Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Top 5 Makanan Lebaran Selama Mudik di Purbalingga, Selalu Bikin Rindu

Ilustrasi mudik (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Lebaran adalah momennya berkumpul dan bermaaf-maafan dengan seluruh keluarga besar. Tak afdal rasanya kalau tidak diiringi kuliner-kuliner yang nikmat dan khas daerah asal.

Tak terkecuali denganku yang mudik Lebaran ke rumah kakek di Purbalingga, Jawa Tengah. Banyak makanan unik, enak, dan nostalgik di kota kecil ini. Terlebih, bagiku yang sekian tahun merantau ke Jakarta.

Tentu saja, hal ini menjadi sebuah pengalaman yang dirindukan. Bukan sekadar sensasi bersantap, ada pula cerita dan kenangan di baliknya. Oleh karena itu, berikut kubuat daftar top 5 makanan Lebaran selama mudik di Purbalingga versi Vita.

1. Tape hijau, kacang bawang, dan nastar lumer

Nastar bikinan Budhe (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Daftar pertama kumulai dari snack atau makanan kecil khas Lebaran. Sebenarnya, ini bukan cemilan kesukaanku. Aku juga jarang menyantapnya, kecuali nastar.

Ketiga makanan kecil tersebut merupakan bikinan Budhe. Sembari Budhe nyekar ke makam Mbahkung dan Mbahti di hari H Lebaran, kadang dia mampir dan memberikan makanan kecil itu tadi ke saudaranya (ibuku).

Nastar bikinan Budhe entah kenapa enak sekali. Nanas di dalamnya bisa terasa lumer saat menyentuh lidah. Kue-kue di bakery terkenal belum tentu bisa sama seperti ini lumernya. Gak pernah kutemukan yang sama.

2. Rendang kacang merah, opor ayam, dan ketupat plastik bikinan Budhe

Ilustrasi opor ayam (Pexels.com/Juan Anatama)

Sama seperti sebelumnya, opor ayam dan rendang di sini tentu tidak bikin sendiri. Ibu saya kebetulan tidak sebegitu giatnya masak makanan besar. Preferensinya lebih ke masakan sehari-hari.

Jadi, kami biasanya main ke rumah Budhe di desa seberang pada Lebaran +1 hari. Budhe sering tanya kalau kami main, "Udah maem belum?". Akhirnya kami diajak makan rendang dan opor bikinannya di ruang makan.

Budhe memang telaten masak masakan besar. Giat di PKK semasa mudanya, Budhe bisa bikin tape, nastar, kacang bawang, ampyang singkong, rendang, hingga opor. Ibuku kadang membeli rendang ke Budhe kalau malas ribet memasak.

Selain rendang dan opor, ada sajian buah. Karena punya pekarangan yang cukup besar, kami jadi bisa menikmati rambutan hasil panen sendiri. Kadang, ada duku juga. Semua bisa dinikmati jika sedang musimnya.

Yang unik, rendang bikinan Budhe pakai kacang merah. Kalau kita makan rendang di warung masakan Padang, sangat jarang ada sajian seperti ini. Tapi di beberapa rumah tangga, aku tahu menu seperti ini sudah lumrah. Bahkan, ada yang mencampurkannya dengan kentang bulat.

Lalu, ketupat yang Budhe bikin tidak selalu pakai daun janur. Kadang, ia masak ketupat dengan plastik bening. Jadi, cetakan ketupatnya cenderung memanjang dan lebih gemoy.

3. Sroto Banyumas di rumah Simbah tertua yang masih hidup

Ilustrasi soto (Pexels.com/Fariz Albar)

Kalau kamu mudik lewat jalur Pantai Selatan dan melewati daerah Banyumas, lalu Sokaraja, pasti banyak melihat banyak toko yang jualan getuk goreng. Di antara toko tersebut pun, terselip beberapa warung Sroto Sokaraja yang laris diserbu pembeli.

Sroto adalah sebutan soto khas Banyumas, tepatnya Sokaraja. Sroto ini beda banget dibandingkan tipikal soto lainnya di nusantara. Sepupu saya dari Semarang terkaget-kaget pertama kali diajak makan sroto karena isinya menumpuk sampai keluar mangkok. 

Ya, memang sekaya itu isi sroto. Ada tauge, potongan ayam yang besar-besar (bukan suwiran tipis yang nyelip di gigi itu), daun bawang, kerupuk merah, bumbu kacang, dan ketupat. Terkadang, orang suka menambahkan klanting (alen-alen) sebagai pelengkap karena kerupuknya sudah basah tenggelam di dalam kuah bersama ayam dan kawan-kawannya. Kalau bosan ayam, tersedia pilihan daging sapi juga.

Ibu saya sering cerita kekagetannya waktu makan soto saat keluar daerah Banyumas pertama kali. Katanya, "Waktu makan soto di Jogja, kayak nasi disiram air." Ya, itu gegar budayanya saking nano-nanonya isi sroto yang selama ini dikenalnya. Tapi, bukan berarti soto daerah lain gak enak ya!

Kalau sedang mudik ke Purbalingga, kadang kami beli sroto ini. Soalnya, Sroto Banyumas masih bisa ditemukan di lain tempat, tapi gak semua seenak di daerah aslinya.

Kadang, ada juga sepupu yang tiba-tiba mengantar ke rumah. Kalau pas hari H atau H+1 Lebaran kami ke rumah Simbah tertua (usianya 90 tahunan kalau tidak salah), suka diambilkan sroto dalam mangkok kecil bersama aneka cemilan lainnya. 

4. Sate Blater beli

Dua tusuk Sate Blater yang kumakan bersama nasi dan sayur (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Sate Blater ini bisa diibaratkan dengan satwa endemik. Ditemukannya ya cuma di Purbalingga saja. Saking endemiknya, kalau saya tanya ke orang, "Kamu tahu Blater gak?", pasti mereka bakal mengernyitkan dahi dan tanya balik.

Blater adalah desa di kecamatan Kalimanah, Purbalingga, Jawa Tengah. Lokasinya gak jauh juga dari tempat saya mudik. Naik sepeda lewat jalan sawah dan kampung juga sampai.

Selain terkenal karena kampus Unsoed (Universitas Soedirman) Fakultas Teknik, Blater terkenal akan sentra produksi sate ayamnya. Satenya rasanya manis gurih. Bahkan, cita rasa ini bisa kamu dapatkan sebelum bumbu kacangnya dicampur. Jadi, tinggal pilih preferensi saja, mau makan pakai bumbu kacangnya atau tidak.

Daging satenya cenderung kuning. Bumbu kacangnya tidak segelap bumbu sate Madura. Mungkin mirip bumbu pecel, tapi manisnya lain. Makannya juga tidak pakai irisan tomat, kecap, potongan bawah merah, dan cabe hijau. Lontong saja sudah cukup.

Terkadang, ibu membelikannya sebagai lauk jika saya kembali ke Jakarta. Karena dagingnya cenderung kering tanpa bumbu kacang, sate ini bisa awet sampai tiga hari. Konon, ini karena proses pengolahannya yang panjang sebelum dibakar.

5. Mie ayam gerobakan depan rumah

Mie ayam depan rumah (IDN Times/Febriyanti Revitasari)

Sudah hari kesekian Lebaran? Rendang dan opor masih tersisa banyak sampai berulang-ulang dihangatkan? Barangkali bukan aku saja yang bosan dan cari pelarian ke bakso serta mie ayam yang paling mudah serta banyak dijual selama libur Lebaran.

Kebetulan, di depan rumahku ada penjaja mie ayam. Rasanya sih tidak terlalu istimewa, ya. Hanya saja, mie ayamnya gerobakan khas daerah Jawa Tengah ala Mie Tunggal Rasa. Tahu kan maksudnya? Nah, mie ayam ini yang sering jadi sasaranku walau sambil dimarahi ibu dengan alasan "mie terus bikin gendut".

Di Jakarta, sebenarnya masih banyak penjaja mie ayam gerobakan. Tapi, cita rasanya berbeda. Dari tekstur hingga penyajiannya, mie ayam gerobakan Jakarta yang pernah kucoba cenderung mengarah ke yamie ala Bandung atau bakmi ala masakan Tionghoa. Mie tipis dengan kuah bening terpisah berikut potongan daun bawang. Plating-nya proper karena mirip penyajian di warung atau resto dengan wadah sterofoam dan sumpit plastikan sekali pakai.

Kalau mie ayam gerobakan khas daerah Jawa Tengah dan sekitarnya, masih pakai mangkok ayam jago jika tidak dibungkus. Kalau tidak ada, biasanya mangkok putih dengan logo micin, kecap, saos, atau sejenisnya. Tipikal mangkok gratis dari bonus pembelian. Makannya pakai sumpit hitam berkayu tebal dengan ujung merah yang tidak bisa dibawa pulang.

Mie ayamnya tebal (yang kadang bisa kelembekan kalau kelamaan direbus di panci). Bumbunya condong ke manis dengan kuah hitam dari kaldu dan kecap. Ayamnya juga kecokelatan karena kecap, tapi potongannya besar tak beraturan. Sawi dan daun bawangnya kadang melimpah.

Yang tidak boleh ketinggalan adalah sambal dari cabe rawit yang rasanya hanya pedas, tidak ada gurihnya, dan tergenang air di mangkoknya. Lalu, saus sambal botol beling yang gosipnya tidak pakai cabai sama sekali. Entah mereknya Bagong, Niki Sari, atau merek lokal lainnya.

Pengalaman makan mie seperti ini, walau tidak sepenuhnya sedap terus, jelas nostalgia sekali. Kalau di Jakarta bisa menemukannya, aku ragu membeli karena takut tidak bersih atau khawatir dagingnya dioplos tikus. Hmmm, efek kebanyakan nonton acara investigasi ini.

Itulah top 5 makanan Lebaran selama mudik di Purbalingga versi Vita. Jika kamu lewat atau main ke kota kecil ini saat mudik, cobalah juga! Dijamin rasanya tidak terlupakan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
Febriyanti Revitasari
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us