Polemik Rohingya: Kebencian di Media Sosial dan Sikap Indonesia

HRW ingatkan Rohingya bisa mati jika tidak diselamatkan

Jakarta, IDN Times – Puncak penolakan warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya terjadi pada Rabu (27/12/2023), ketika ratusan mahasiswa mendatangi Gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA) di Kota Banda Aceh dan mengusir etnis asal Rakhine State yang berada di ruang bawah tanah. Sebelumnya, mereka juga menggelar demonstrasi di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh.

Koordinator aksi, T Wariza Yusnandar, mengatakan alasan menolak keberadaan Rohingya adalah karena para imigran itu dianggap melakukan perlawanan terhadap masyarakat yang telah berupaya membantu mereka.

“Rohingya diberi makan kemudian menolak, ini adalah awal dari bentuk perlawanan Rohingya kepada Aceh. Jadi wajib menolak,” kata Wariza.

Ratusan pengungsi Rohingya yang datang dalam berbagai gelombang telah menjadi sorotan pemerintah. Isunya bahkan semakin menggaung setelah pemerintah pusat mengaitkan kedatangan mereka dengan sindikat penjualan manusia dan perdagangan orang.

Hal yang menjadi sorotan adalah perhatian masyarakat terhadap isu Rohingya seolah muncul secara tiba-tiba. Salah satu perdebatan yang paling intens sepanjang Desember 2023 adalah isu Rohingya, baik dari kubu yang menolak ataupun mendukungnya.

Lantas, bagaimana tiba-tiba isu Rohingya menjadi sorotan?

1. Pantauan percakapan soal Rohingya di Twitter

Peneliti media sosial yang merupakan pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mengungkap bahwa puncak dari percakapan seputar Rohingya terjadi pada 8 Desember 2023 dengan jumlah 33.801 mentions. Padahal, pada 7 Desember 2023 jumlah mentions sekitar 12.990 dan pada 6 Desember 2023 jumlahnya bahkan hanya 983 mentions.

“Unggahan 8 Desember dipicu oleh akun @neohistoria_id yang memberikan kritik pada komika Marshel terkait memainkan isu Rohingya sebagai penjajah,” demikian cuitan Ismail Fahmi.

Adapun tagar #Rohingya pertama kali naik jadi trending topic Indonesia (TTI) pada 3 Desember pukul 14.19 WIB. Kemudian, naik menduduki posisi tiga TTI pada 7 Desember pukul 02.09 WIB. Trennya bergerak fluktuatif hingga terakhir menempati posisi 50 besar TTI pada 11 Desember pukul 04.39 WIB.

Selanjutnya, Ismail membagi tiga klaster percakapan seputar Rohingya. Klaster positif adalah mereka yang menggemakan isu kemanusiaan, hoaks seputar Rohingya yang terkesan pesanan dan sismetais, ada ada upaya demonisasi orang Rohingya.

Di antara hoaks viral adalah Badan Pengungsi PBB (UNHCR) yang dituduh meminta pemerintah Indonesia menyediakan pulau khusus untuk pengungsi Rohingya. Di Instagram, bahkan banyak akun yang memasang foto profil UNHCR.

Adapun klaster kedua adalah mereka yang menganggap ada pihak tertentu yang menunggangi isu Rohingya sebagai isu politik.

Terakhir, adalah klaster negatif yang menaikkan narasi soal masyarakat Indonesia yang membutuhkan bantuan pemerintah dan membandingkannya dengan bantuan kepada Rohingya. Ada juga yang mengatakan bakal memilih capres yang tegas mengusir Rohingya. Tidak ketinggalan akun yang membagikan kabar soal kebrutalan pengungsi Rohingya.

Ismail pun memaparkan, sentimen positif di media sosial sekitar 50 persen dan negatif sekitar 33 persen. Sentimen positif di media online 43 persen dengan dominasi kata kunci “Jokowi Minta Pelaku TPPO terkait pengungsi Rohingya ditindak tegas” dan sentimen negatif 38 persen dengan kata kunci “Munculnya gelombang penolakan pada pengungsi Rohingya”

Baca Juga: TNI AL Halau Kapal Pengangkut Pengungsi Rohingya Agar Tak Masuk ke RI

2. Rohingya tidak punya pilihan kecuali mendarat di Indonesia

Polemik Rohingya: Kebencian di Media Sosial dan Sikap IndonesiaPara terduga pengungsi Etnis Rohingya saat dipindahkan menggunakan truk. (Dokumentasi Yanti untuk IDN Times)

Menanggapi aksi mahasiswa Aceh, Deputi Minister National Unity Government atau pemerintah bayangan Myanmar dari kelompok sipil yang dikudeta, Aung Kyaw Moe, menyebut Indonesia sebagai contoh positif penegakan prinsip kemanusiaan di Asia Tenggara dan di dunia.

Pada saat yang sama, dia juga tidak menampik kebencian warga lokal yang terus tumbuh terhadap pengungsi Rohingya.

“Kami akan selalu berterima kasih kepada Indonesia karena menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan. Namun, semakin besar pula rasa penolakan terhadap Rohingya oleh komunitas lokal,” kata dia saat membagikan video demonstrasi mahasiswa Aceh.

“Rekaman yang dibagikan merupakan kejadian di mana masyarakat lokal yang marah menyerang warga Rohingya yang baru tiba yang ditampung secara terpisah (disembunyikan) oleh pemerintah. Tingkat kemarahan dan kebencian ini tidak bisa bersifat alamiah melainkan dimotivasi dan dipicu oleh pihak eksternal,” tambah dia.

Sementara itu, Deputi Director Human Rights Watch Asia Phil Robertson menyampaikan, etnis Rohingya yang tiba di Indonesia sebenarnya menjadikan Australia sebagai tujuan akhir. Mereka telah mencoba untuk transit di berbagai negara, termasuk Malaysia dan Thailand, tapi mereka ditolak.

Menurut Phil, jika mereka tidak diselamatkan di laut Aceh, maka opsi lain yang mereka miliki hanya mati tenggelam di laut.

“Kalau diusir lagi oleh Indonesia, mereka akan mati. Pertanyaannya, apakah Indonesia tega melakukan itu? Apakah Indonesia masih percaya dengan kemanusiaan?,” ujar Phil kepada IDN Times.

3. Sikap Indonesia soal Rohingya

Polemik Rohingya: Kebencian di Media Sosial dan Sikap IndonesiaIlustrasi Gedung Pancasila Kemenlu. (www.kemlu.go.id)

Kementerian Luar Negeri memiliki tiga sikap dalam mengatasi isu Rohingya. Pertama, Indonesia bukan negara peratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, sehingga tidak memiliki kewajiban untuk menampung pengungsi. Alasan kini pemerintah menampung Rohingya adalah faktor kemanusiaan.

Kedua, dalam berbagai kesempatan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menuturkan bahwa cara untuk mengakhiri pengungsian Rohingya adalah dengan menyelesaikan akar masalahnya, yaitu krisis politik di Myanmar.

"Posisi Indonesia, yang harus diselesaikan adalah akar masalahnya, yaitu konflik di Myanmar. Indonesia akan melakukan semua kemampuan untuk membantu agar konfliknya dapat selesai dan demokrasi segera dipulihkan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lalu Muhamad Iqbal, pada 12 Desember 2023.

Terakhir, sebagaimana perintah Presiden Jokowi, kementerian akan fokus untuk menumpas tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan penjualan manusia yang mengorbankan etnis Rohingya.

“Fokus kami memberantas tindak pidana perdagangan orang dari Bangladesh ke Aceh. Kedua, menagih tanggung jawab pihak-pihak Konvensi Pengungsi, karena justru merekalah yang menolak kedatangan Rohingya,” kata Iqbal.

"Indonesia sebagai pihak dalam konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional memiliki kewajiban internasional untuk memberantas perdagangan manusia. Indonesia juga berkomitmen mengatasi pelaku perdagangan manusia dalam pegerakan pengungsi Rohingya," lanjutnya.

Baca Juga: Ratusan Pengungsi Rohingya Diusir, Mahfud Singgung Tsunami Aceh 2004

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya