Indonesia, Ujung Tombak Wujudkan SDGs di Asia Tenggara

Sisa 7 tahun untuk merampungkan target SDGs pada 2030

New York, IDN Times – Sidang Majelis Umum ke-78 Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) akan menjadi ajang pembuktian Indonesia untuk menunjukkan tajinya di kancah global. Posisi Indonesia pun tidak bisa dipandang sebeluh mata, setelah sukses menjadi Presiden G20 dan Ketua ASEAN 2023.

Di sisi lain, Indonesia juga memainkan peran penting sebagai “representasi” negara berkembang atau Global South, yang mengharapkan paradigma baru bagi tatanan internasional.

Harus diakui, dinamika gobal saat ini menempatkan negara berkembang sebagai entitas yang tertindas. Sementara itu, multilateralisme yang diharapkan bisa menjadi “penengah” kesenjangan, nyatanya belum bisa keluar dari kungkungan negara adikuasa.

“Tatanan global yang ada saat ini tidak mampu memberi kesempatan yang sama bagi negara-negara Selatan,” kata Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, di Sustainable Development Goals (SDG) Summit 2023 di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat (AS), Senin (18/9/2023).

“Kita tidak punya pilihan selain menciptakan lingkungan yang kondusif, di mana negara berkembang dapat tumbuh dan melakukan lompatan pembangunan,” tambah Retno.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1. Tren buruk SDGs global

Indonesia, Ujung Tombak Wujudkan SDGs di Asia TenggaraIlustrasi Sidang Majelis Umum PBB (IDN Times/Vanny El Rahman)

SDG Summit 2023, yang digelar pada Senin-Selasa (18-19/9/2023), menjadi kegiatan pembuka dari High Level Week atau rangkaian kegiatan para pemimpin negara di PBB, termasuk juga Sidang Majelis Umum.

Fokus kepada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, padanan untuk SDGs, tidak lepas dari tantangan global yang kian meresahkan umat manusia. Dampak dari pandemik COVID-19, perang Rusia-Ukraina, krisis iklim dan pangan, hingga menurunnya kepercayaan terhadap lembaga internasional semakin menghambat pencapaian SDGs yang ditargetkan terealisasi pada 2030.

Kendati masih 7 tahun tersisa, SDGs yang disepakati sebagai tujuan bersama sejak 2012 belum juga menunjukkan pencapaian signifikan. Laporan terbaru PBB memperlihatkan bahwa hanya 12 persen dari target SDGs global yang on-track, 50 persen kemajuannya lambat, 30 persen stagnan atau bahkan mengalami kemunduran.

Selain itu, kondisi kelaparaan saat ini merupakan yang tertinggi sejak 2005. Mirisnya lagi, dibutuhkan 286 tahun untuk menutup gender gap. Ujung dari semua itu adalah negara berkembang yang menjadi korban.

“Sepertiga negara berkembang alami krisis utang, sementara komitmen bantuan dari negara maju ke negara berkembang tidak terealisasi, misalnya komitmen bantuan 100 miliar dolar AS per tahun untuk atasi krisis iklim. Negara berkembang merasakan dampak yang paling parah,” kata Retno saat briefing media di kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia di PBB (PTR) New York, pada Senin (18/9/2023).

Baca Juga: Menlu Retno: Hapus Kesenjangan Kunci Penting Wujudkan SDGs

2. SDG Summit buka rangkaian SMU ke-78 PBB

Indonesia, Ujung Tombak Wujudkan SDGs di Asia TenggaraMenlu RI Retno Marsudi dalam media briefing di Kantor PTRI PBB di New York (IDN Times/Vanny El Rahman)

Sekjen PBB, Antonio Guterres, mengusulkan pembentukan global rescue dengan anggaran 500 miliar dolar AS per tahun guna mewujudkan SDGs sesuai target. Secara khusus, dia menyoroti enam area yang perlu mendapat perhatian khusus, yaitu kelaparan, transisi energi, digitalisasi, pendidikan, pekerjaan layak dan pelindungan sosial serta penghentian perang.

Kebutuhan terhadap dana itulah yang menjadikan SDG Summit 2023 terbagi menjadi dua klaster, yaitu klaster mobilisasi dan klaster akselerasi. Adapun klaster pertama fokus pada mobilisasi sumber daya yang ada demi mengimplementasikan SDGs. Sementara, klaster kedua fokus pada menggalang dana serta mencari cara untuk mengejar SDGs di waktu yang tersisa.

Komitmen terhadap SGDs juga dikukuhkan dalam tema SMU ke-78 PBB, yaitu Rebuilding trust and reigniting global solidarity: Accelerating action on the 2030 Agenda and its Sustainable Development Goals towards peace, prosperity, progress and the sustainability for all.

SDG Summit merupakan pertemuan resmi PBB yang diselenggarakan setiap empat tahun pada tingkat Kepala Negara/Pemerintahan untuk meninjau kemajuan dan tantangan dalam implementasi Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pertemuan juga dilakukan untuk menggalang komitmen dan aksi global dalam mempercepat pencapaian SDGs.

SDGs sendiri merupakan pembaharuan dari Millennium Development Goals (MDGs), yang diadopsi pada September 2000. Tujuan besar dari MDGs adalah menggalang kolaborasi untuk mengentaskan kemiskinan global. Lantaran pencapaian SDGs yang jauh dari harapan, belum dapat dipastikan menjelang 2030 nanti, apakah akan dibentuk semacam komitmen bersama yang baru.

“Untuk saat ini fokusnya masih pada mengoptimalkan sumber daya yang ada,” kata Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Tri Tharyat.

3. Catatan positif SDGs di Indonesia

Indonesia, Ujung Tombak Wujudkan SDGs di Asia TenggaraMenlu RI Retno Marsudi di SDGs Summit 2023 (IDN Times/Vanny El Rahman)

Sementara itu, Indonesia memiliki catatan positif seputar pencapaian SDGs di dalam negeri. Berdasarkan data Bappenas, 63 persen indikator SDGs mencapai target dan 15 persen menunjukkan tren membaik. Jika diakumulasi, maka 78 persen indikator SDGs telah tercapai dan punya tren membaik.

“Masih ada 22 persen yang perlu perhatian khusus,” kata Retno.

Menurut Tri, banyak negara mengapresiasi Kartu Prakerja sebagai jaring pengaman sosial dan platform untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Alhasil, di tengah krisis pandemik COVID-19, Indonesia dinilai tidak mengalami kemunduran signifikan dalam mengejar target SDGs 2030.

“Kartu Prakerja menarik perhatian negara lain untuk ditiru dan dipelajari. Banyak juga yang tertarik karena Kartu Prakerja praktiknya tidak hanya melibatkan pemerintah, tapi juga tapi juga lembaga sosial masyarakat (LSM), yayasan, dan kelompok masyarakat yang sangat memberikan kontribusi positif,” ungkap Tri.

Sayangnya, torehan positif Indonesia tidak selaras dengan capaian SDGs kawasan. Menurut laporan United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) pada 2023, progres SDGs di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara baru mencapai 14,4 persen. Bahkan, diperkirakan 90 persen target SDGs tidak bisa tercapai pada 2030 dan perlu 42 tahun lagi untuk mencapai SDGs.

Bertolak dari kondisi tersebut, Retno mengutarakan keinginannya untuk “mengawinkan” SDGs dengan Visi Komunitas ASEAN 2025 dan 2045. Retno, sebagai Ketua ASEAN 2023, menegaskan bahwa negara Asia Tenggara berkomitmen merealisasikan SDGs di kawasan.

Hanya saja, tantangan pertama yang akan dihadapi ASEAN adalah kesenjangan antara negara anggota. Retno berharap program Initiative for ASEAN Integration dapat memperkecil kesenjangan di kawasan, khususnya bagi negara Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam.

Pada saat yang sama, Retno berharap negara-negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara, mendapat kesempatan untuk menggalakkan pembangunan dan hilirisasi industri. Seruan itu tidak lepas dari fakta bahwa kebanyakan negara berkembang hanya menjual raw material, yang kemudian produk olahannya masuk kembali ke negara berkembang dengan harga lebih mahal.

Pada konteks itu, ASEAN siap menjadikan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) sebagai nilai tawar. Sebab, Nikel yang merupakan komponen dasar EV adalah “harta karun” di Asia Tenggara. Indonesia diketahui memiliki 26 persen cadangan nikel dunia. Ada juga Filipina yang masuk dalam lima besar cadangan nikel dunia.

“Dan sebagai Ketua ASEAN, Indonesia mendorong ASEAN sebagai hub kawasan untuk EV dan berperan dalam rantai pasok global, serta mendorong pembangunan hijau untuk menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai epicentrum of growth,” kata Retno.

Baca Juga: Menlu Retno: Kita Sudah Keluar Jalur untuk Wujudkan SDGs 2030

Topik:

  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya