Presiden Filipina Duterte: Bunuh Pemberontak Komunis, Abaikan HAM!

"Saya siap dipenjara," kata Duterte

Jakarta, IDN Times - Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan polisi dan militer untuk menghabisi dan membunuh semua pemberontak komunis. Aksi itu dikecam karena kekhawatiran yang dapat memicu gelombang baru pertumpahan darah serupa dengan perang melawan narkotika, yang pada akhirnya turut merenggut nyawa warga sipil.

"Saya telah memberi tahu militer dan polisi, jika mereka terlibat dalam pertempuran dengan pemberontak komunis, bunuh mereka, pastikan Anda benar-benar membunuh mereka, dan menghabisi mereka jika mereka masih hidup," kata Duterte, sebagaimana dilansir Al Jazeera.

“Lupakan hak asasi manusia (HAM). Itu pesan saya. Saya bersedia masuk penjara, itu tidak masalah,” tambah dia, berbicara dengan bahasa asli Visayan yang biasa digunakan di selatan Mindanao.  

Baca Juga: Filipina Punya Undang-Undang untuk Sejahterakan PRT

1. Duterte menilai ideologi komunis harusnya sudah mati

Presiden Filipina Duterte: Bunuh Pemberontak Komunis, Abaikan HAM!Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Wisnu Widiantoro)

Menurut Duterte, ideologi komunis tidak sepatutnya eksis di era kontemporer seperti ini. Oleh sebab itu, dia menyebut sekelompok orang dengan ideologi komunis tidak lebih dari segerombolan bandit.

“Anda tidak punya ideologi. Bahkan China dan Rusia sekarang semuanya kapitalis,” kata dia.

Presiden berusia 75 tahun itu meminta, ketika aparat telah membunuh siapapun yang diduga berafiliasi dengan komunis, jenazah mereka dikembalikan kepada keluarganya masing-masing. Dia juga memberi kesempatan kepada pemberontak komunis untuk menyerahkan diri, seraya berjanji memberi pekerjaan dan tempat tinggal jika mereka menyerahkan senjatanya.

2. Perang melawan pemberontak komunis sejak 1968

Presiden Filipina Duterte: Bunuh Pemberontak Komunis, Abaikan HAM!Ilustrasi pemberontak (twitter.com/Nigeria Newspaper Online)

Sebagai informasi, pemerintah Filipina telah melawan pemberontak komunis sejak 1968, menjadikannya sebagai pemberontak beraliran Maoisme tertua di dunia. Militer mengklaim, kelompok tersebut telah menewaskan lebih dari 30 ribu nyawa selama 53 tahun terakhir.

Beberapa presiden telah berusaha memberangusnya, tetapi gagal mencapai kesepakatan damai dengan para pemberontak yang dipimpin oleh Jose Maria Sison, saat ini mengasingkan diri ke Belanda.

Pada 2016, ketika mencalonkan diri sebagai presiden, Duterte berjanji untuk mengakhiri pemberontakan melalui pembicaraan damai. Duterte memiliki hubungan yang baik dengan komandan pemberontak ketika dia menjabat walikota Kota Davao di Mindanao, tempat pemberontakan komunis masih aktif.

"Anda telah berjuang dalam 53 tahun terakhir dan sekarang, saya sudah memiliki cicit dan Anda masih berjuang. Anda ingin menggulingkan pemerintah? Kamu bahkan tidak punya perahu," kata Duterte, seolah tidak mengerti apa yang masih diperjuangkan oleh para pemberontak.

Baca Juga: Duterte: Dosaku Hanya Soal Pembunuhan Ekstra Yudisial

3. Duterte menyebut kelompok komunis sebagai teroris

Presiden Filipina Duterte: Bunuh Pemberontak Komunis, Abaikan HAM!Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (Website/ibtimes.co.uk)

Setelah menjabat presiden, Duterte memerintahkan pembicaraan langsung dengan komunis, hanya untuk gencatan senjata sesaat. Kemudian, pada 2017, bentrokan sengit antara antara aparat dengan pemberontak terjadi. Sejak saat itu pula Duterte menandatangani proklamasi yang menyebut para pejuang komunis sebagai teroris.

Konsekuensi dari pelabelan tersebut adalah pembentukan pasukan khusus untuk melawan pemberontak komunis pada 2018. Mereka bahkan diizinkan menembak perempuan pada alat kelaminnya. Hadiah menanti bagi setiap aparat yang berhasil membunuh pemberontak.

Namun, para aktivis HAM mengatakan, pasukan khusus itu juga dikerahkan untuk melawan politisi berhaluan kiri arus dan kritikus Duterte lainnya. Jajaran Duterte mulai mengkategorikan kritikus keras pemerintah sebagai penganut komunis, termasuk akademisi, jurnalis, dan para aktivis.

Aksi ini dikhawatirkan memicu extrajudicial killing seperti perang melawan narkotika, yang menewaskan antara 6 ribu-27 ribu orang, termasuk warga sipil yang sama sekali tidak terkait dengan obat-obatan.

Baca Juga: Bila Vaksin Rusia Dinyatakan Aman, Duterte Siap Imunisasi Mei 2021

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya