TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

[OPINI] Menghancurkan Kutukan Si Roy

Mampukah Fajar Nugros menghancurkan kutukan Si Roy?

Berbagai Sumber

16 Desember 2020 pengumuman pemain Film Balada Si Roy (BSR) diumumkan secara virtual, salah satunya melalui  melalui akun youtube IDN Times yang ditonton secara langsung oleh lebih dari 5.290 orang, belum lagi di sumber virtual lainnya. Pecah sudah rasa penasaran para pembaca BSR. Sebagian merasa optimis buku ini akan difilmkan. Sebagian masih pesimis. Mengapa?

Hal yang sama pernah terjadi delapan tahun silam. Waktu itu pada acara Indonesia Book Fair 2012, tepatnya pada tanggal 17 Desember (hanya berbeda 1 hari dengan yang sekarang), diumumkanlah tokoh utama pemeran Film BSR. Ramon Tungka dianggap pantas untuk memerankannya. Para pembaca fanatik berkumpul. Semua bahagia dan berharap sukses. Fakta bicara lain. Gagal. Pembaca harus menunggu delapan tahun lagi untuk menuntaskan asa. Maka bagi sebagian pembaca, peristiwa di atas menjadi de Javu dan bukan yang pertama kali terjadi. Bagi yang pernah mengikuti nasib novel ini, tentu mengetahui bahwa proses alih wahana ini (meminjam istilah Sapardi)  pernah diniatkan berkali-kali.

Namun jika mengikuti begitu membatunya Fajar Nugros sang sutradara dan Susanti Dewi sang produser hendak memfilmkan novel ini, ada harapan besar ia dan tim IDN Picture bisa menghancurkan kutukan. Pada 2018, mereka bertandang ke Rumah Dunia untuk bergabung dengan para pembaca BSR yang merayakan ulang tahun ke-30.  Pada momen tersebut Fajar mengumumkan bahwa ia bertekad memfilmkan. Setidaknya ada waktu dua tahun bagi Fajar Nugros untuk terus mengimla BSR, melakukan riset, menghimpun tim, menjahit harapan.

Baca Juga: [OPINI] 500 Days of Summer, Menilik Perpisahan dari Dua Sudut Pandang

Alih Wahana

instagram.com/salmanaristo

Sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantor, saya termasuk orang yang cukup antusias menyimak proses pengumuman pemain Film BSR. Saya ingin ikut menikmati kebahagiaan Abidzar Al Gifari yang menjadi pemeran Si Roy, Febby Rastanti sebagai Ani, atau Dea Aditya yang dua tahun silam datang dari Lubuk Linggau ke Rumah Dunia untuk mengejar harapan bertemu dengan Fajar Nugros agar dapat terlibat dalam film ini. Dari semua komentar para pemain, mereka sangat antusias. Rupanya WAG Balad(a) Si Roy yang berhimpun para pembaca die hard lebih antusias lagi. Mereka mampir ke instagram para pemain, menyapa dan ikut centil-centilan ala 90-an begumul bersama followers anak-anak remaja milenial.

Kebahagiaan itu menjadi sangat wajar mengingat para pembaca harus menunggu 32 tahun hingga novel ini benar-benar dieksekusi menjadi film layar lebar. Namun dari sekian banyak kebahagiaan itu, muncul pertanyaan-pertanyaan kritis dari benak pembaca merespons hasil dialog para pemainnya. Misalnya, “mereka sudah baca bukunya belum sih, kok jawabannya begitu?” Ada juga yang kesal dengan kata “spoiler” yang sempat dilontarkan pemain film ketika ditanya oleh moderator. “Spoiler? Gile ada lebih dari tiga ratus ribu yang sudah baca bukunya. Kita nggak dianggap? Spoiler apaan?” Pertanyaan tersebut tentu saja ada yang membela. “Tugas mereka bukan baca novel, tapi baca skenario yang bener dan akting yang bagus. Jangan-jangan skenarionya berubah. Siapa tahu?”

Beban. Itulah yang akan muncul dalam keseharian proses pembuatan film ini. Faktanya memang ada ratusan ribu orang yang sudah mengetahui alur cerita Balada Si Roy, bukan hanya pada seri Joe. Mereka bahkan sudah menyelesaikan sampai 10 seri dan membacanya berulang-ulang.  Mereka memiliki horizon harapannya masing-masing setelah membaca buku tersebut dan sedikit saja berbeda dengan horizon harapan pembaca, maka kerewelan akan muncul terus-menerus dan kerewelan pembaca baru saja dimulai.

Sebetulnya proses alih wahana bukanlah barang baru. Selain adaptasi novel ke dalam film atau sebaliknya, sudah banyak alih wahana lain yang terjadi misalnya puisi yang dimusikkan, komik yang difilmkan dan seterusnya. Bahkan kita memiliki kebudayaan alih wahana yang cukup panjang. Sebut saja misalnya wayang yang diadaptasi dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Di dalam prosesnya selalu ada perubahan-perubahan yang terjadi karena munculnya perubahan media.

Pertimbangan media memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan baik penambahan, pengurangan maupun variasi lain yang bersifat menyesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu sehingga kesetiaan pada hipogram di dalam alih wahana sangat relatif dan bahkan mendekati nonsense. Jadi menikmati kesuksesan proses adaptasi bukan melihat momen-momen kesetiaan yang romantik tetapi bagaimana kreator mewujudkannya dan memastikan esensi dan ideologi dari hipogram tidak terreduksi.

Di dalam penciptaannya, novel  dan karya sastra pada umumnya adalah pekerjaan yang menitikberatkan pada kekuataan emosi secara individual. Imaji dan latar belakang estetik penulis menjadi subjek sentral. Sang penulis bisa menumpahkan segala ikhwal cerita secara takterbatas. Sementara di dalam menggarap film, sutradara hanya partikel kecil dari gabungan elektron-elektron lainnya. Ia memercik karena ada pergesekan, pergumulan dan harmonisasi. Mulai dari pra-produksi hingga film ini bisa dinikmati penonton kelak, ada ratusan orang yang terlibat dengan segala latar belakang kepala yang berbeda sehingga tanpa mengecilkan sebuah cerita, penggarapan film akan berhubungan juga dengan pendanaan, relasi kuasa, perizinan, bahkan penjaga keamanaan. Sebuah pekerjaan  sangat kompleks dan menantang.  Maka ketika pembaca novel hanya menuntut kesetiaan, tentu bukan tuntutan yang arif.

Baca Juga: [OPINI] Kenapa Literasi di Era Millennial Merupakan Hal Penting?

Writer

Firman Venayaksa

Pengamat Youth Culture, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya