TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Didi Kempot, dari Lagu "Terlarang" hingga Perlahan Bikin Overdosis

Biar hati kami saja yang ambyar, karyamu jangan

Instagram.com/didikempot_official

Perkenalan saya dengan musik-musik Didi Kempot terjadi secara tak sengaja. Semua bermula dari sebuah flashdisk Kingstone 2 GB tahun 2010. Flahsdisk itu saya gunakan untuk ngopy beberapa folder lagu di ruang himpunan mahasiswa tempat saya kuliah. 

Niatnya sih cuma menyalin beberapa lagu indie dan reggae. Tak sengaja, satu folder "The Best of Didi Kempot" ikut nyempil. Karena tipa hari terputar, saya pun "terpaksa" menikmati dan bahkan hafal semua lagu. Kian lama, kuping saya semakin tak asing dengan kata-kata jowo kulonan. Kosakata yang hanya hadir saat pelajaran Pepak Boso Jowo kala SD. 

Mendengarkan sudah. Menikmati pun sudah. Perlahan saya bahkan paham detail maksud dari tiap syairnya. Ketidaksengajaan saya terhadap lagu-lagu Didi Kempot pun mencapai highest level. Bait-bait sedihnya menjadi sponsor utama sekaligus original soundtrack saat saya dirundung patah hati. Ambyar!

Tapi saya tak beruntung layaknya millennials penikmat lagu sang maestro saat ini. Mereka kini bebas menyanyikannya di tempat umum. Bahkan, saat nonton konser, para Sobat Ambyar pun tanpa sungkan mendem ciu sambil nangis meratapi mantan. Saya dulu yang harus menikmatinya secara diam-diam. Earset selalu terpasang saban saya mendengarkan karya-karyanya. Malu ah, kalau kedengaran teman. Di playlist mereka pasti berjejer deretan lagu milik pemusik-pemusik londo macam Justin Bieber, Avanged Sevenfold, sampai Katy Perry.

Entah, saat itu mungkin musik-musik Jawa seperti milik Didi Kempot adalah karya "terlarang" bagi anak muda. Lagu-lagunya kerap diidentikkan sebagai pengantar tidur bagi mbah-mbah bau minyak Kapak. Saya sampai berpikiran, apa gini ya rasanya jadi aktivis zaman orde baru pas mau baca buku-buku karya Pram. Semua harus serba diam-diam. Eh tapi itu lebay sih. Pokoknya saat itu seolah ada asumsi kalau gak lagu enggres, atau sejelek-jeleknya indie, berarti selera musik kamu rendahan.

Ternyata asumsi saya sangat salah. Semua bermula saat Didi Kempot menjadi bintang tamu di sebuah acara sebuah komunitas blogger benama Rumah Blogger Indonesia di Solo. Awalnya banyak yang menganggap talkshow ini sebuah anomali. Masa iya, anak-anak muda sadar literasi kok ngundang Didi Kempot?

Barulah semua terjawab saat YouTuber Gofar Hilman mengundangnya di sebuah acara. Ratusan massa, yang 99,99 persennya adalah anak muda, datang berebut tempat ingin menyaksikan sang idola. Yang bikin merinding adalah saat Didi Kempot mulai menyanyikan lagu. Mereka ikut bernyanyi layaknya koor massal. Didi Kempot saat itu terheran. Maklum, lagu-lagu yang ia bawakan mungkin tercipta saat mereka masih kecil, atau bahkan belum lahir. 

Dari sana saya kemudian yakin bahwa penggemar Didi Kempot adalah para fans gerilya, sama seperti saya. Mereka mengidolai karya Mas Didi dalam diam. Layaknya sebuah sekte, mereka baru membuka tabir identitas saat bersua.

Tak hanya membantah dugaan saya yang hampir berusia satu dekade, momen tersebut seolah menjadi titik balik bagi lagu-lagu Jawa di Indonesia. Didi Kempot pun banjir tawaran. Musik-musik campursari kini dipuja-puji. Diperdengarkan dari warung pinggir jalan sampai Istana Negara. Pamornya dikerek sundul langit. Dan tentu, efek sampingnya adalah munculnya anggota jemaah latah. Tapi gak masalah, toh semakin banyak penggemar, makin banyak didengar pula.

Tapi gini loh Mas Didi, manusia ini punya rasa yang namanya bosan. Meskipun enak, tapi kalau dicekoki terus akan jadi gak enak. Nah itu yang saya khawatirkan. Semenjak acara Ngobam sama Gofar Hilman, Mas Didi gak berhenti roadshow dari kota ke kota. 

Saya tahulah, bukan materi yang Mas Didi cari. Maestro sekelas Mas Didi pasti cuma ingin memuaskan pendengarnya. Tapi, sejenak rehat mungkin bisa jadi pilihan. Pertama soal kesehatan Mas Didi. Setidaknya ini yang saya lihat saat Mas Didi berduet dengan Nella Kharisma beberapa waktu lalu. Duet yang seyogyanya ditunggu-tunggu, ternyata berjalan kurang mulus. Selain suara serak, kedua penyanyi ini juga tampak berkejaran saat membawakan lagu "Pamer Bojo". Setidaknya itu yang saya lihat sebagai orang awam.

Kedua, ya soal bagaimana me-manage kerinduan para penggemar tadi. Tolong beri kami jarak agar kami bisa merindukan karya Mas Didi. Saya gak mau tembang-tembang emas sang legenda menjadi murahan hanya karena terlalu sering diperdengarkan. Apalagi, dari 800an lagu yang diciptakan, cuma itu-itu aja yang dibawa. 

Sampean beruntung soalnya acara musik "cuci-cuci jemur-jemur" itu sudah gak ada. Kalau masih ada coba, sampean bakal diundang seminggu dua kali. Terus gak lama kemudian ditawari jadi bintang iklan sosis. 

Harapan saya cuma satu. Jangan sampai pamor musik Jawa yang sedang naik ini cuma numpang lewat. Biar hati kami saja yang ambyar menikmati musik-musik Didi Kempot, karya sampean jangan. 

Baca Juga: Tak Hanya Didi Kempot, 5 Musisi Campursari Ini Juga Punya Lagu Ngehits

Verified Writer

Kuncoro

Penikmat tanggal muda

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya