Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Situasi jalur mudik di Kota Bekasi. (IDN Times /Imam Faishal)

Jakarta, IDN Times - Lebaran, hari yang paling ditunggu-tunggu oleh banyak muslim di manapun, tak terkecuali saya. Lebaran menjadi hari spesial, karena di momen ini saya benar-benar bisa berkumpul dengan orang tua dan semua keluarga besar dalam keadaan penuh suka cita, saling bermaaf-maafan, berbagi cerita, dan tentunya liburan bersama-sama menikmati keindahan kampung halaman.

Karena itu, sebisa mungkin setiap Lebaran saya akan mudik ke kampung halaman. Untuk mudik ke kampung halaman, saya harus melintasi 2 pulau, yakni Pulau Jawa dan Bali. Maklum, kampung saya di Lombok. Meski harus menempuh jarak sekitar 1.372 kilometer, namun saya dan keluarga kecil saya tak pernah lelah untuk mudik.

Justru mudik menjadi momen yang selalu kami tunggu-tunggu setiap tahun, di mana saya dan keluarga selalu antusias, karena di saat mudik kami bisa merasakan berbagai pengalaman yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan di hati kami.

Saya ingat pernah suatu ketika kami mudik, saat kami tiba di suatu daerah di Jawa Barat itu bertepatan dengan dimulainya arus mudik. Sebagai tanda dimulainya arus mudik, mobil kami yang saat itu baru keluar dari pintu tol, langsung dikawal oleh mobil patwal hingga masuk area Jawa Tengah. Mendapat pengawalan khusus ini rasanya senang bukan main, perjalanan menjadi lebih cepat dan lancar. 

Ada juga pengalaman lainnya yang tak terlupakan. Waktu belum ada tol langsung Jakarta-Surabaya, kami lebih sering mudik melalui Jalur Pantura, dan akan berhenti untuk salat dan istirahat di masjid-masjid yang kami temui di Pulau Jawa. Suatu ketika kami berhenti di sebuah masjid besar. Suami saya keluar dari mobil menggunakan sendal baru yang akan dipakai untuk Lebaran. Saat keluar masjid dan akan melanjutkan perjalanan, sendal tersebut sudah raib.     

Di masa Pandemik COVID-19, perjalanan mudik sedikit lebih repot dan perlu biaya tambahan, karena kami harus melakukan tes PCR atau swab antigen untuk bisa masuk ke Pulau Bali dan Pulau Lombok. Pernah kami melakukan tes antigen di pelabuhan dan harus antre panjang sambil berharap-harap cemas hasilnya negatif. Karena jika positif, maka kami harus balik arah lagi ke Jakarta.

Kini setelah COVID-19 berlalu dan ada tol langsung Jakarta-Surabaya, bahkan hingga Probolinggo, perjalanan mudik menjadi lebih cepat, mudah dan menyenangkan. Apalagi sudah banyak rest area yang bagus-bagus untuk tempat istirahat.

Sepanjang melakukan mudik, berbagai alat transportasi sudah saya jajal, mulai dari bus, mobil pribadi, pesawat, hingga kapal laut. Tentunya jika menggunakan bus dan mobil pribadi, saya harus menyeberangi 2 lautan yakni Selat Bali dan Selat Lombok. Tiga tahun terakhir kami pernah menjajal tol laut dari Surabaya hingga Lombok, dan juga dari Banyuwangi hingga Lombok, dengan menggunakan kapal-kapal besar yang jauh lebih bagus dibandingkan 5 atau 10 tahun sebelumnya.

Rutin mudik setiap tahun membuat saya bisa merasakan perubahan-perubahan terkait pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa. Dulu sebelum ada tol langsung dari Jakarta ke Surabaya atau ke Probolinggo, kami harus menyiapkan waktu minimal dua hari untuk perjalanan dari Jakarta ke Bali. Tapi setelah ada tol langsung, perjalanan menjadi lebih singkat sekitar 15-17 jam.

Mudik menggunakan jalur darat, memang banyak pengalaman yang bisa dirasakan, berbeda jika menggunakan pesawat, yang hanya butuh waktu sekitar 1 jam 45 menit untuk sampai ke Lombok. Jika ingin mudik sambil menikmati berbagai pengalaman, jalur darat menjadi pilihan yang menarik. Tapi jika ingin cepat sampai, ya menggunakan pesawat.

Editorial Team

EditorSunariyah