Stigma Terhadap Kesehatan Mental: Gangguan Mental=Gila?

"Kenapa mereka bilang aku gila?"

Akhir-akhir ini, muncul banyak gerakan dari berbagai pihak yang gencar menyuarakan tentang kesehatan mental (mental health) melalui seruan mental health matters. Topik pembahasan mengenai kesehatan mental ini semakin mencuat dengan adanya pandemi COVID-19. Masyarakat awam yang sebelumnya kurang  memberikan atensi terhadap kesehatan mental, mulai menyadari akan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. Sejak adanya pemberlakuan protokol kesehatan sebagai langkah pencegahan COVID-19 yang menyebabkan ruang gerak menjadi terbatas, banyak orang merasakan perubahan dalam diri mereka. Pada masa-masa itulah, seseorang rentan mengalami gangguan mental (mental illness). Mental illness atau mental health disorders merupakan sebuah kondisi yang cukup mengganggu dan mempengaruhi perasaan, pemikiran, serta tindakan penderitanya menjadi tidak teratur.

Isu kesehatan mental masih dianggap tabu

Mental illness bila tidak ditangani, akan mengganggu tingkat produktivitas seseorang. Sayangnya, stigma yang berkembang sejak lama, membuat seseorang yang membutuhkan penanganan dari ahlinya, segan untuk berkonsultasi. Dampak jangka panjang terhadap kondisi ini adalah meningkatnya angka bunuh diri. Dilansir dari laman sehatnegeriku.kemenkes.go.id, dr. Hervita Diatri, Sp. Kj memaparkan bahwa pada awal tahun 2022, sekitar 1 dari 2 orang memikirkan untuk mengakhiri hidup sebagai buntut dari adanya pandemi COVID-19.

Menurut data Laporan Bank Dunia (Worldbank), Indonesia memiliki Angka Kematian Bunuh Diri (Suicide Mortality Rate) sebesar 2,4 per 100.000 penduduk sejak tahun 2014—2019. Jumlah ini cenderung melandai dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara dari sumber Researchgate, pada tahun 2020, Suicide Mortality Rate Indonesia berada pada angka 3,4 per 100.000 penduduk. American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa perilaku bunuh diri cenderung terjadi akibat dari adanya tekanan, depresi, ataupun penyakit mental lain. Tentu ini merupakan sebuah akibat dari tidak ditanganinya mental illness seseorang.

Pada masyarakat Indonesia sendiri, gangguan mental masih menjadi sebuah isu yang tabu. Tidak jarang orang beranggapan bahwa gangguan mental sama halnya dengan gila. Sebutan-sebutan yang tak enak didengar seperti "kurang se-ons," "ora genep," atau "orang aneh" pun seringkali disematkan. Perilaku diskriminasi dengan tindakan menjauhi secara sadar maupun tidak sadar juga kerap terjadi. Penilaian, pandangan, serta perlakuan seperti inilah yang menjadi salah satu faktor seseorang dengan gangguan mental merasa enggan untuk berkonsultasi dan mendapatkan perawatan dari ahli. Terlebih perlakuan tidak mengenakan juga bisa datang dari keluarga dan orang-orang terdekat penderita. Banyak kasus diskriminasi terhadap penderita gangguan mental berasal dari lingkungan sekitar yang toxic. Lagi dan lagi, apapun jenis gangguan mental yang dialami, sebutan gila selalu menghantui. Entah itu depresi, anxiety, ataupun skizofrenia, orang awam akan menyebutnya sebagai gila.

Stigma dan perlakuan buruk yang diterima seorang pengidap gangguan mental dapat mendorong ketakutan akan dijauhi hingga merasa bahwa dirinya not worthy enough. Perasaan tidak berharga dan dikucilkan ini akan berdampak pada proses pemulihan. Tak jarang juga menyebabkan kondisi semakin buruk. Padahal, pada masa-masa seperti ini, penderita membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya. Tidak adil rasanya bila penderita dituntut untuk sembuh akan tetapi selalu dicecar akan perilaku dan perkataan tak mengenakan.

Mengubah stigma itu tidak mudah

Mengubah stigma buruk terhadap penderita gangguan mental sudah sepatutnya dilakukan. Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa mengubah stigma bukanlah suatu yang mudah dan praktis. Alih-alih, perlu dilakukan secara bertahap. Pemberian stigma atau labeling, sadar maupun tidak sadar, bersumber dari diri sendiri. Oleh karena itu, untuk mengubah stigma terhadap penderita gangguan mental, yang perlu dilakukan adalah membangun pemahaman bagi diri sendiri mengenai pengertian mental illness itu sendiri, jenis-jenis gangguan mental, ciri-ciri, hingga tindakan yang harus dilakukan jika orang terdekat mengalami gangguan mental.

Melalui peningkatkan literasi guna menambah wawasan serta pemahaman mengenai kesehatan mental, diharapkan stigma mengenai gangguan mental dapat berkurang. Akan menjadi lebih baik lagi bila tiap-tiap orang dapat memberi dukungan terhadap para penderita gangguan mental. Dukungan ini tidak harus berupa dukungan secara langsung, dengan tidak memberi label negatif kepada penderita akan menjadi sangat berarti.

Melalui 1000 Aspirasi Indonesia Muda, harapan besar akan pertumbuhan pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mental akan bertambah. Bentuk pemahaman dan kesadaran akan kesehatan mental ini salah satunya dengan tidak memberikan stigma atau labeling pada para penderitanya, sehingga mereka tidak takut dikucilkan maupun takut berkonsultasi. 

Presidensi G20 Indonesia terhadap kesehatan global

Indonesia sebagai presidensi G20 telah menentukan topik utama, yaitu kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi. Melalui salah satu topik utama tersebut, isu kesehatan global yang diusung dalam G20 ini juga menyoroti masalah kesehatan mental di dunia. Dengan tema "Recover Together, Recover Stronger" diharapkan permasalahan kesehatan mental dapat teratasi melalui berbagai program yang telah direncanakan. Peranan Indonesia sebagai presidensi dalam KTT G20 sudah sepatutnya memberikan dampak positif terhadap isu kesehatan mental terlebih di Indonesia sendiri sehingga masyarakat pun dapat semakin memahami pentingnya kesehatan mental. Mari kita Pulih Bersama, Bangkit Lebih Kuat!

Baca Juga: Keluarga Itu Tempat Menjaga Kesehatan Mental, Bukan Merusaknya!

A. Nesa Photo Writer A. Nesa

I won't stop

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dimas Bowo

Berita Terkini Lainnya