TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Tak Lekang Intimidasi Terhadap Media 

Tak hanya Edy Rahmayadi yang minta jurnalis harus baik

IDN Times/Gregorius Aryodamar

Peristiwa Capres Prabowo Subianto menolak diinterview jurnalis maupun mengkritik jurnalis secara terbuka bukanlah sesuatu yang baru, bahkan mengkonfirmasi keputusan tim kampanye Prabowo-Sandi secara resmi memboikot wawancara Metro TV sejak 22 November 2018.

Diboikotnya media hingga intimidasi secara oral adalah warna-warni dalam sejarah politik dan pers di Indonesia pasca reformasi. Ini bukan kali pertama menimpa media. Bahkan tidak hanya satu media. Sesuatu yang tidak mengejutkan dan rupanya jadi tradisi sejak masa Soekarno.

Saya mencatat bukan kali ini saja, tindakan menolak media dilakukan tim Prabowo Subianto. Setahun lalu, pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang didukung Gerindra pun memilih absen pada acara debat di program Rosi di Kompas TV.

Sebelumnya, dalam rangkaian Pemilu 2014, Prabowo Subianto sebagai calon presiden juga melakukan boikot terhadap Jakarta Post. Saat itu, di depan para jurnalis yang mengikuti sesi tanya jawab dia menolak menjawab pertanyaan seorang jurnalis Jakarta Post yang ditudingnya tidak berimbang.

Meski demikian, sikap Prabowo saat itu masih lebih halus dibandingkan tindakan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini pada 2013, yang memaki-maki wartawan Jawa Pos. Alasannya, Bu Risma tidak puas dengan isi berita yang ditulis.

Gayung bersambut, dua hari kemudian, puluhan wartawan media cetak dan elektronik menggelar unjuk rasa di depan gedung DPRD Surabaya. Saat itu, Risma yang biasa garang pun kecut dan memilih tak menemui para jurnalis yang murka. 

Tak hanya Prabowo yang pernah melontarkan ancaman boikot terhadap media, Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) pun melakukan hal serupa terhadap jurnalis Arah.com yang saat itu bertanya perihal kabar tudingan adanya aliran uang Rp30 miliar dari pengembang ke Teman Ahok.

Saat itu, Ahok tak hanya memarahi jurnalis namun mengancam akan melarang sang jurnalis kembali meliput di Balaikota DKI alias mengenakan boikot atau melayani kerja jurnalis dalam bekerja yakni mencari informasi.

Boikot sudah terjadi sejak masa Soekarno

Dok. Pribadi

Boikot berasal dari nama Kapten Charles Cunningham Boycott, seorang kaki-tangan Lord Erne, tuan tanah di wilayah Mayo, daratan Irlandia yang dikuasai Inggris. Seorang petani bernama James Redpath atas petunjuk pastor John O’Malley melakukan mogok kerja memprotes harga sewa dan pencaplokan lahan.

Akibat tindakan ini Pak Boycott dan keluarganya harus berjuang sendiri mulai dari mengurus sapi hingga mengurus ladang. Tak hanya itu, warga hingga pekerja kantor pos pun menolak melayani Boycott dan keluarganya alias dikucilkan. Kasus ini pun terdengar ke seluruh penjuru Inggris.

Kemerdekaan Indonesia pun tak dapat dilepaskan dari aksi boikot. Alkisah pada September 1945, para pekerja pelabuhan kapal yang digerakkan Partai Komunis Australia, menolak melayani kapal-kapal berbendera Belanda. Peristiwa itu dikenang sebagai Black Armada dan dibukukan oleh Rupert Lockwood.

Hal menarik, rupanya memboikot maupun mengintimidasi media sudah menjadi habitus politisi bahkan aparatus di Indonesia. Masa Soekarno mencatatkan harian Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Loebis sebagai media pemilik rekor dibreidel. Lima kali media tersebut dipaksa tutup cetak oleh rezim Orde Lama.

Bagaimana di masa Soeharto? Sudahlah, apalagi yang mau dibahas di masa rezim Orde Baru itu. Pada masa Orba terdapat dua peraturan yang saling bertentangan yakni Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No.01/PER/MENPEN/1984 dengan UU No.21/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Nasional. Jika Permenpen mendukung beridel, sebaliknya UU Pers melarang pemberangusan.

Salah satu pengusaha media massa yang merasakan kejamnya tangan besi Orba adalah Surya Paloh, pemilik harian Prioritas yang terbit pada Maret 1986. Tak berbeda dengan harian Media Indonesia, pemberitaan Prioritas garang tak segan mengkritik pemerintah.

Hasilnya pun sukses, jelang Pemilu 1987, lewat putusan Menteri Harmoko pada 29 Juni 1987 harian Prioritas pun tutup buku karena Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dibatalkan. Paloh melawan dan mengajukan Judicial Review Permenpen ke Mahkamah Agung pada 1992, namun ditolak.

Baca Juga: Sindiran Prabowo ke Wartawan Telah Memasuki 'Ronde Kelima'

Writer

Algooth Putranto Magenda

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya