Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kepemimpinan Empatik ala Jacinda Ardern: Ketika Empati Jadi Kekuatan

Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru (dok. orfonline.com)

Apakah Anda masih ingat peristiwa penembakan di sebuah masjid di Selandia Baru?

Tragedi itu terjadi pada 15 Maret 2019. Dua masjid di Christchurch menjadi saksi bisu kebrutalan yang merenggut 51 nyawa. Dunia berduka. Dalam kegelapan itu, seorang pemimpin wanita muda muncul dengan pendekatan yang berbeda dari kebanyakan pemimpin lainnya. Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru, menghadapi tragedi itu dengan empati mendalam dan langkah nyata yang tak terbantahkan.

Hanya beberapa jam setelah kejadian, Ardern berdiri di depan publik. Ia tidak menggunakan pidato penuh retorika, melainkan berbicara dengan kesedihan yang tulus. "They are us," ujarnya. Pesan ini sederhana namun mengguncang dunia. Ardern memahami bahwa di tengah tragedi, rakyat membutuhkan pemimpin yang merasakan penderitaan mereka.

Ardern tak berhenti di kata-kata. Dia segera bertemu dengan komunitas Muslim, mengenakan hijab sebagai simbol penghormatan. Ia mendengarkan langsung keluhan dan kesedihan mereka. Tidak lama kemudian, pemerintah Selandia Baru mengumumkan reformasi besar pada undang-undang senjata api. Senjata semi-otomatis dan senjata serbu dilarang di seluruh negeri. Reformasi itu tidak tertunda oleh birokrasi, karena Ardern tahu bahwa kecepatan adalah kunci untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Jacinda Ardern mengajarkan kepada dunia bahwa empati bukanlah kelemahan. Dalam krisis, empati justru bisa menjadi kekuatan yang menyatukan bangsa. Saat banyak pemimpin di dunia terjebak dalam prosedur yang kaku, Ardern bergerak dengan kepekaan yang luar biasa. Rakyat Selandia Baru tidak merasa sendirian dalam duka mereka. Mereka melihat sosok pemimpin yang hadir di tengah mereka, memberikan pelukan, dan mengambil tindakan nyata demi keselamatan mereka.

Pandangan ini sejalan dengan teori komunikasi krisis yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs. Dalam situasi genting, pemimpin yang mampu menyampaikan empati, bertindak cepat, dan berbicara secara transparan akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan publik. Rakyat perlu merasa bahwa pemimpin mereka benar-benar mendengarkan dan mengutamakan kepentingan mereka.

Namun, bagaimana dengan pemimpin di negara kita? Di Indonesia, berbagai krisis seperti kelangkaan gas elpiji dan rencana kenaikan pajak 12 persen menunjukkan betapa seringnya kebijakan tidak mencerminkan kepekaan terhadap kondisi rakyat. Dalam kasus kelangkaan gas, banyak keluarga kecil yang kesulitan memenuhi kebutuhan energi rumah tangga karena ketersediaan gas tiba-tiba terganggu. Sementara itu, rencana kenaikan pajak yang dinilai mencekik rakyat kecil akhirnya harus direvisi setelah mendapatkan protes luas. 

Tetapi pertanyaannya tetap sama: mengapa kebijakan seperti ini tidak didesain dengan mendengarkan rakyat sejak awal?

Krisis lain yang merugikan masyarakat adalah pematokan pagar laut di wilayah pesisir. Kebijakan ini, yang awalnya bertujuan untuk melindungi investasi, justru menutup akses nelayan kecil terhadap laut, yang merupakan sumber utama penghidupan mereka. Kebijakan-kebijakan seperti ini memperlihatkan betapa seringnya pengambil keputusan gagal memahami realitas di lapangan.

Alih-alih menunjukkan kepekaan sosial, respons pejabat sering kali terkesan formal dan berjarak. Ini memperdalam jurang kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. Di tengah situasi sulit, rakyat berharap pemimpin mereka hadir secara langsung untuk mendengar dan menanggapi keluhan, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan dari balik meja birokrasi.

Kini, kita memiliki harapan besar pada Prabowo Subianto. Sebagai salah satu tokoh penting dalam pemerintahan, Prabowo mulai menunjukkan langkah-langkah merevisi kebijakan yang tidak pro-rakyat, seperti rencana kenaikan pajak dan masalah distribusi gas elpiji. Namun, revisi saja tidak cukup. Membangun pendekatan kepemimpinan yang lebih mendengarkan sejak awal menjadi lebih penting.

Prabowo memiliki kesempatan besar untuk menjadi pemimpin yang lebih dekat dengan rakyat. Ia bisa belajar dari Jacinda Ardern, yang tidak hanya berbicara soal visi besar, tetapi juga hadir di tengah masyarakat, memahami penderitaan mereka, dan mengambil keputusan yang cepat serta tepat sasaran.

Kepemimpinan seperti ini sangat diperlukan di tengah dunia yang penuh gejolak dan polarisasi. Jacinda Ardern telah membuktikan bahwa empati dalam kepemimpinan mampu membawa perubahan besar. Masyarakat Indonesia berharap Prabowo dapat menghadirkan model kepemimpinan yang lebih manusiawi, yang tidak hanya berbicara soal kekuasaan, tetapi juga memberikan ruang bagi keadilan sosial.

Empati adalah kekuatan yang mampu menyatukan bangsa. Apakah Prabowo siap menjadi pemimpin yang membawa kekuatan itu ke dalam pemerintahan?

Oleh Jojo S. Nugroho, CEO Imajin PR & Research, Dosen Humas Universitas Indonesia

(WEB)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Cynthia Kirana Dewi
Evan Yulian
Cynthia Kirana Dewi
EditorCynthia Kirana Dewi
Follow Us