Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Taylor Swift dan White Feminism

Taylor Swift untuk album The Life of a Showgirl
Taylor Swift untuk album The Life of a Showgirl (instagram.com/taylorswift)
Intinya sih...
  • Taylor Swift tidak mengusung kesadaran kelas dan rasial dalam karyanya
  • Life of a Showgirl dan bukti white feminism yang dianut Taylor Swift
  • Keputusannya untuk netral dan bungkam soal krisis kemanusiaan juga disayangkan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Selain berita pertunangannya, Taylor Swift sedang disorot pula gara-gara album terbarunya, The Life of a Showgirl (2025). Ada beberapa hal yang bikin pendengar kecewa dengan album ini. Selain konsepnya yang kurang konsisten serta lirik yang cringe, lagu-lagunya juga dianggap gak mencerminkan evolusi usianya serta terkesan tone-deaf dengan situasi dunia saat ini.

Taylor Swift memang bukan satu-satunya publik figur besar yang memilih apatis, netral, dan bungkam soal krisis kemanusiaan serta isu-isu politik transnasional lainnya. Namun, ia jadi contoh nyata publik figur dengan citra feminis yang ternyata tak inklusif dan interseksional seperti yang kita harapkan.

Ketimbang performatif, Swift bisa dikategorikan penganut white feminism, yakni spektrum feminisme yang hanya berkutat pada perspektif perempuan kulit putih. Bagaimana bisa? Mari bahas dan kupas lebih dalam.

1. Taylor Swift tidak pernah mengusung kesadaran kelas dan rasial dalam karyanya

Taylor Swift saat tampil di The Eras Tour
Taylor Swift saat tampil di The Eras Tour (instagram.com/taylorswift)

Melek politik dan sosial bukanlah citra yang diusung Taylor Swift sebagai musisi. Berlatar belakang keluarga kelas menengah kulit putih Amerika Serikat, cukup natural baginya untuk tidak sensitif terhadap isu-isu kelas dan rasial. Ini tercermin dalam lagu-lagu Swift yang didominasi isu asmara dan coming of age. Namun, dengan basis penggemarnya yang besar Taylor Swift jadi ikon pop perempuan baru yang mengubah perilaku pasar.

Ia berhasil menawarkan narasi alternatif, yakni mengeklaim kembali harga dirinya dari mantan-mantan yang pernah menyakitinya serta dari media yang cenderung menghakimi publik figur perempuan lebih pedas ketimbang pria. Puncaknya, ia merilis lagu “Blank Space” dan “The Man” yang didesain sebagai anthem feminis. Ia juga menambahkan elemen kritik terhadap patriarki dalam versi 10 menit lagu “All Too Well” yang dirilis ulang dalam album Red (Taylor’s Version) pada November 2021.

Kalau kamu perhatikan lebih jeli, lagu-lagu Swift, termasuk yang bernada feminis sekalipun, berkutat pada identitasnya sebagai perempuan kulit putih dari kelas menengah atas. Perhatikan lirik “All Too Well”, “I Bet You Think About Me" adalah pengalamannya memacari aktor papan atas Jake Gyllenhaal, lengkap dengan berbagai referensi kehidupan mewah.

Ia juga beberapa kali menyenggol fakta bahwa ia bagian dari golongan kelas menengah atas dalam lagu “the last great american dynasty”, “Cornelia Street”, “Blank Space”, "Red”, ”Antihero”, “The Lucky One, “Wi$h Li$t” dan masih banyak lagi. Menariknya, ia berhasil bikin penggemarnya melupakan itu dan fokus pada hal-hal yang dianggap lebih relevan, seperti rasanya jadi korban grooming, cinta bertepuk sebelah tangan, kecewa pada diri sendiri, diselingkuhi, sampai menemukan sosok sempurna untuk berlabuh.

2. Life of a Showgirl dan bukti white feminism yang dianut Taylor Swift

Taylor Swift dalam video musik The Fate of Ophelia
Taylor Swift dalam video musik The Fate of Ophelia (instagram.com/taylorswift)

Barulah saat Life of a Showgirl resmi dirilis, orang berbondong-bondong sadar kalau Taylor Swift bukan sosok feminis yang inklusif dan interseksional seperti harapan kita. White feminism istilahnya, yang merujuk pada gerakan feminisme yang berakar dari perspektif Barat.

Borah, dkk dalam tulisan mereka ‘Feminism Not for All? The Discourse Around White Feminism Across Five Social Media Platforms’ untuk jurnal Social Media + Society menyebut bahwa kurangnya interseksionalitas (teori yang percaya aspek identitas manusia saling berkaitan dan membentuk pengalaman yang beragam) adalah sumber masalah dalam ideologi feminis kulit putih.

Penganut white feminism secara umum tidak menyadari pentingnya pengakuan terhadap perbedaan ras dan kelas. Mereka menggunakan perspektif yang berkutat pada perempuan cisgender, kelas menengah, dan berkulit putih. Ini membuat eksistensi dan masalah yang secara spesifik dirasakan orang dari ras berwarna, kelas bawah, dan negara berkembang terabaikan. Dalam kasus Swift, kecenderungan ini tampak jelas dari lagu-lagunya sejak dulu. Kebetulan Life of a Showgirl jadi semacam bukti kuatnya.

Dalam lagu “Opalite” dan “Eldest Daughter”, Swift dipercaya sebagian orang menguarkan pesan mikroagresi berbau rasial. Ia menggunakan diksi tertentu dalam dua lagu itu untuk memisahkan dirinya dengan perempuan kulit hitam. Dalam “Opalite”, Taylor dipercaya mengumpamakan masa lalu Travis Kelce dengan onyx (batu berwarna hitam), seolah menyindir mantan-mantan sang tunangan yang kebanyakan berlatar belakang kulit hitam. Di lagu “Eldest Daughter”, Swift memilih menggunakan diksi “bad bitch” dan “savage” yang punya kaitan erat dengan budaya kulit hitam Amerika Serikat untuk menegasikan dirinya.

Ini bukan kasus pertama untuk Swift. Pada 2014, Swift diduga melakukan apropriasi budaya dalam video klip “Shake It Off”. Terutama saat adegan Swift menari konyol dengan pakaian ala penyanyi kulit hitam. Video musik “Wildest Dream” juga diduga menggunakan trope “Empty Africa”, yakni perspektif ala Barat yang identik dengan kolonialisme. Lewat trope itu, Afrika seolah digambarkan tak lebih dari lahan kosong yang penuh dengan hewan eksotik, tanpa menampakkan apalagi mempertimbangkan eksistensi masyarakat lokal.

The Life of a Showgirl juga jadi bukti betapa kapitalisnya Swift sebagai musisi. Sadar ia punya jutaan penggemar setia, Swift sengaja merilis album fisiknya dalam berbagai varian kover, lengkap dengan bonus track. Total ada 11 varian CD dan 8 varian vinyl yang bisa dikoleksi bila berkenan. Di Amerika Serikat, manajemen Swift bahkan mengadakan pesta perilisan resmi album Life of a Showgirl di bioskop-bioskop. Padahal, secara umum, itu hanya pemutaran perdana video musik single utama album tersebut, “The Fate of Ophelia” dengan tambahan listening party seluruh lirik musik video dari semua lagu dalam album baru Swift.

3. Keputusannya untuk netral dan bungkam soal krisis kemanusiaan juga disayangkan

Taylor Swift di salah satu varian kover album The Life of a Showgirl
Taylor Swift di salah satu varian kover album The Life of a Showgirl (instagram.com/taylorswift)

Taylor Swift sebenarnya bukan satu-satunya musisi Barat dengan platform besar yang merilis materi baru di tengah krisis kemanusiaan global. Lady Gaga dan Sabrina Carpenter juga memilih tahun 2025 untuk melepas album baru. Seperti Swift, mereka memutuskan untuk menjaga netralitas dengan tak bersuara apa pun soal genosida di Palestina yang korbannya mayoritas anak-anak dan perempuan.

Meski terlihat aman dan tak berbahaya, keputusan untuk bungkam bisa saja dilihat sebagai bentuk posisi politik. Seperti argumen Umeh dan Cooke dalam tulisan berjudul “White Feminism and the Limits of Solidarity: A Call for Epistemic Reckoning.” dalam jurnal Gender, Work & Organization, white feminism jadi masalah karena tidak sedangkal mempermasalahkan representasi belaka, tetapi bisa menjelaskan pendapat seseorang soal hidup siapa yang layak diakui, penderitaan siapa yang layak diperhatikan, dan siapa yang berhak bicara.

Lantas, mengapa Taylor Swift yang jadi sorotan? Mungkin salah satunya karena ia gagal membuktikan omongannya sendiri soal komitmen untuk lebih aktif dan melek politik. Ini pernah ia lontarkan dalam film dokumenternya yang berjudul Miss Americana (2020).

Kritik terhadap Taylor Swift ini bukan serangan personal. Sang musisi memang tidak bertanggung jawab langsung atas ketimpangan dan krisis kemanusiaan di dunia. Ia juga dikenal sebagai selebritas yang peduli pada penggemar dan gemar beramal. Kebetulan dengan nama besar dan platformnya yang strategis, Swift adalah salah satu bukti konkret eksistensi publik figur berstatus miliarder yang diuntungkan oleh sistem yang sudah ada saat ini dan memilih untuk tak ambil pusing, apalagi mengambil risiko.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Taylor Swift dan White Feminism

22 Okt 2025, 12:20 WIBOpinion
potret umat peziarah yang berziarah ke Gua Lourdes, Prancis (commons.wikimedia.org/Fabio Alessandro Locati)

Keajaiban Baru di Lourdes

24 Sep 2025, 10:34 WIBOpinion