Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ketupat dan Opor Ayam yang Tak Tersentuh di Momen Lebaran

Ilustrasi opor ayam dan ketupat (pixabay.com/andryhariana)
Ilustrasi opor ayam dan ketupat (pixabay.com/andryhariana)

Lebaran selalu identik dengan kebahagiaan. Wangi ketupat yang baru diangkat dari kukusan, suara takbir berkumandang dari masjid, serta tawa saudara yang datang dari jauh. Tapi, satu momen lebaran di masa kecilku meninggalkan kenangan berbeda—sebuah kenangan yang tak akan pernah hilang walau sudah lewat sekian lama.

Aku masih ingat, waktu itu aku masih SD kelas tiga. Kami sekeluarga tinggal di Jombang, Jawa Timur. Aku tak pernah sekalipun merasakan mudik Lebaran lantaran karena keluarga dari ayah dan ibu berasal dari desa yang sama. Keluarga jauh yang selalu datang mengunjungi kami, karena nenek tinggal bersama aku dan ayah dan ibu. Itu membuat setiap Idulfitri selalu dirayakan di tempat yang sama, dengan orang-orang yang sama, dan tradisi yang terasa begitu akrab.

Namun, tahun itu berbeda. Ramadan tahun itu nenek jatuh sakit. Hingga beberapa hari sebelum Lebaran, kondisinya semakin melemah. Sialnya, nenek enggan pergi ke rumah sakit. "Sebentar lagi Idulfitri, lebih baik di rumah daripada ngamar di rumah sakit," ujarnya.

H-2 menjelang Lebaran. Suasana rumah yang biasanya mulai sibuk mempersiapkan Idulfitri, ternyata masih dipenuhi dengan kekhawatiran. Aku tidak terlalu mengerti, hanya melihat orang-orang mondar-mandir dengan wajah khawatir. Karena suasana rumah yang menurutku tak kondusif, aku memutuskan untuk pergi bermain saja ke rumah teman.

Tentu aku tak lupa berpamitan pada Nenek. "Aku pergi main dulu ya, Nek. Nanti kita buka bersama," ucapku pada Nenek yang membalasnya dengan kalimat "Jangan lama-lama," dengan nada lirih.

Tak terasa, sore hari tiba. Aku memutuskan untuk pulang. Kukayuh sepedaku dengan kencang karena takut dimarahi orang rumah. Sampai di depan rumah, aku melihat banyak orang. Aku mendekat dengan bingung, masih belum bisa memahami apa yang terjadi.

Aku memasuki rumah dengan muka kebingungan. Ayah menepuk pundakku perlahan, "Nenek sudah pergi, Nak..." bisiknya. Aku tertegun, merasakan dadaku sesak. Aku menggenggam tangan nenek yang kini tak lagi hangat, lalu tangisku pecah.

Hari Lebaran tiba, tapi tak ada kebahagiaan di rumah kami. Suasana terasa sepi dan muram. Takbir yang biasanya terasa syahdu kini hanya menjadi pengingat bahwa nenek tak lagi bersama kami.

Ketupat dan opor ayam tetap ada di meja, tapi tak seorang pun berselera menyentuhnya. Rumah yang biasanya ramai dengan tawa kini hanya menyisakan bekas tangisan yang belum benar-benar hilang sejak kepergian nenek.

Tak ada kunjungan ke rumah-rumah saudara, tak ada suara anak-anak bermain petasan di halaman. Hanya ada keheningan yang menyelimuti hari itu.

Kami semua pergi ke pemakaman, menggantikan kunjungan silaturahmi dengan doa di sisi pusaranya. Aku berdiri di samping makam nenek, masih menggenggam butiran bunga yang belum berani kusebar. Aku merasa kehilangan, tapi di sisi lain, aku merasa nenek masih ada di sana, tersenyum padaku seperti biasanya.

Tahun-tahun berlalu, dan setiap Lebaran datang, kenangan itu selalu kembali. Namun, seiring waktu, aku belajar menerima. Aku belajar bahwa kehilangan adalah bagian dari perjalanan. Nenek tetap hidup dalam setiap doa, dalam setiap ketupat yang aku makan, dalam setiap takbir yang bergema di malam Lebaran.

Lebaran mungkin tak lagi sama tanpa nenek, tapi kenangannya selalu ada, menjadikan setiap Idulfitri tetap penuh makna.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
Achmad Fatkhur Rozi
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us