Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cerita Ramadan: Berpuasa, Nyepi, dan Lebaran di Bali

Menu rendang saat Lebaran (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Bagi umat muslim, Ramadan menjadi salah satu bulan yang ditunggu-tunggu. Banyak momen spesial yang dinanti selama Ramadan. Berburu takjil, menyiapkan menu buka dan sahur, Salat Tarawih, hingga itikaf, semuanya hanya dapat ditemui saat bulan spesial ini.

Masing-masing orang memiliki cerita seru Ramadannya tersendiri. Termasuk kamu, bukan?

Tak terkecuali bagi saya pribadi, ada beberapa momen spesial yang saya dapatkan selama Ramadan tahun ini. Dalam artikel ini, saya akan berbagai pengalaman Ramadan sekaligus merayakan dua hari raya yang hampir bersamaan di Bali. Semoga berkenan membacanya sampai habis, ya!

Mencapai ketenangan batin yang luar biasa

Potret turis main di pantai Bali (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Ramadan tahun ini terasa begitu memenangkan bagi saya. Saya pun tak menyangka dapat merasakan ketenangan dan kedamaian batin yang tak bisa diungkapkan dengan banyak kata. "In a peaceee...," begitu kira-kira batin saya berkata.

Rasa tenang dan damai ini bukan suatu hal yang saya dapatkan selama Ramadan setiap tahunnya. Jika dirunut kembali beberapa tahun terakhir, saya kehilangan nikmat Ramadan. Kalau pun merasa dapat menikmatinya, itu hanya hitungan hari saja. Selebihnya saya merasa tak tenang dan cemas, bahkan sempat depresi.

Ramadan saya beberapa tahun terakhir bak roller coaster, ada saja tantangan dan "dramanya." Tentu saja ketenangan yang saya rasakan sekarang bukan seperti membalikkan telapak tangan, tak semudah itu. Saya cukup aktif konseling dengan psikolog. 

Mungkin usaha saya itu kini membuahkan hasil, seolah memasuki masa "panen" kedamaian batin, terutama saat Ramadan. Saya benar-benar menikmati Ramadan tahun ini. Setiap hari doa saya berupa mohon kelancarkan ibadah puasa dan pekerjaan, lalu mengucap syukur adalah hal pertama yang saya ucapkan ketika berbuka puasa.

"Terima kasih Ya Allah, saya hari ini dapat beribadah dengan lancar, berbuka puasa dengan proper dan sehat semuanya." Terdengar sepele dan kecil, tapi itu nikmat yang luar biasa besar bagi saya.

Puasa, Nyepi, dan Lebaran di Bali

Potret parade Ogoh-ogoh di Bali (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Setelah mencapai ketenangan batin dan hampir no drama sepanjang Ramadan ini, saya memutuskan merayakan Hari Raya Idulfitri di Bali. Kebetulan, Lebaran kali ini hampir berbarengan dengan Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu. Membayangkan keduanya dilaksanakan hampir bersamaan saja membuat hati saya haru.

Hari Raya Nyepi tahun ini jatuh pada Sabtu, 29 Maret 2025. Sedangkan, Hari Raya Idulfitri dilaksanakan pada Senin, 31 Maret 2025. Kedua hari raya tersebut dilaksanakan dengan cara yang sangat berbeda dan bertolak belakang.

Nyepi dilakukan dengan cara berdiam diri, kontemplasi, tanpa lampu, tanpa bekerja, dan tanpa aktivitas lainnya. Umat Hindu biasa mengisi kegiatan dengan membaca buku, membaca kitab Weda, meditasi, hingga berpuasa seharian. 

Jika tidak kuat berpuasa seharian, umat Hindu diperbolehkan berpuasa semampunya. Tentu kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan tanpa cahaya atau lampu, dan tidak saling berbicara atau ngobrol satu sama lain.

Menjadi awal dari Tahun Baru Saka, Hari Raya Nyepi dimaknai sebagai introspeksi diri, penyucian diri dari dalam, memulihkan diri, menjaga keseimbangan, berselaras dengan alam, dan menjadi awal yang baru. 

Pada malam sebelum Nyepi, dilakukan tradisi adat pengerupukan alias mengarak ogoh-ogoh yang menjadi lambang setan atau hal-hal buruk lainnya. Setiap banjar (atau desa) membuat model ogoh-ogoh yang menarik, bahkan canggih dan mindblowing. Ogoh-ogoh tersebut akan diarak, lalu pada akhirnya dibakar sebagai simbol melenyapkan semua hal-hal buruk yang ada di dalam diri kita dan sekitarnya.

Sementara itu, Hari Raya Idulfitri dilakukan dengan semarak dan sukacita. Perayaan Idulfitri selalu meriah setiap tahunnya, terutama di Indonesia yang mayoritas muslim.

Hari Raya Idulfitri dimaknai sebagai perayaan kemenangan melawan hal-hal buruk, berbagai jenis hawa nafsu, dan "setan" dalam diri kita. Maka dari itu, perayaannya dilakukan dengan meriah dan sukacita, mulai dari takbiran keliling, Salat Ied bersama, sungkeman atau saling bermaafan, kumpul keluarga, hingga makan-makan bersama.

Sangat berbeda dengan Nyepi yang lebih banyak berdiam diri dalam kesunyian, bukan? Meski demikian, keduanya sama-sama memiliki makna kembali kepada diri yang suci dan bersih, setelah melawan segala jenis keburukan duniawi.

Di Bali sendiri, beberapa banjar atau desa menggelar takbiran keliling. Menariknya lagi, di salah satu desa di Denpasar, takbiran keliling diawali dengan musik khas Bali. Sungguh wujud diversity is beautiful, bahwa sesungguhnya Tuhan memang menciptakan kita berbeda-beda dan perbedaan tersebut membuat hidup kita semakin indah. 

Merayakan kemenangan bersama-sama

Menu buka puasa saat Nyepi (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Ternyata ada irisan kesamaan antara makna Nyepi dan Idulfitri. Pada Nyepi tahun ini, umat muslim masih berpuasa Ramadan. Saya sendiri mengisi waktu dengan beristirahat total saat Nyepi, setelah malam sebelumnya menyaksikan pawai ogoh-ogoh di Lapangan Puputan, Denpasar. 

Tidak ada aktivitas lain saat Nyepi. Saya hanya istirahat hingga hampir menjelang waktu berbuka puasa, lalu berbuka puasa, beribadah lainnya, kemudian beristirahat kembali. Karena saya menginap di hotel, saya baru tahu bahwa restoran hotel masih melayani tamu. Mereka masih memasak untuk para tamu hingga pukul 19.00 WITA. 

Tentu saja saya merasa sangat terbantu dengan hal ini, meskipun saya sudah stok beberapa jenis snack dan beras instan yang siap seduh sebagai menu buka puasa.

Akhirnya saya bisa berbuka puasa dengan sepiring nasi goreng lengkap dengan ayam suwir dan sayurannya. Meski aturannya tidak diperbolehkan memasak saat Nyepi untuk umat Hindu, tetapi turis atau selain agama Hindu tetap diperbolehkan, asalkan tidak berisik, tidak menggunakan cahaya atau lampu, dan tidak mengganggu kepentingan orang lain (terutama yang sedang merayakan Nyepi).

Selang satu hari, giliran umat Islam yang merayakan Lebaran. Saya Salat Ied di masjid utama di Canggu. Mungkin bagi kita yang terbiasa tinggal di Jawa atau wilayah lainnya yang mayoritas warga lokal sekaligus muslim, akan terkejut dengan pemandangan ini.

Sebagian orang menganggap kebanyakan turis asing alias bule beragama non-Islam, tetapi di Canggu, kita akan menjumpai banyak bule muslim. Alhasil, beberapa orang merekam pemandangan ini dan mengunggahnya di media sosial, para bule muslim tersebut pun viral saat Lebaran.

Potret open house Lebaran di Bali (IDN Times/Dewi Suci Rahayu)

Setelah Salat Ied, saya menuju ke rumah mantan ibu kos saya, namanya Ibu Diana. Dia dan keluarganya menggelar open house Lebaran. Bagi anak-anak rantau seperti kami, dapat menikmati seporsi rendang, opor ayam, dendeng sambal ijo, beserta kue-kue kering khas Lebaran adalah surga. Barakallah, Ibu Diana sekeluarga!

Satu hal yang menggelitik bagi saya, beberapa bule yang viral di media sosial karena direkam diam-diam oleh netizen pun mengunjungi rumah Ibu Diana. Memang, open house yang digelar setiap tahunnya ini tak terkhusus warga lokal saja, tetapi siapa pun boleh datang, termasuk para bule dan kaum non-Islam sekali pun.

Setelah puas makan opor, saya menuju ke studio yoga, agar tetap zen di hari nan fitri. Hahaha... Sekitar 90 menit beryoga, kami kembali ke rumah Ibu Diana untuk makan siang, tentunya dengan menu opor dan rendang lagi!

Sore harinya, kami main ke pantai. Menikmati pasir-pasir pantai yang halus, ombak-ombak kecil yang menyapu kaki, serta jingga matahari terbenam yang syahdu. Alhamdulillah cuaca Bali sedang sangat cerah dan ceria. What a life! 

Lebaran kali ini benar-benar menyenangkan. Saya tak henti-hentinya mengucap syukur. Bisa merasakan pengalaman puasa, Nyepi, dan Lebaran di Bali, sekaligus menemui kembali kawan-kawan lama. Hati saya sungguh penuh. 

Pengalaman ini juga menjadi isi ulang spiritual saya. Terbiasa tinggal di lingkungan mayoritas muslim terkadang dapat membuat kita merasa superior dan tak mau kalah. Dengan bergantian menjadi "minoritas," tetapi tetap dapat melaksanakan ibadah kita dengan baik, adalah pengalaman luar biasa indah.

Karena perbedaan bukanlah pemecah belah umat, tetapi justru akan membuat kita semakin erat dan kuat. Diversity tidak akan melukai iman kita, tetapi justru akan menguatkannya. Sebenar-benarnya iman hanya kita dan Tuhan yang tahu, tak perlu merasa insecure dengan perayaan umat lain.

Alhamdulillah, Ramadan tahun ini benar-benar menyenangkan bagi saya, dari awal sampai akhir. Saya benar-benar bersyukur. Semoga kita semua dapat kembali dipertemukan dengan Ramadan-Ramadan berikutnya, ya! 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ernia Karina
Dewi Suci Rahayu
Ernia Karina
EditorErnia Karina
Follow Us