu, Trump justru berupaya melarang TikTok di AS dan memaksa penjualannya ke perusahaan AS karena hubungannya dengan China.

Trump kini mengklaim memiliki mandat elektoral yang kuat sebagai presiden terpilih. Dia percaya diri bisa menyelesaikan kontroversi TikTok melalui jalur politik.

TikTok sendiri bukan platform yang asing bagi Trump. Dia telah bertemu CEO TikTok, Shou Zi Chew pada Desember 2024 dan punya 14,7 juta pengikut di media sosial tersebut. Tim kampanyenya juga memanfaatkan TikTok sebagai alat menjangkau pemilih muda, terutama laki-laki, dilansir NPR.

2. Pemerintahan Biden khawatir TikTok jadi alat propaganda China

Pemerintahan Joe Biden menilai TikTok sebagai ancaman serius bagi keamanan nasional AS. Mereka khawatir platform ini bisa mengumpulkan data sensitif puluhan juta warga Amerika Serikat.

Biden juga mengangkat kekhawatiran TikTok bisa memanipulasi konten yang dilihat pengguna AS.

"TikTok bisa digunakan China secara diam-diam memajukan kepentingan geopolitiknya dan merugikan Amerika Serikat, misalnya menyebarkan perpecahan dan disinformasi saat krisis," bunyi pernyataan pemerintahan Biden dalam dokumen pengadilan, dilansir CNN.

Mantan Wakil Presiden AS Mike Pence turut mendukung pelarangan TikTok. Organisasi besutan Pence bahkan menyebut TikTok sebagai "fentanil digital" dan "senjata teknologi".

Sikap Biden mendapat dukungan luas dari berbagai pihak. Sebanyak 22 jaksa agung negara bagian AS mengajukan dukungan ke Mahkamah Agung agar mempertahankan UU yang melarang TikTok.

Pengadilan Banding Federal Washington DC juga telah mendukung UU pelarangan TikTok. Mereka menilai pemerintah AS memiliki kepentingan keamanan nasional yang sah dalam mengatur platform ini.

3. TikTok berupaya membatalkan undang-undang

ilustrasi logo TikTok. (unsplash.com/Solen Feyissa)

TikTok dan ByteDance berupaya keras membatalkan UU tersebut. Mereka mengajukan gugatan hukum setelah Biden menandatangani UU pada April 2024.

Platform yang memiliki 170 juta pengguna di AS ini menegaskan posisinya sebagai perusahaan Amerika. TikTok menyatakan mesin rekomendasi konten dan data penggunanya disimpan di server Oracle yang beroperasi di AS.

Pihak TikTok menilai pemerintah AS salah menafsirkan hubungan mereka dengan China. Data pengguna AS disimpan di AS dan keputusan moderasi konten juga dilakukan di sana.

Kelompok pembela kebebasan berpendapat ke Mahkamah Agung AS bahwa UU anti-TikTok AS mirip sensor rezim otoriter. "Pembatasan akses media asing demi melindungi dari manipulasi asing merupakan praktik yang telah lama dikaitkan dengan rezim represif," kata Knight First Amendment Institute.

Sementara itu, TikTok juga berargumen UU tersebut melanggar Amandemen Pertama konstitusi AS. Mereka menilai larangan tersebut membungkam salah satu platform paling signifikan bagi kebebasan berekspresi di Amerika, dilansir NYT.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorLeo Manik