Curhat Nakes Afghanistan: Diserbu Lonjakan Pasien Anak Tanpa Digaji

Gizi buruk dan COVID-19 menghantui Afghanistan

Jakarta, IDN Times - Di sebuah rumah sakit yang penuh sesak di Afghanistan, beberapa dokter dan perawat yang tersisa berusaha segera menangani pasien di tengah segala keterbatasan. Mereka merawat bayi-bayi yang sekurus kerangka dan anak-anak kekurangan gizi yang ditempatkan berdampingan di tempat tidur yang sama.

Mohammad Sidiq, kepala departemen pediatrik di rumah sakit Mirwais di selatan kota Kandahar sedang kelimpungan menangani pasien yang jumlahnya dua kali lebih banyak dari kapasitas tempat tidur. 

"Kami kekurangan segalanya. Kami membutuhkan dua kali lipat peralatan, obat-obatan, dan staf," kata Sidiq dikutip dari AFP.

Banyak tenaga kesehatan (nakes) yang memilih untuk berhenti karena tidak dibayar selama berbulan-bulan. Tidak sedikit pula nakes yang melarikan diri ke luar negeri. Sementara banyak perempuan terlalu takut kembali bekerja sejak Taliban memegang kekuasaan.

Baca Juga: Taliban: Mujahidin yang Sakiti Rakyat Afghanistan Bukan Barisan Kami!

1. Terjadi lonjakan perawatan setelah perang saudara berakhir

Curhat Nakes Afghanistan: Diserbu Lonjakan Pasien Anak Tanpa DigajiAnak-anak Afghanistan di ibukota Kabul pada tahun 2020. (Unsplash.com/Sohaib Ghyasi)

Sejak perang saudara selama 20 tahun dan intervensi militer Amerika Serikat (AS) berakhir, terjadi gelombang besar pasien yang masuk rumah sakit.

Di rumah sakit yang ditangani Sidiq, ada seorang anak berusia lima tahun yang kekurangan gizi parah. Dia juga memiliki diare dan radang paru. Kondisi kesehatannya buruk. Dia hanya bisa makan melalui selang.

"Saya tidak bisa membawa (anak saya) ke rumah sakit sebelumnya karena ada pertikaian," kata ibunya.

Di rumah sakit lain Balkh, seorang petugas medis mengatakan jumlah pasien juga melonjak. "Dulu, jalan ditutup karena perang dan orang tidak bisa datang ke rumah sakit, tapi sekarang jumlah mereka jauh lebih tinggi dari sebelumnya," terang Muzhgan Saidzada.

"Tentu saja menjadi lebih sulit untuk ditangani," tambah dokter di Rumah Sakit Daerah Abo Ali Sina Balkhi itu.

Baca Juga: Kisah Tukang Cukur di Afghanistan, Banting Harga hingga 1 Dolar AS

2. Gizi buruk dan pandemik COVID-19 membayangi Afghanistan

Curhat Nakes Afghanistan: Diserbu Lonjakan Pasien Anak Tanpa DigajiAfghanistan. (Pixabay.com/ArmyAmber)

Selain gizi buruk, pandemik COVID-19 juga menghantui pemerintahan Taliban. Padahal, sumber daya untuk menanganinya semakin dikit.

"Mungkin dalam sebulan ini, kami tidak akan bisa menerima pasien COVID-19," kata Freba Azizi, seorang dokter untuk satu-satunya pusat perawatan virus corona khusus Kabul di Rumah Sakit Jepang Afghanistan.

"Angka kematian pasien Covid-19 akan meningkat. Kami (khawatir) akan melihat mayat setiap hari,” tambah dia.

Menurut data yang berhasil dihimpun AFP, Afghanistan telah mencatat setidaknya 155 ribu infeksi COVID-19 dengan sekitar 7.200 kematian. Tetapi, para ahli kesehatan sepakat bahwa angkanya riil jauh lebih tinggi karena minimnya pengujian.

Data Universitas Johns Hopkins menyampaikan, hanya sekitar 430 ribu orang di Afghanistan yang sudah divaksinasi lengkap, sekitar satu persen dari total populasi.

3. Belum jelas kapan bantuan internasional akan tiba

Curhat Nakes Afghanistan: Diserbu Lonjakan Pasien Anak Tanpa DigajiBanyak pengungsi berasal dari negeri konflik seperti Afganistan, Suriah dan Irak (Pixabay.com/WikiImages)

Dikutip dari The Straits Times, diperkirakan lebih dari 18 juta warga Afghanistan, hampir setengah dari total populasinya, sangat membutuhkan bantuan. Lebih dari sepertiga di antaranya terancam kelaparan, demikian data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Komunitas internasional telah menjanjikan bantuan kemanusiaan senilai 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp17,1 triliun). Tetapi, tidak jelas bagaimana dan kapan uang itu didistribusikan ke Afghanistan.

Sekjen PBB, Antonio Guterres, yakin bantuan dapat digunakan sebagai instrumen untuk menekan kelompok militan Islam itu memperbaiki penanganan hak asasi manusia. Komunitas internasional khawatir Taliban akan kembali menerapkan hukum yang keji seperti mereka terakhir berkuasa pada 1996-2001.

Beberapa bantuan penyelamatan jiwa mulai mengalir, dengan beberapa pesawat yang membawa pasokan dari UNICEF, Save the Children dan World Health Organization (WHO). WHO setidaknya telah menerbangkan 185 metrik ton pasukan medis penting, termasuk obat untuk COVID-19, peralatan trauma, antibiotik, dan garam rehidrasi.

Baca Juga: Indonesia Siapkan Bantuan Rp42 Miliar untuk Afghanistan

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya