Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Presiden Donald Trump menyampaikan pidato pelantikan (The Trump White House, Public domain, via Wikimedia Commons)
Presiden Donald Trump menyampaikan pidato pelantikan (The Trump White House, Public domain, via Wikimedia Commons)

Intinya sih...

  • Kebijakan baru: kesehatan jadi faktor penentu visaPedoman ini mewajibkan petugas visa menjadikan kesehatan sebagai fokus utama dalam proses aplikasi bagi hampir semua pemohon yang ingin tinggal permanen di AS.

  • Kekhawatiran para ahli: penilaian sepihak dan tidak terlatihPara pakar imigrasi mengkritik pedoman ini karena memberikan kewenangan medis kepada petugas visa yang tidak memiliki pelatihan kesehatan.

  • Implikasi bagi imigran: pemeriksaan lebih ketat dan risiko penolakanProses pemeriksaan medis untuk imigran tidak lagi sekadar verifikasi kesehatan dasar, melainkan penilaian menyeluruh tentang potensi biaya medis seum

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times – Pemerintahan Donald Trump kembali memicu kontroversi dengan merilis pedoman baru yang memungkinkan penolakan visa terhadap imigran yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, termasuk diabetes, obesitas, penyakit jantung, hingga gangguan metabolik. Kebijakan tersebut tertuang dalam dokumen resmi Departemen Luar Negeri yang telah diperiksa oleh KFF Health News. Dalam dokumen itu, petugas visa diminta menilai apakah pemohon berpotensi menjadi beban publik bagi AS karena kemungkinan membutuhkan biaya perawatan jangka panjang.

Dikutip dari KFF Health News, pedoman ini memperluas wewenang petugas visa untuk menilai kesehatan pelamar, bahkan berdasarkan proyeksi medis tentang biaya masa depan. Para ahli menilai langkah tersebut sebagai bagian dari strategi besar pemerintahan Trump untuk membatasi imigrasi, termasuk melalui penangkapan massal, pembatasan pengungsi, hingga larangan masuk dari negara tertentu.

1. Kebijakan baru: kesehatan jadi faktor penentu visa

ilustrasi visa (unsplash.com/Global Residence Index)

Pedoman ini mewajibkan petugas visa menjadikan kesehatan sebagai fokus utama dalam proses aplikasi bagi hampir semua pemohon yang ingin tinggal permanen di AS. Mereka diinstruksikan mempertimbangkan penyakit kronis seperti penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes, kondisi pernapasan, hingga gangguan kesehatan mental.

Dalam dokumen tersebut disebutkan, “Kondisi medis tertentu dapat memerlukan biaya perawatan senilai ratusan ribu dolar,” sehingga dapat dianggap sebagai potensi beban publik. Evaluasi tidak hanya menyasar pemohon, tetapi juga anggota keluarga yang menjadi tanggungan mereka.

Kebijakan baru ini memperluas tuntutan yang sebelumnya hanya memeriksa penyakit menular seperti tuberkulosis serta riwayat vaksinasi. Kini, kondisi seperti obesitas yang dapat menimbulkan asma, sleep apnea, hingga tekanan darah tinggi juga dijadikan dasar penolakan. Hal ini dinilai menggeser kebijakan kesehatan menjadi instrumen seleksi imigrasi yang lebih ketat.

2. Kekhawatiran para ahli: penilaian sepihak dan tidak terlatih

ilustrasi imigrasi (unsplash.com/Tomek Baginski)

Para pakar imigrasi mengkritik pedoman ini karena memberikan kewenangan medis kepada petugas visa yang tidak memiliki pelatihan kesehatan. Charles Wheeler, pengacara senior dari Catholic Legal Immigration Network, mengatakan bahwa bahasa dalam kabel tersebut bertentangan dengan Foreign Affairs Manual, yang melarang penolakan berbasis skenario “bagaimana jika.”

Pedoman baru ini, menurutnya, justru mendorong petugas untuk membuat proyeksi biaya medis berdasarkan interpretasi pribadi yang rawan bias. “Mereka tidak terlatih secara medis dan tidak seharusnya membuat proyeksi semacam itu,” ujar Wheeler.

Sophia Genovese, pengacara imigrasi dari Universitas Georgetown, menambahkan bahwa arahan tersebut membuat proses visa menjadi semakin spekulatif dan diskriminatif terhadap mereka yang memiliki riwayat penyakit kronis. Ia menilai kebijakan ini dapat menimbulkan masalah besar dalam wawancara konsuler karena standar penilaian menjadi sangat luas dan subjektif.

3. Implikasi bagi imigran: pemeriksaan lebih ketat dan risiko penolakan

ilustrasi pemeriksaan kesehatan (pexels.com/Natalia Vaithkevich)

Sebelumnya, imigran memang diwajibkan menjalani pemeriksaan medis oleh dokter yang ditunjuk kedutaan, termasuk skrining penyakit menular, riwayat penggunaan obat atau alkohol, serta wajib vaksinasi. Namun kini, proses tersebut tidak lagi sekadar verifikasi kesehatan dasar, melainkan penilaian menyeluruh tentang potensi biaya medis seumur hidup.

Dokumen tersebut menegaskan bahwa petugas harus menilai apakah pemohon memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk membayar perawatan tanpa bantuan publik. Tanpa bukti kemampuan finansial kuat, pelamar dengan penyakit kronis berisiko tinggi ditolak.

Pedoman ini juga mempertimbangkan kondisi keluarga yang menjadi tanggungan, seperti anak dengan disabilitas atau orang tua yang membutuhkan perawatan intensif. Dengan demikian, imigran yang membawa keluarga berpotensi menghadapi hambatan berlapis. Kebijakan ini dipandang sebagai bagian dari strategi besar pemerintahan Trump untuk membatasi imigrasi melalui pendekatan kesehatan, ekonomi, dan administratif.

Editorial Team