Sidang Majelis Umum ke-78 PBB Dibuka, Delegasi Indonesia Kenakan Batik
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
New York, IDN Times – Sidang Majelis Umum ke-78 Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) resmi dibuka pada Selasa (20/9/2023). Perwakilan Tetap Trinidad and Tobago di PBB, Dennis Francis, terpilih sebagai Presiden SMU PBB 2023.
Seperti tradisi yang sudah berjalan, SMU PBB dibuka pada Selasa pekan ketiga September. Sekjen PBB mendapat kesempatan untuk menyampaikan pidato pertamanya, kemudian Presiden SMU PBB.
Adapun negara yang mendapat kesempatan pertama untuk memberikan pidato adalah Brasil, setelah itu Amerika Serikat (AS), kemudian negara-negara lain yang diubah urutan setiap tahunnya.
1. Delegasi Indonesia yang hadir
Delegasi Indonesia pada rangkaian High Level Week di New York dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Semua delegasi Indonesia mengenakan pakaian batik.
Selain Retno, di antara delegasi Indonesia yang hadir di ruang sidang adalah Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York, Arrmanatha Nasir dan Dirjen Kerja Sama Multilateral Tri Tharyat.
Retno akan menyampaikan pidatonya di SMU ke-78 PBB pada Sabtu (23/9/2023) siang waktu New York.
Baca Juga: Menlu Retno: Hapus Kesenjangan Kunci Penting Wujudkan SDGs
2. PBB sebut sistem internasional ketinggalan zaman
Pada pidato pembukaan, Guterres mengatakan bahwa dunia harus bersatu melawan tantangan global. Dia juga mendorong reformasi sistem multilateralisme atau organisasi internasional agar relevan dengan tuntutan zaman.
“Kita semua mempunyai instrumen dan sumber daya untuk menyelesaikan serta berbagi tantangan. Apa yang kita butuhkan adalah tekad yang bulat,” kata Guterres.
“Tekad yang bulat untuk menghentikan perang, tekad yang bulat untuk mendukung penegakan hak asasi manusia, dan tekad yang bulat untuk menjunjung keadilan serta penghormatan terhadap hukum internasional,” tambahnya.
3. Indonesia dukung gagasan reformasi PBB
Sebelumnya, pada SDG Summit 2023, Retno juga mengatakan bahwa tatanan dunia saat ini sangat merugikan negara berkembang. Di sisi lain, negara adikuasa seolah tidak mendukung negara berkembang untuk meningkatkan derajatnya.
“Tatanan global yang ada saat ini tidak mampu memberi kesempatan yang sama bagi negara- negara Selatan. Kita tidak punya pilihan selain menciptakan lingkungan yang kondusif, di mana negara berkembang dapat tumbuh dan melakukan lompatan pembangunan,” kata Retno.
Baca Juga: Indonesia, Ujung Tombak Wujudkan SDGs di Asia Tenggara