Di tengah riuhnya pidato-pidato pembangunan yang menggema dari ruang parlemen hingga ladang-ladang yang retak oleh musim panjang, kita diajak kembali menelusuri jejak pemikiran seorang bapak bangsa yang tak hanya memerdekakan wilayah, tetapi juga merumuskan arah jiwa bangsa: Bung Karno. Dalam konsepsi Trisakti—berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan—terkandung kerangka revolusi yang tak kunjung selesai. Salah satu anak tangga penting dari gagasan ini adalah tentang pangan, bukan semata sebagai komoditas, melainkan sebagai medan ideologis, tempat perebutan makna antara "ketahanan" dan "kedaulatan".
Menyingkap Batas antara Ketahanan dan Kedaulatan Pangan

Intinya sih...
- Tanah adalah rahim peradaban dan pangan adalah denyut jantungnya.
- Ketahanan pangan vs kedaulatan pangan: konsekuensi filsafati dan politis yang tak identik.
- Bangkitkan lumbung kolektif, reforma agraria, sistem benih lokal, koperasi, dan kurikulum pangan di sekolah.
Mengorek dua kata: Ketahanan dan Kedaulatan
Seringkali kedua istilah ini dipakai bergantian, seolah-olah sinonim. Namun, seperti dua jalur yang beriringan tetapi menuju horizon berbeda, "ketahanan pangan" dan "kedaulatan pangan" membawa konsekuensi filsafati dan politis yang tak identik.
Ketahanan pangan, dalam definisi formal FAO, adalah situasi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Namun konsep ini, terutama dalam praktik pembangunan, cenderung teknokratis—soal kecukupan kalori, sistem distribusi, dan angka statistik. Ia menempatkan negara sebagai penyedia, pasar sebagai pengatur, dan rakyat sebagai penerima manfaat. Maka, ketika harga beras turun akibat impor besar-besaran demi “ketahanan pangan”, petani lokal pun ditinggalkan dalam sunyi.
Sementara itu, kedaulatan pangan menggemakan semangat yang berbeda. Ia adalah hak setiap bangsa, setiap petani, untuk menentukan sistem pangan sendiri—berbasis budaya, ekosistem lokal, dan produksi mandiri. Di sinilah terasa gema Trisakti: bahwa ekonomi bukan sekadar pertumbuhan angka, tapi pembebasan manusia dari belenggu ketergantungan. Dalam kedaulatan pangan, petani bukan hanya penggarap, tetapi subjek politik. Mereka tak hanya menanam padi, tetapi juga menanam harapan dan pilihan merdeka. Dalam hal ini pangan disediakan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Mari kita bayangkan: seorang petani tua di kaki Gunung Sumbing menatap lahan yang dahulu diwariskan ayahnya. Kini, ia menanam benih dari perusahaan asing karena benih lokal telah "tidak legal". Di pasar desa, beras dari Vietnam bersaing dengan gabah yang ditanam anaknya sendiri. Di sekolah pertanian, mahasiswa diajari teknologi terbaru, tetapi tidak diajak berdiskusi tentang kedaulatan benih dan hak agraria.
Di sinilah kita melihat bahwa pangan bukan sekadar urusan logistik. Ia adalah arena konflik antara modal dan kearifan lokal, antara negara dan rakyatnya, antara ideologi globalisasi dan semangat berdikari. Dalam konteks Trisakti, ketahanan pangan yang hanya mengejar kuantitas tanpa menyoal sumber produksi, struktur kepemilikan lahan, dan kebijakan perdagangan, justru menjauhkan kita dari kedaulatan.
Kita bertanya: apakah bangsa ini bisa disebut berdikari bila nasib pangan ditentukan oleh harga impor, subsidi pupuk yang tak merata, dan lisensi benih yang dikendalikan lima konglomerasi global?
Trisakti: Jalan menuju pangan merdeka
Dalam pidato-pidato Bung Karno, kita menemukan kerinduan pada bangsa yang "berdiri di atas kaki sendiri". Itu bukan retorika kosong, melainkan seruan untuk membangun sistem yang berakar dari tanah dan budaya kita sendiri. Dalam konteks pangan, itu berarti:
Mengembalikan lahan kepada rakyat — Reforma agraria bukan hanya program legalitas tanah, tapi juga perjuangan menghadirkan keadilan struktural di pedesaan.
Menguatkan sistem benih lokal — Benih adalah warisan budaya, bukan sekadar input pertanian. Menyimpan, menukar, dan mengembangkan benih adalah praktik demokrasi pangan.
Membangun koperasi dan ekonomi rakyat — Distribusi pangan tidak boleh dikendalikan segelintir tangan. Pasar harus menjadi arena saling percaya, bukan instrumen monopoli.
Menyusun kurikulum pangan di sekolah dan universitas — Anak-anak muda perlu diajak berpikir kritis tentang makanan, tanah, dan ekosistem. Pendidikan adalah fondasi kedaulatan.
Di banyak desa, kita masih bisa menemukan lumbung-lumbung tua yang sunyi. Dulu, mereka bukan hanya tempat menyimpan padi, tapi juga simbol kedaulatan kolektif. Petani menabung hasil panennya untuk musim paceklik. Komunalitas menjadi perisai dari krisis. Namun kini, lumbung diganti oleh gudang distributor. Relasi diganti transaksi.
Kembali ke Trisakti berarti membangkitkan kembali lumbung-lumbung itu—baik secara fisik maupun secara ideologis. Membangun ketahanan pangan tanpa kedaulatan sama dengan membangun rumah tanpa pondasi. Bisa tampak kokoh, tapi rapuh diterpa gejolak pasar global.
Menutup jalan lupa
Hari ini, ketika dunia menghadapi ancaman krisis iklim, konflik geopolitik, dan ketimpangan pangan yang makin tajam, konsep Trisakti Bung Karno menjadi lebih relevan dari sebelumnya. Ia bukan sekadar doktrin lama, melainkan kompas moral dan politis untuk bangsa yang ingin mandiri tanpa menjadi tertutup, terbuka tanpa menjadi tunduk.
Perbedaan antara ketahanan dan kedaulatan pangan bukan sekadar permainan istilah, tetapi pertarungan arah masa depan. Ketahanan bisa dibeli, tetapi kedaulatan harus diperjuangkan. Dan perjuangan itu dimulai dari kesadaran: bahwa sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa memberi makan rakyatnya dari tangan dan tanahnya sendiri.
Dalam secangkir kopi yang diseduh petani dari Manggarai, dalam sejumput garam dari pesisir Madura, dalam nasi merah dari lereng Merapi—tersimpan potensi kedaulatan yang belum selesai. Maka, mari kita baca kembali Trisakti bukan sebagai warisan, tapi sebagai panggilan.
“Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” ujar Bung Karno. Tapi lebih dari itu, jangan sekali-kali melupakan bahwa tanah tempat kita berpijak adalah rahim peradaban. Dan pangan—adalah denyut jantungnya.