Gen Z dan FOMO Lari: Olahraga atau Ajang Pamer?

Intinya sih...
- Lari bukan hanya soal kesehatan, tapi juga citra diri dan kecemasan digital.
- Strava memiliki fitur sosial yang bisa memicu tekanan untuk tampil keren di media sosial.
- FOMO olahraga dan perlombaan digital di Strava dapat menggeser makna sebenarnya dari lari.
Di tengah tren hidup sehat dan gaya hidup aktif, lari menjadi pilihan populer di kalangan Gen Z. Di era sekarang ini, olahraga bukan cuma soal keringat tapi juga soal citra. Tapi seiring waktu, olahraga yang awalnya simpel ini berubah jadi sesuatu yang lebih kompleks terutama sejak hadirnya aplikasi seperti Strava. Aplikasi seperti Strava ini membuat aktivitas fisik seperti lari bisa diunggah dan dinilai secara sosial. Nah, buat kamu yang aktif atau baru mulai lari, penting banget tahu sisi lain dari tren ini. Yuk, simak 5 fakta tentang hubungan Gen Z, Strava, dan kecemasan digital!
1. Strava bikin lari terasa kayak media sosial
Strava bukan sekadar aplikasi pelacak olahraga. Ia punya fitur sosial yang mirip Instagram: kamu bisa upload rute, pace, total jarak, dan bahkan foto estetik saat lari. Feed kamu bisa dikomentari dan diberi “kudos” (versi likes di Strava). Seru? Iya. Tapi juga berpotensi bikin tekanan. Bukan berarti Strava buruk. Aplikasi ini tetap punya sisi positif, seperti membangun komunitas, memacu konsistensi, dan jadi jurnal progres kita sendiri.
2. FOMO olahraga itu nyata banget
Fenomena ini erat banget kaitannya dengan FOMO (fear of missing out). Kamu lihat teman-teman rutin lari tiap pagi, ikut virtual race, bahkan dapat medali digital sementara kamu struggling buat lari 2 kilometer saja. Akhirnya, bukan kesehatan yang jadi motivasi utama, tapi rasa takut tertinggal. Kamu mulai merasa harus posting juga. Inilah yang disebut FOMO olahraga, dan banyak Gen Z mengalaminya tanpa sadar. Namun, banyak juga yang termotivasi untuk ikut lagi dengan tujuan kesehatan.
3. Lebih peduli angka ketimbang kenyamanan
Strava bikin kita fokus sama angka: berapa kilometer, pace-nya berapa, berapa kali dalam seminggu. Lama-lama, lari terasa seperti perlombaan digital. Kalau pace lambat atau nggak konsisten, rasanya minder. Padahal, setiap tubuh punya ritme dan progres masing-masing. Namun, terdapat sisi positif dari pace lari yang ada di Strava, dapat memacu konsistensi, dan jadi jurnal peningkatan lari kita sendiri.
4. Validasi digital mulai ambil alih tujuan sehat
Alih-alih lari buat healing atau jaga kesehatan, banyak orang justru lari demi tampil keren di feed. Ini jadi tanda bahwa validasi digital perlahan menggeser makna olahraga itu sendiri. Lari pun berubah dari self-care jadi self-display
5. Lari tetap milikmu—bukan milik algoritma
Tenang, kamu tetap bisa pakai Strava dengan sehat. Strava bisa jadi teman baik selama kamu tetap pegang kendali. Jadikan aplikasi Strava sebagai alat pencatat, bukan sumber tekanan. Lari sesuai kemampuan, nikmati prosesnya, dan ingat: pace bukan tolok ukur kebahagiaan. Lari bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa yang paling konsisten. Yang penting bukan performa di aplikasi, tapi kenyamananmu sendiri. Jadi, nikmati rute, dan lari sesuai kemampuanmu. Karena pada akhirnya, kesehatan itu bukan kompetisi tapi proses mengenal dan merawat diri sendiri.
Jadi lain kali kamu pakai sepatu dan mulai lari, tanya dulu ke diri sendiri:
Kamu lari buat apa? Buat healing, atau buat di posting?