ilustrasi orang bermain gawai (pexels.com/Andrea Piacquadio)
Di ruang digital, kita lebih sulit menilai perasaan orang lain. Hal ini karena kita hanya bisa berinteraksi dengan representasi digital yang telah dikurasi. Berbeda saat di dunia nyata, apa yang orang lain ungkapkan mengenai perasaannya, dapat kita validasi dengan bahasa tubuh.
Ketika kita mengunggah suatu hal di media sosial, kita sudah mengatur dan menyaringnya, bukan? Saat mengunggah foto, umumnya kita memilih foto terbaik. Saat membuat status, umumnya kita menggunakan diksi terbaik. Saat menulis takarir, umumnya kita menulis keterangan terbaik yang paling menarik.
Proses kurasi digital ini memungkinkan kita menampilkan versi yang ingin kita tunjukkan kepada orang lain secara publik. Hal itulah yang kemudian mematahkan bahwa apa yang ditampilkan di media sosial tidak selalu secara langsung merepresentasikan perasaan seseorang. Fenomena ini membuat seseorang bisa menyembunyikan emosi aslinya. Ada batas layar yang mungkin.
Kamu bisa membuat status galau padahal kamu sedang tidak galau di media sosial. Mungkin, kamu melakukan hal itu karena ingin mencari validasi dari orang lain, bermain peran, menyindir, mengikuti tren, atau sekadar iseng. Kamu bisa membuat status bahagia padahal kamu sedang tidak bahagia di media sosial. Mungkin, kamu melakukan hal itu karena kamu ingin terlihat baik-baik saja. Sebab, di media sosial, ada tekanan kuat untuk menampilkan citra diri yang ideal. Maka, kamu cenderung mengunggah momen-momen terbaik, pencapaian, maupun pengalaman yang dinilai sempurna. Kamu pura-pura bahagia dan hal ini merupakan coping mechanism dari perasaan negatif yang tengah kamu rasakan. Meskipun, sebenarnya dampaknya tidak selalu baik.
Ternyata, media sosial serumit dan sekompleks itu, ya. Orang dapat dengan mudah menutupi, menyembunyikan, dan merekayasa apa yang ingin mereka tampilkan di sana. Bukankah ini merupakan sebuah paradoks saat di awal platform digital dinilai menjadi tempat seseorang bebas mengeskpresikan diri, berbagi pikiran, serta terhubung secara transparan justru sebaliknya?
Media sosial menjadi panggung untuk seseorang bisa menampilkan diri mereka dan memerankan versi mereka yang “sempurna”. Media sosial ada untuk kita bisa memperlihatkan apa yang ingin kita perlihatkan terlepas dari perasaan sesungguhnya yang kita alami. Ini berarti, di balik layar, di balik setiap unggahan, ada pilihan sadar tentang bagaimana kita ingin dipersepsikan di ruang digital.