Indonesia, Global South, dan Dukungan untuk Negara Berkembang

Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Deepali Khanna

Jakarta, IDN Times - The Think7 (T7), salah satu engagement group dalam G7 yang beranggotakan pakar think-tank global, merekomendasikan G7 dan G20 untuk lebih memperhatikan kesenjangan ekonomi serta pembangunan antara "Utara" dan "Selatan". Rekomendasi itu tertuang dalam hasil diskusi T7 yang diserahkan kepada Jepang, selaku tuan rumah KTT G7 pada 19-21 Mei 2023.

Co-Chair of T7 Development and Economic Prosperity Task Force serta Vice President of Asia Regional Office of The Rockefeller Foundation, Deepali Khanna, mengatakan bahwa kebijakan berorientasi Global South harus menjadi perhatian negara-negara kaya dan adikuasa. 

"G7 harus membantu Global South dan ekonomi berkembang dengan membahas dan melaksanakan tindakan pembiayaan iklim, mengurangi risiko dan tekanan utang, membangun ekosistem pangan yang tangguh serta stabil untuk memperkuat ketahanan pangan, dan mendorong program pengentasan kemiskinan untuk mengurangi ketidaksetaraan," kata Khanna saat menjadi pembicara di panel The T7 Japan Summit.

Adapun Global South adalah istilah yang dipakai oleh Bank Dunia dan organisasi internasional lainnya untuk menjelaskan ketimpangan antara kawasan Utara dan Selatan. Kebanyakan entitas di kawasan Selatan adalah negara dengan pendapatan rendah, negara berkembang, hingga populasi padat.  

IDN Times berkesempatan untuk mewawancarai Deepali Khanna terkait posisi Indonesia dalam pencaturan global, termasuk bagaimana Indonesia memposisikan diri sebagai representasi negara-negara berkembang.

Ada juga beberapa isu teraktual yang kami bicarakan terkait kapasitasnya sebagai salah satu eksekutif The Rockefeller Foundation. Berikut selengkapnya wawancara IDN Times dengan Deepali Khanna!

Indonesia baru saja mengakhiri Presidensi G20, terlibat dalam G7 Summit, saat ini mengemban tugas Keketuaan ASEAN. Apa yang Anda Harapkan dari partisipasi Indonesia di kancah global?

Indonesia, Global South, dan Dukungan untuk Negara BerkembangPresiden Joko Widodo (tengah) menyampaikan pandangannya saat pembukaan KTT G20 Indonesia di Nusa Dua, Bali, Selasa (15/11/2022). (ANTARA FOTO/MEDIA CENTER G20 INDONESIA/Prasetyo Utomo)

Indonesia telah secara aktif mangadvokasi tantangan dan peluang yang dihadapi Global South selama forum internasional. Selama KTT G7, Presiden Indonesia Joko "Jokowi" Widodo menekankan bahwa beliau senantiasa mewakili Global South. Beliau juga memanfaatkan peluang tersebut untuk membahas Presidensi ASEAN dan menyatakan bahwa Indonesia akan membagikan hasil KTT ASEAN 2023 dengan G7 sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan.

Selama pembicaraan bilateral, Presiden Jokowi juga berdialog dengan Brasil untuk membahas kerja sama Global South di sektor kehutanan, serta dengan Kepulauan Cook untuk membahas penguatan kerja sama. Kami melihat dialog-dialog tersebut sebagai perkembangan positif.

Indonesia selama Presidensi G20 juga mengangkat urgensi pemulihan pascapandemik, pembangunan Global South, serta dukungan untuk ketahanan pangan dan energi. Dengan indikasi bahwa Indonesia dapat mencapai emisi net-zero pada 2055 melalui Just Energy Transition Partner (JET-P). Hal tersebut juga dapat menjadi preseden bagi negara-negara Global South lainnya untuk memulai perjalanan energi terbarukan mereka.

Para peneliti sedang menyorot narasi diplomasi Indonesia yang membumi, dengan orientasi diplomasi menekankan pada kerja sama luar negeri yang dapat mendukung pembangunan sosial ekonomi. Saya percaya bahwa ASEAN tetap menjadi landasan bagi kepemimpinan luar negeri Indonesia, yang memungkinkan penimbangan perspektif ASEAN ke forum global.

Pada 2023, saya mengharapkan advokasi Indonesia untuk Global South bisa meningkatkan peran kepemimpinannya dan mengedepankan posisinya dalam wacana pembiayaan global serta kerja sama perdagangan.

Beberapa pemangku kepentingan, termasuk perusahaan riset keuangan, melihat potensi Indonesia dan India untuk memimpin pertumbuhan di Asia. Untuk itu, pertumbuhan berkelanjutan turut diperlukan dalam memaksimalkan peran tersebut. Dengan langkah-langkah yang telah diambil secara aktif selama bertahun- tahun, kepemimpinan Indonesia tentunya telah dan akan memberikan dampak.

Menurut Anda, apa sebenarnya tantangan terbesar untuk memperkecil kesenjangan antara “Utara” dengan Selatan?

Saya percaya meningkatkan instrumen keuangan adalah cara strategis untuk memperkecil perbedaan antara Global North dan Global South. Indonesia menyadari bahwa Global South menghadapi berbagai tantangan dalam pembangunan infrastruktur, terutama pembangunan infrastruktur berkelanjutan, karena kurangnya dana.

Kita perlu bergerak melampaui pendanaan publik, sipil, dan filantropi dan mendorong peningkatan pendanaan swasta. Indonesia sangat menyadari tantangan ini dan telah menganjurkan multilateralisme yang lebih kuat dalam percakapan seputar pemulihan ekonomi dan kerja sama pascapandemi.

Indonesia juga menyuarakan perlunya blended financing, kemitraan publik-swasta-filantropi, dan obligasi dampak lingkungan sebagai bagian dari solusi untuk memastikan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang, negara kurang berkembang, dan negara kepulauan kecil lainnya.

Baca Juga: PM India: Menlu G20 Harus Bisa Mengatasi Krisis Global

Indonesia kerap memposisikan diri sebagai representasi negara berkembang. Menurut Anda, nilai apa yang bisa Indonesia tawarkan agar agenda-agenda Global South bisa terus disuarakan?

Indonesia, Global South, dan Dukungan untuk Negara BerkembangMenlu Retno Marsudi hadiri KTT ke-8 ASEAN-Amerika Serikat (Dok.Biro Pers Kepresidenan)

Saya ingin menggemakan penekanan yang telah diutarakan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, untuk mengubah pendekatan investasi iklim dari pengalihan beban menjadi pembagian beban.

Saya melihat Indonesia memimpin dengan memberi contoh. Progres Indonesia dalam mengurangi laju deforestasi dan kebakaran hutan sebesar 88 persen dapat menunjukkan bagaimana peningkatan dukungan dari negara-negara Global North untuk pembangunan di seluruh Global South.

Contoh yang dikemukakan Indonesia pada Seventh Session KTT G7 kemarin juga patut diapresiasi, di mana Indonesia mendemonstrasikan kapasitasnya merehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis dan 600 hektare bakau pada 2024, membangun 30 ribu hektare kawasan industri hijau, dan mendorong pengembangan ekosistem kendaraan listrik.

Bagaimana The Rockefeller Foundation berperan dalam pembangunan Global South, termasuk memitigasi berbagai krisis yang terjadi saat ini?

Beberapa tahun terakhir telah menjadi tantangan yang luar biasa akibat ketegangan geopolitik, kenaikan harga pangan, inflasi, krisis kesehatan masyarakat, dan banyak lagi. Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya penekanan kolaborasi, kerja sama, dan pembiayaan katalis lintas masyarakat dan negara.

Di The Rockefeller Foundation, prioritas kami adalah membantu para penerima manfaat dari komunitas-komunitas rentan agar tidak hanya mengurangi tantangan ini, tetapi juga mengakses peluang ekonomi dengan meningkatkan kehidupan dan mata pencaharian mereka. Oleh karena itu, negara-negara G7 diharapkan dapat memenuhi komitmen mereka terhadap negara-negara Global South.

Sebagai bagian dari kepemimpinan filantropi di Asia, kami ingin membantu membawa perubahan transformatif dengan mengidentifikasi jalan yang menumbuhkan mata pencaharian yang tangguh bagi para penerima manfaat di wilayah tersebut.

Memasuki paruh kedua 2023, kami hendak mengakselerasi pengaruh kami melalui investasi, kemitraan antar-lembaga yang kolaboratif, pemerintah, dan lainnya di bidang energi, kesehatan, serta pangan, yang pada gilirannya memberdayakan mata pencaharian.

Tujuan ini sejalan dengan prioritas Indonesia dalam membangun infrastruktur, menciptakan pemerataan, meningkatkan daya saing, mengembangkan Ibu Kota Negara baru, dan mendorong investasi di bidang transportasi, kesehatan, teknologi, pendidikan, dan banyak lagi.

Selain itu, negara-negara G7 tidak hanya harus bekerja sama dengan negara-negara G20, tetapi juga perlu untuk mengatasi masalah negara-negara yang rentan. Melalui komunike G7, dan diskusi kami dengan anggota lain dari Task Force T7, The Rockefeller Foundation percaya bahwa tindakan kolaboratif adalah jalan kita ke depan. Mendukung inisiatif Global South harus menjadi pusat perhatian bagi negara-negara G7 untuk memenuhi target yang telah mereka tetapkan untuk diri mereka sendiri dan dunia.

Baca Juga: Potret 40 Tahun Persahabatan Sri Mulyani dan Retno Marsudi

Kita tahu bahwa negara berkembang dan "Selatan" menjadi korban yang paling terdampak krisis iklim. Sementara, komitmen G7 terhadap isu iklim pun diragukan. Bagaimana Anda menanggapinya?

Indonesia, Global South, dan Dukungan untuk Negara Berkembangunsplash.com/John Cameron

Di Hirosima, pemimpin G7 memahami pentingnya meningkatkan kecepatan dan skala dari aksi perubahaan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan transisi energi bersih secara global. Dengan demikian, promosi transformasi hijau dan emisi gas rumah kaca net-zero dapat tercapai paling lambat pada 2050. Untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) dalam perubahan iklim, amatlah penting untuk menanamkan mitigasi dan adaptasi ke dalam etos organisasi, komunitas, dan negara.

Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam bidang pendanaan iklim. Laporan terbaru dari The Rockefeller Foundation dan Boston Consulting Group (BCG), “What Gets Measured Get Financed", menemukan bahwa hanya 16 persen dari kebutuhan iklim di dunia terpenuhi dengan biaya 3,8 dolar AS triliun per tahun. Jadi, jelas janji COP21 sebesar 100 miliar dolar AS itu tidak cukup. Kepemimpinan global yang kuat, komitmen politik, kolaborasi lintas sektor, dan donasi moneter yang cukup besar dari sektor swasta serta kelompok nirlaba sangat diperlukan.

Mengenai pendanaan iklim dan pinjaman lunak, sangat penting untuk beralih dari pinjaman ke pemberian dana. Penting juga untuk memastikan bahwa investasi didistribusikan secara merata ke seluruh komunitas untuk membantu masyarakat mengakses layanan kesehatan berkualitas dan makan bernutrisi.

Yang terakhir, dampak dari perubahan iklim kepada lingkungan dan keanekaragaman hayati juga perlu mendapatkan perhatian lebih. Penerapan G7 terhadap Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (GBF) untuk menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati pada 2030 menunjukan bahwa negara-negara mulai melihat perubahan iklim secara lebih holistik.

Masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan kita mencapai keseimbangan yang tepat. Contohnya, bank pembangunan multilateral harus meningkatkan pinjaman dan pengeluaran keanekaragaman hayati mereka. Dengan demikian, masyarakat sipil, sektor swasta, filantropi, dan sektor publik harus bersatu dan bertindak secara kohesif.

Baca Juga: Menlu Retno di G20: Banyak Negara Standar Ganda soal Palestina

Iklim menjadi salah satu isu yang diperhatikan oleh generasi muda. Menurut Anda, bagaimana generasi muda bisa dilibatkan untuk menangani krisis iklim.

The Rockefeller Foundation percaya akan kekuatan dari para pemuda. Gen Z secara aktif berpartisipasi dan terlibat pada aktivitas perubahan iklim, mencari cara untuk menghindari bencana iklim, memilih alternatif yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, dan berusaha untuk mendorong keterlibatan individu dan pemerintah. Untuk mempercepat upaya mitigasi krisis iklim, saya yakin akan keterlibatan pemuda dalam tindakan sipil, sosial, dan pemerintah harus ditingkatan.

Secara individu dan kolektif, generasi muda sangatlah tech savvy (melek teknologi) dan selalu mencari cara untuk mendatangkan inovasi teknologi demi menjawab berbagai tantangan. Seiring mereka semakin sadar dengan dampak dari perubahan iklim dan lingkungan, saya yakin mereka akan mendorong reformasi yang harus diterima oleh organisasi masyarakat sipil dan perusahaan.

Para pemuda akan beralih dari bekerja di industri yang berkontribusi terhadap polusi dan mulai merangkul pekerjaan yang ramah lingkungan. Kami melihat banyak permintaan yang tidak terpenuhi untuk mengaktivasi pekerjaan yang ramah lingkungan. Dengan mendanai institusi akademis dan menanamkan keterampilan keterampilan tersebut, kita dapat mempersiapkan generasi muda untuk memimpin program dan inisiatif ini.

Seiring berjalannya partisipasi Global South di dalam dialog internasional, kami akan memastikan bahwa suara dari para pemuda, terutama dari negara-negara yang rentan itu terdengar. Gagasan, saran, dan rekomendasi mereka akan membuka jalan dalam menentukan tujuan kita dan memastikan bahwa planet ini akan terus layak dihuni.

Baca Juga: Cuek Dikritik, India Gelar Pertemuan G20 di Wilayah Sengketa Kashmir 

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya