Banyak orang Suriah dan negara konflik lain yang ingin mencari penghidupan lebih baik di negara-negara UE. Sebagian di antaranya memilih jalur ilegal dengan menyeberangi laut yang berbahaya. Banyak juga yang dimanfaatkan oleh kelompok penyelundup manusia.
Yunani yang memiliki banyak pulau yang berhadapan langsung dengan Turki, sering menjadi tujuan utama, khususnya para migran dari Suriah, Irak, Bangladesh atau Afghanistan.
Kini ketika potensi akan terjadi banjir pengungsi dari Afghanistan, negara di bagian selatan Eropa itu memperketat perbatasan dan membangun pagar puluhan kilometer untuk menahan arus migran.
Melansir Associated Press, Notis Mitarachi yang menjabat Menteri Migrasi mengatakan Yunani tidak akan menerima menjadi "pintu gerbang untuk arus tidak teratur ke UE."
Sedangkan di Jerman, salah satu negara yang secara terbuka menjadi penampung pengungsi terbesar dari Suriah pada tahun 2015, telah memicu bangkitnya oposisi yang tidak sepakat dengan kebijakan tersebut.
Oposisi terbesar Jerman yakni partai berhaluan kanan, Alternative für Deutschland (AfD), kini mendominasi parlemen Jerman. Kelompok itu memiliki sentimen kuat anti-migran.
Dalam 10 tahun terakhir, sekitar 630.000 warga Afghanistan telah mengajukan suaka di negara-negara UE. Jumlah tertinggi tercatat di Jerman, Hongaria, Yunani dan Swedia.
Meski sentimen anti-migran menguat di Eropa, tapi Komisioner Eropa untuk Urusan Dalam Negeri, Ylva Johansson, mengatakan UE harus memainkan peran utama dalam mendukung pengungsi Afghanistan.
Dalam siaran persnya pada 18 Agustus, Johansson mengatakan "kita tidak dapat meninggalkan orang-orang yang berada dalam bahaya langsung di Afghanistan. Wartawan, staf LSM dan pembela hak asasi manusia di Afghanistan termasuk di antara mereka yang paling berisiko, khususnya perempuan."