Membela Politik Muda
Yang muda harus semangat, yang tua beristirahat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Oleh: Usep Hasan Sadikin*
Keterlibatan kaum muda berpolitik biasanya dipandang sebelah mata. Kaum tua menilai pemuda belum banyak pengalaman, belum mapan secara ekonomi, dan masih dalam pencarian jati diri sehingga labil. Pandangan sebelah mata ini menyertakan gambaran politik yang amat kompleks, tak jelas, bahkan cenderung buruk, sehingga pemuda tak akan mampu aktif berpolitik.
Kesimpulannya, selama ini pemuda hanya dijadikan objek pendulang suara kaum tua di kontestasi pemilu. Partisipasi memilih pemuda tak berdampak pengabulan aspirasi muda oleh pemerintahan terpilih. Pendidikan tinggi semakin mahal tapi kurang kualitas. Ruang publik terbuka dan kebebasan berekspresi semakin sempit. Tapi pemuda di setiap pemilu tetap memilih tanpa ruang partisipasi pencalonan dan keterpilihan berarti.
1. Belajar dari feminisme
Pemuda bisa belajar dari gerakan perempuan. Afirmasi perempuan di pemilu ada dan cukup berhasil diterapkan beserta kemajuan capaian representasi. Hal itu bisa dilihat dari persentase minimal dalam keanggotaan partai, pencalonan legislator, bahkan kuota kursi di parlemen.
Abad ke-19 merupakan masa awal gerakan perempuan (feminisme) terlibat di pemilu. Sebelumnya, perempuan tak dilibatkan sama sekali dalam pesta demokrasi. Padahal perempuan merupakan setengah dari total warga negara. Pergerakan perempuan di Eropa dan Amerika Serikat dimulai dengan memperjuangkan hak perempuan dalam bentuk hak pilih di pemilu.
Lalu berkembang menuntut keterwakilan perempuan di parlemen melalui pencalonan di pemilu. Feminis sadar, kebijakan tentang kesetaraan hak tak bisa dicapai hanya menggerakkan banyak perempuan ke tempat pemungutan suara atau TPS. Tubuh bervagina juga perlu dihadirkan di pencalonan pemilu untuk masuk ke parlemen sehingga kebijakan kesetaraan bisa dihasilkan.
Verdhi Adhanta pada Jurnal Perempuan 46 melaporkan telaah referensi gender dan politik (Community Agency of Social Enquiry, Debbie Budlender). Disimpulkan, eksistensi perempuan menyertai perspektif feminisme memang signifikan menghasilkan kebijakan sensitif gender.
Pada 1984, Australia menjadi negara pertama yang menerapkan audit gender terhadap anggaran nasional yang dilakukan feminis Partai Buruh. Pada 1997 sampai 2000, di Kanada, Bangladesh, Brasil, dan Vietnam, organisasi perempuan yang terhubung ke partai politik bisa mendorong aturan dan anggaran sensitif gender yang diintegrasikan pada semua lembaga pemerintahan.
Di Indonesia kebijakan mendukung keadilan perempuan dihasilkan anggota dewan perempuan berperspektif feminis. Parlemen 2004-2009 dengan sistem pemilu yang memprioritaskan caleg perempuan berkualitas, menghasilkan undang-undang KDRT, anti-trafficking, pembelaan buruh migran, perlindungan saksi/korban, juga status kewarganegaraan perempuan dan anak.