Bagi sebagian orang, kalimat “agama adalah candu” terdengar seperti tuduhan keras, bahkan bisa dianggap menghina keyakinan. Namun, di balik pernyataan itu terdapat refleksi mendalam tentang relasi manusia dengan sistem kepercayaan yang mereka anut. Dalam sejarah pemikiran Indonesia, kalimat ini menjadi simbol perdebatan antara iman, rasionalitas, dan kekuasaan. Tan Malaka, salah satu pemikir paling berani di masa kolonial, dalam salah satu karyanya berjudul Madilog, pernah mengucapkan kalimat ini bukan untuk menolak agama, melainkan untuk mengkritik cara agama digunakan dalam sistem sosial yang tidak adil.
Kata “candu” dalam konteks ini sejatinya adalah metafora (pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya). Ia tidak berbicara soal iman atau spiritualitas, melainkan tentang bagaimana ajaran agama yang seharusnya menuntun justru bisa membuat manusia berhenti berpikir kritis. Banyak orang mengikuti dogma tanpa pernah bertanya, apakah yang dilakukan benar-benar membawa mereka pada kebaikan atau justru menjauhkan dari kemanusiaan itu sendiri. Dari sinilah lahir perdebatan panjang tentang posisi agama dalam kehidupan modern: apakah agama masih menjadi cahaya, atau perlahan berubah menjadi candu yang meninabobokan kesadaran sosial? Berikut penjelasan lebih lanjut yang bisa membantu kamu memahami makna dan konteks di balik kalimat “agama adalah candu.”
