Kemenlu RI Klarifikasi Surat PBB soal Penghilangan Paksa di Papua

Surat PBB disebut bersumber dari laporan, bukan dari temuan

Jakarta, IDN Times – Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia angkat suara terkait surat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang meminta pemerintah untuk mengklarifikasi soal penghilangan paksa dan penyiksaan yang terjadi di Papua.

Isu itu beredar setelah dokumen Special Procedures Mandate Holders (SPMH), di bawah naungan Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, dikonfirmasi kebenarannya oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan beberapa hari lalu.

Kemenlu menegaskan bahwa surat tersebut hasil bukan investigasi PBB, melainkan hasil laporan individu terkait pelanggaran HAM di suatu negara. Kemenlu menekankan hal itu karena banyak masyarakat yang salah memahami, mengira surat tersebut sebagai bukti bahwa PBB menemukan pelanggaran HAM di Papua. 

“SPMH dibentuk oleh Dewan HAM untuk menerima komplain, mengkaji isu yang mereka tangani, dan meminta klarifikasi dari negara terkait atas komplain yang mereka terima. Jadi, jelas bahwa informasi SPMH tidak dari hasil investigasi atau mencari temuan, melainkan hasil menerima laporan, bisa dari siapa saja,” kata Duta Besar/Pewakilan Tetap RI di PBB, Febrian Ruddyard, dalam konferensi pers mingguan Kemenlu, Kamis (17/2/2022).

1. Tidak semua laporan masuk benar informasinya

Kemenlu RI Klarifikasi Surat PBB soal Penghilangan Paksa di PapuaDuta Besar/Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB, Febrian A. Ruddyard (IDN Times/Santi Dewi)

Dalam SPMH tersebut, diketahui ada 11 poin yang hendak diklarifikasi, di antaranya kematian warga sipil dalam bentrokan antara kelompok kriminal bersenjata (KKB) dengan aparat, penangkapan warga Papua, informasi kematian Patianus Kagoya, hingga penjelasan seputar pembatasan akses Komnas HAM dan lembaga kemanusiaan lainnya.

Menurut Febrian, tidak semua SPMH mengandung informasi yang benar dan akurat. Oleh sebab itu, tugas utama SPMH adalah mengklarifikasi kebenaran informasi dari pelapor.

“Laporan (yang masuk) bisa saja dari pemerintah, nonpemerintah, individu, dan komplain-komplain ini tidak memiliki kebenaran 100 persen, karenanya harus dimintakan klarifikasi kepada negara terkait,” ulas Febri.

“Jadi saya luruskan, ini (SPMH) tidak bisa dibilang temuan PBB atau mewakili pandangan Dewan HAM, karena mereka tidak menemukan apapun, tapi menerima laporan. Surat yang diberitakan (terkait Indonesia) masuk dalam kategori komunikasi (untuk klarfikasi),” tambah dia.

Baca Juga: Kodam Kasuari Bantah Prada Enos Gugur Ditembak KKB di Papua Barat

2. Penjelasan seputar SPMH

Kemenlu RI Klarifikasi Surat PBB soal Penghilangan Paksa di PapuaDuta Besar/Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB, Febrian A. Ruddyard (IDN Times/Santi Dewi) (IDN Times/Santi Dewi)

Febrian menyebut bahwa SPMH telah mengirim 681 permintaan klarifikasi ke 132 negara sepanjang 2020.

“Termasuk negara maju (diminta juga klarifikasi oleh SPMH). Jadi ini menunjukkan bahwa itu mekanisme rutin, itu memang tugasnya, kalau tidak kita Dewan HAM bisa menegur,” ungkap dia.

Selain itu, objek yang bisa dilaporkan ke SPMH tidak sebatas negara.   

“Permintaan klarifikasi ini bisa kepada aktor non-negara, jadi objeknya bukan hanya negara, bisa LSM atau perusahaan swasta,” tambah Febrian

Pengaduan yang masuk ke SPMH juga terbagi menjadi dua jenis, yaitu pengaduan tematik dan pengaduan terkait negara.

“Kalau tematik fokus pada isu tertentu, seperti saat ini dari 58 SPMH sekitar 45 di antarnya memiliki mandat tematik. Sedangkan 13 SPMH lainnya memiliki mandat negara. Jadi isunya ada di negara tersebut,” jelas Febrian.

3. Indonesia menjawab seluruh permintaan klarifikasi SPMH

Kemenlu RI Klarifikasi Surat PBB soal Penghilangan Paksa di PapuaSuasana pertemuan anggota Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada 21 Juli 2020. (Facebook.com/UN Human Rights Council)

Spesifik pada konteks Indonesia, dari total 681 komplain yang masuk, Indonesia sendiri menerima 5 surat dari SPMH. Kemudian, sepanjang 2021, Indonesia menerima 11 permintaan klarifikasi SPMH.

“Dan 10 di antaranya sudah kita jawab. Selama ini SPMH mengapresiasi Indonesia yang selalu menjawab, karena dari 132 negara (yang dimintai klarifikasi) bahkan kurang dari 20 persen yang disiplin dan transparan dalam menjawabnya,” ulas Febrian.

Adapun satu permintaan klarifikasi yang belum dijawab tidak melanggar ketetapan, karena setiap negara diberi waktu 60 hari untuk menjawab surat SPMH.

“Yang satu ini memang belum sampai habis pada masa 60 harinya. Oleh karena itu, kewajiban pemerintah untuk menjawab sesuai deadline. Waktu 60 hari beserta respons pemerintah akan menjadi dokumen bukti. Semua komunikasi dan respons dapat diakses di situs SPMH, jadi ada transparansi,” papar Febri yang merupakan mantan Dirjen Multilateral Kemenlu.

Baca Juga: Kepala BIN di Papua Mayjen TNI Abdul Haris Napoleon Wafat Hari Ini

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya