Imbas Pandemik, 500 Ribu Perempuan di Dunia Jalani Pernikahan Anak

Bencana wabah COVID-19 menjadi pemicu pernikahan anak

Jakarta, IDN Times – Pernikahan anak melonjak di Asia dan negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia. Praktik itu diduga terjadi karena dampak kemiskinan imbas pandemik COVID-19.

Dilansir dari Asia Nikkei, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan pernikahan anak sebagai perkawinan seseorang yang belum dewasa atau anak-anak yang masih berusia di bawah 18 tahun.

Kelompok kemanusiaan internasional, Save the Children, memperkirakan bahwa ada sekitar 500 ribu pernikahan anak di seluruh dunia selama 2020. Kelompok itu memperkirakan, hingga 2025 pernikahan anak akan bertambah sekitar 2,5 juta kasus.

1. Pernikahan anak di India jadi sorotan

Imbas Pandemik, 500 Ribu Perempuan di Dunia Jalani Pernikahan AnakPerdana Menteri India Narendra Modi saat mengunjungi mausoleum Sheikh Mujibur Rahman, presiden pertama Bangladesh, pada 27 Maret 2021. (Facebook.com/Narendra Modi)

Wilayah Asia Selatan, termasuk India, dilaporkan paling banyak terjadi kasus pernikahan anaknya. Tren serupa juga meningkat di Afrika Barat dan Tengah, Amerika Selatan, dan kawasan Karibia, wilayah yang progres vaksinasi vaksinasi COVID-19 sangat lambat.

India telah mengusulkan regulasi yang menaikkan usia pernikahan minimum bagi perempuan dari 18 menjadi 21 tahun.

"Kami melakukan ini agar mereka memiliki waktu untuk belajar dan berkembang," kata Perdana Menteri India, Narendra Modi, setelah RUU Larangan Pernikahan Anak diperkenalkan di parlemen pada 22 Desember.

"Negara mengambil keputusan ini untuk anak perempuannya."

Data pemerintah India melaporkan, pada 2020 terjadi 785 pernikaan anak, meningkat 50 persen dari tahun sebelumnya dan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan di tengah pandemik, membuat hidup semakin sulit bagi keluarga miskin

Baca Juga: Eksploitasi Anak di Daerah Bencana, Dinikahkan Hingga Diperdagangkan

2. Pernikahan anak juga melonjak di daerah konflik

Imbas Pandemik, 500 Ribu Perempuan di Dunia Jalani Pernikahan AnakPengungsi menaiki pesawat saat Departemen Pertahanan AS berkomitmen untuk mendukung Departemen Luar Negeri AS dalam keberangkatan personel sipil AS dan sekutu dari Afghanistan, dan untuk mengevakuasi sekutu Afghanistan dengan aman, dalam gambar handout terbaru tanpa tanggal. ANTARA FOTO/Staff Sgt. Brandon Cribelar/U.S. Air Force /Handout via REUTERS/AWW

Pernikahan anak juga menjadi perhatian di Indonesia, yang sebelumnya telah menaikkan usia minimum pernikahan dari 16 menjadi 19 tahun. Tetapi, lebih dari 33 ribu pernikahan anak disetujui oleh pemerintah pada paruh pertama 2020. Angkanya melampaui 22 ribu kasus pernikahan anak pada 2019.  

Selain pandemik, konflik politik juga meningkatkan kasus pernikahan anak. Pada Agustus lalu, sejak Taliban mengambil alih kekuasaan Afghanistan, banyak keluarga yang menikahkan anak-anaknya agar mereka memperoleh mas kawin.

Mahar yang diperoleh nantinya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan, ada perempuan yang telah di-booking untuk dinikahkan saat dewasa, hanya demi mendapatkan mas kawin.

Lebih buruk lagi, laporan CNN menunjukkan bahwa perdagangan anak meningkat karena konflik. Pada November, di Afghanistan ada seorang perempuan berusia 9 tahun yang dijual kepada lelaki berusia 55 tahun dengan harga 2.200 dolar AS atau sekitar Rp31,3 juta.

3. PBB desak negara-negara tetapkan usia minimum pernikahan anak 18 tahun

Imbas Pandemik, 500 Ribu Perempuan di Dunia Jalani Pernikahan AnakLambang PBB di Markas Besar PBB, New York. (Instagram.com/unitednations)

Perkawinan anak kebanyakan merugikan perempuan di bawah umur. Menurut UNICEF, sekitar 750 juta perempuan di bawah usia 18 tahun menikah, dan 30 persen di antaranya berusia di bawah 15 tahun.

Perkawinan anak menjadi salah satu target masyarakat internaisona untuk diakhiri pada 2030.

UNICEF pada Maret 2021 memperkirakan, 10 juta pernikahan anak tambahan dapat terjadi sebelum 2030. Penutupan sekolah karena berbagai faktor akan memicu pernikahan anak hingga 25 persen. UNICEF juga menyoroti pernikahan anak dari keluarga miskin anak meningkat 3 persen.

"Jika anak perempuan kehilangan kesempatan untuk pergi ke sekolah, itu akan memiliki konsekuensi negatif yang sama seperti pandemi," kata Ketua Komite Hak Anak PBB, Mikiko Otani.

Komite mendesak negara-negara untuk menetapkan usia minimum pernikahan menjadi 18 tahun tanpa syarat. UNICEF dan organisasi lain juga melakukan kampanye kesadaran untuk para pemimpin agama.

"Penting bagi kami untuk memudahkan anak perempuan untuk berdiri di atas kaki sendiri setelah menyelesaikan sekolah," kata Otani.

Baca Juga: Penyesalan Anak-anak Korban Pernikahan Dini di Tengah Pandemik

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya