Ukraina Akan Mundur dari Konvensi Ottawa yang Larang Penggunaan Ranjau

Jakarta, IDN Times - Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menandatangani dekrit penarikan dari Konvensi Ottawa, perjanjian internasional yang melarang penggunaan, penyimpanan, produksi, dan transfer ranjau antipersonel. Keputusan ini diumumkan melalui situs resmi kepresidenan pada Minggu (29/6/2025), sebagai respons terhadap konflik berkepanjangan dengan Rusia.
Dekrit tersebut menyetujui usulan Kementerian Luar Negeri Ukraina untuk keluar dari Konvensi yang ditandatangani pada 18 September 1997 dan diratifikasi Ukraina pada 2005. Proses penarikan masih menunggu persetujuan parlemen sebagai langkah legal final.
1. Latar belakang penarikan
Konvensi Ottawa mulai berlaku pada 1 Maret 1999 dan telah diratifikasi oleh 164 negara untuk menghapus ranjau antipersonel demi alasan kemanusiaan. Namun, Rusia yang bukan peserta perjanjian, dituduh menggunakan ranjau secara masif dalam invasi ke Ukraina.
Anggota parlemen Ukraina, Roman Kostenko, menyebut langkah penarikan sebagai respons terhadap realitas perang.
“Rusia tidak terikat oleh Konvensi Ottawa dan menggunakan ranjau secara besar-besaran terhadap militer dan warga sipil kami,” ujar Kostenko.
Ia menilai Ukraina tak bisa dibatasi oleh perjanjian yang menghambat kemampuan pertahanan nasional.
Laporan PBB pada Oktober 2024 menyebut Ukraina sebagai negara dengan kontaminasi ranjau tertinggi di dunia. Sekitar 23 persen wilayahnya berisiko terpapar ranjau dan amunisi yang tidak meledak, memperburuk ancaman terhadap warga sipil dan merusak potensi ekonomi.
2. Implikasi strategis bagi Ukraina
Dengan mundur dari perjanjian, Ukraina dapat secara legal memproduksi dan menggunakan ranjau antipersonel sebagai bagian dari strategi pertahanan, khususnya untuk menghambat gerak maju pasukan Rusia di wilayah timur dan selatan.
Pada November 2024, Amerika Serikat (AS) telah memasok ranjau antipersonel kepada Ukraina, meskipun Kiev saat itu masih terikat Konvensi Ottawa. Ranjau yang dikirim disebut sebagai non-persisten, yang secara otomatis tidak aktif dalam periode tertentu.
“Dalam kondisi di mana musuh tidak memiliki batasan, kami tidak bisa tetap terikat oleh aturan yang melemahkan pertahanan kami,” kata Kostenko, dilansir The Straits Times.
Ia menambahkan, persetujuan parlemen diharapkan segera disahkan untuk memperkuat militer Ukraina.
Namun, keputusan ini mendapat kecaman dari organisasi kemanusiaan. Human Rights Watch menyebut ranjau antipersonel sebagai senjata yang sering kali tidak pandang bulu dan menimbulkan korban sipil. Komite Palang Merah Internasional (ICRC) juga menyayangkan tren penarikan dari perjanjian hukum perang, yang dianggap mengancam tatanan kemanusiaan internasional.
3. Tren regional dan reaksi internasional
Ukraina bukan satu-satunya negara yang mempertimbangkan penarikan dari Konvensi Ottawa. Pada 18 Maret 2025, Polandia, Lithuania, Latvia, dan Estonia menyatakan niat bersama untuk mundur dari perjanjian, disusul oleh Finlandia pada 1 April 2025. Langkah ini dipicu oleh kekhawatiran terhadap ancaman Rusia dan kebutuhan pertahanan nasional.
“Kami menyadari pentingnya hukum kemanusiaan internasional, tetapi ancaman dari Rusia memaksa kami mengevaluasi ulang kebijakan pertahanan,” ujar pejabat pertahanan Lithuania.
Negara-negara tersebut akan secara resmi keluar enam bulan setelah mengirim pemberitahuan ke PBB.
Di sisi lain, Inggris menegaskan tetap berkomitmen pada Konvensi Ottawa dan Konvensi Munisi Klaster. Pemerintah Inggris pada 2025 menyatakan akan terus mendorong negara-negara non-anggota untuk bergabung, sembari mengkritik penggunaan ranjau oleh Rusia di Ukraina.
Langkah Ukraina dan negara-negara Baltik diperkirakan akan memicu debat global soal keseimbangan antara kebutuhan militer dan kewajiban kemanusiaan dalam konflik modern.